|
Jason Wayne
tersenyum lebar, sambil memamerkan sederet gigi besarnya.
“Mau apa kau, Jason
?,” kataku.
“Ah, tidak, cuma mau
bilang, kalau ntar jam olahraga ada latihan lompat dan lari jarak jauh,”
katanya sinis.
“Oh, aku sudah tau,”
kataku sambil berbalik dan melangkah pergi.
“O, o, o, o, tunggu
sebentar Fritzie yang manis.”
“Dengar !! Namaku
bukan FRITZIE ! Aku Arnold Fritz James !!! Dan aku sama sekali tidak manis !!,”
teriakku menahan marah.
“Oh yeah ! Tuan
Arnold Fritz James, yang nggak mau disebut manis, bagaimana kalau kusebut
‘pecundang’ !?”
Terdengar suara
tawa.
“Baiklah Tuan Arnold
‘pecundang’, waktu jam olahraga nanti, lebih baik kamu nggak usah ikutan deh.
Karena malu-maluin aja. Jangankan lompat, lari aja susah. Mungkin cuma satu hal
yang bisa kau lakukan,” kata Jason mengejek.
“Apa ?,”tanyaku
gemetar menahan emosi.
“Minta gendong pada
ibumu, Anak Mami !!”
Semua anak spontan
tertawa. Aku yang masih diliputi kemarahan, nggak bisa berbuat apa-apa.
Sementara si Jason berlalu pergi sambil meninggalkan tawa gigi besarnya yang
nyaring.
Begitulah
hari-hariku. Setiap saat, di sekolah, di rumah, ataupun di tempat lain, aku
sulit ngerasa bahagia. Kebahagiaan sejati enggan mendekatiku. Yang ada hanya
hari-hari monoton menyebalkan membuat otak dan hatiku jenuh.
Aku, yang dijuluki
pertapa, nggak pernah nggak menyendiri. Bagiku, lebih baik sendirian, dari pada
diejek terus-terusan. Namun, tampaknya aku nggak bisa menghindari ejekan dan
perlakuan menyebalkan dari orang-orang.
“Aku pulang
!,”kataku lesu.
Tak ada satu makhluk
pun yang menjawab. Ternyata rumah besarku kosong. Seperti biasa, Mom dan Dad
sibuk dengan sekarung bisnis.
“Mau makan siang
sekarang, Tuan ?,” kata pelayanku, Mrs. Lincoln.
Aku mengangguk.
Lagi-lagi aku makan siang sendiri. Di rumahku yang mewah, aku merasa hidup
dengan beberapa pelayan. Mom dan Dad, cuma kulihat tiap pagi. Pertemuan ekstra
singkat tanpa banyak bicara.
Dan habis makan
siang, aku berbaring malas-malasan di kasur empuk kamarku yang besar. Dua
lemari buku menghiasi dua sisi ruangan itu. Sangat bersih dan tertata apik.
Padahal aku selalu bangun dengan keadaan tempat tidur yang kacau di pagi hari.
Suara boombox
mengalun bersama lagu-lagu favoritku. Aku merenung sendiri. Mungkin semua orang
menganggapku sebagai anak terberuntung di dunia, dengan sejuta keinginan yang
bisa setiap saat dikabulkan. Tapi, aku tak pernah merasa bahagia.
Kupandangi foto lama
di dinding. Foto waktu aku masih tujuh tahun. Keluarga kami masih sederhana
saat itu. Namun, pada waktu itulah aku merasa hidupku jauh lebih berarti. Sekarang,
setelah Mom dan Dad menjadi sepasang pengusaha kaya yang hampir memiliki
segalanya, mereka seperti melupakanku, anak tunggal mereka yang kesepian.
“Arnold, sudah tidur ?,” terdengar suara Mom
yang baru pulang, sementara Dad, paling-paling satu jam kemudian.
Aku pura-pura tidur.
Lalu Mom masuk ke kamar. Melihatku tidur, Mom langsung keluar lagi.
Paginya, aku
terbangun oleh hangatnya cahaya matahari yang menembus jendela. Setelah mandi,
aku turun untuk sarapan. Kali ini tanpa Mom dan Dad. Kata Mrs.Lincoln, mereka
sudah berangkat pagi-pagi.
Aku pun segera
berangkat ke sekolah. Jalan kaki. Satu yang ingin kukatakan, di sekolah tidak
ada yang tau kalau aku anak dari Sebastian James, seorang pengusaha real estate
ternama. Aku menyembunyikan identitasku. Aku tidak mau orang-orang berteman
denganku dan menghargai keberadaanku hanya karena kekayaan. Jadi, yang mereka
tau, aku adalah Arnold,
si pertapa misterius yang nggak peduli sama perkembangan situasi dan keadaan
sekitar. Hal ini mulanya membuatku jengah, merasa sendiri dan terkucil. Tetapi,
lama-lama, aku jadi nyaman tetap sendirian, nggak punya yang disebut teman.
“Arnold, tolong kerjakan soal ini,” kata Mrs.
Ann menyuruhku maju memecahkan soal matematika di papan tulis.
Aku maju ke depan.
Jason yang tetap sok, terkikik di belakang. Tanpa menghiraukan ejekannya, aku
maju, lalu dengan sigap menulis jawaban persamaan fungsi trigonometri di papan
tulis.
“Ya, betul sekali.
Silakan duduk Arnold.
Jadi jawabannya adalah cosasinb - tanatanb = 2.”
Aku duduk kembali di
kursiku. Sementara Jason menatapku lucu.
“Si Fritzie pertapa,
maniak matematika yang tak berguna !,” ejeknya.
Aku nggak marah
dibilang begitu olehnya. Apapun katanya, matematika adalah pelajaran yang
menyenangkan bagiku. Nggak seperti anak-anak lain yang menganggap matematika
itu monster.
Bel berbunyi, tetapi
sesuatu yang basah menimpa kepalaku.
Aku menyentuhnya.
Cairan hijau besar aneh menetes-netes ke bajuku.
Semua orang di kelas
terdiam.
“Astaga ! Itu asam
sulfat, kau bisa meleleh Arnold
!!,” teriak Jason.
Seketika wajahku
memucat.
“Bukan, itu bukan
asam sulfat,” kata seseorang.
“Lalu apa ?,”
tanyaku gemetar.
Seorang gadis maju
ke arahku. Ia berkucir kuda. Tampangnya antara rasa bersalah dan geli.
“Ma..maaf, aku nggak
sengaja menumpahkannya di atas kepalamu. Itu cuma sari alpukat encer. Lagipula
asam sulfat nggak mungkin bikin kamu meleleh, kalau luka bakar sih mungkin. Aku
di dorong olehnya,” kata si gadis sambil mengacungkan telunjuknya ke arah
Jason.
Jason tersenyum
lebar.
“Jason !,” geramku.
“Yeah, Fritzie.
Selamat menikmati,” katanya menyebalkan.
Jason keluar dari
kelas. Aku masih berusaha membersihkan diri. Orang-orang sudah pergi dari
kelas. Tinggal aku dan si gadis yang aku nggak tau namanya.
“Sini kubantu,”
katanya.
Ia lalu mengeluarkan
saputangannya dan membersihkan sari alpukat dari kepalaku.
“Biar aku saja,” kataku
sambil mengambil saputangan itu dari tangannya.
“Ya udah,. Oh ya,
namaku Rei Thompson. Baru sekolah disini seminggu,” katanya memperkenalkan diri.
“Aku Arnold Fritz
James. Panggil aja Arnold,”
kataku.
“Kayaknya aku pernah
dengar nama James deh. Ayahku sering berbicara soal bisnis dengan orang yang
bernama belakang James. Kata ayah sih, teman lama, well, mungkin aja ayahmu.
Tapi kayaknya nama James banyak deh,” katanya lancar.
“Memangnya nama
ayahmu siapa ?,” tanyaku agak heran.
“Karigawa Thompson.”
“Kedengarannya kamu
ini orang Jepang ya ?”
“Yah, secara
langsung sih tidak. Aku lahir di Jepang, tapi pindah kesini. Aku dan keluargaku
berkewarganegaraan Amerika.”
“Trus kok nama
ayahmu Karigawa ? Thompson-nya dapat dari siapa ?”
“Ayahku orang
Amerika asli. Setelah menikah dengan ibu yang orang Jepang, ayah mengganti
namanya.”
“O, begitu,”kataku
basi.
“Kalau gitu, aku
pulang dulu ya Arnold. Bye,” kata Rei sambil meninggalkanku sendiri.
Aku membereskan
buku-bukuku. Wah, Rei lupa saputangannya. Besoklah aku kembalikan.
Herannya, aku terus
mengingat-ingat nama Thompson. Rasanya aku pernah mendengar nama itu
sebelumnya, sangat akrab di telinga. Namun, dewa tidur yang lebih berkuasa
sudah memanggilku dalam lelap.
“Mom, siapa sih
keluarga Thompson itu ?”, tanyaku suatu pagi ketika sedang sarapan.
“Mereka adalah teman
Dad yang sangat akrab. Sejak kecil, Dad-mu dan Edgar Thompson bersahabat baik,
sampai menjalin hubungan bisnis seperti sekarang,” jawab Mom.
Jadi, ayahku dan
ayah Rei emang berteman. Pantas saja aku dan Rei merasa kenal nama keluarga
masing-masing.
“Memangnya ada apa
?,” tanya Mom.
“Ah, nggak ada
apa-apa kok. Cuma pengen tanya aja,” kilahku.
Aku lantas menyambar
ranselku dan pamit untuk ke sekolah. Sepanjang jalan, aku terus memperhatikan
bangunan-bangunan yang kulewati. Tau-tau perhatianku langsung tertuju pada
sebuah toko barang antik. Bangunan toko itu sendiri tak kalah uniknya, tapi
kelihatannya sepi dan kurang terurus. Aku membaca papan namanya :
“ MARLO’S
GOODS, menjual barang-barang
antik.”
Aneh, toko barang
antik kok namanya nggak antik sama sekali ?
Karena sekolah mulai
setengah jam lagi, aku yang penasaran memutuskan untuk melihat-lihat toko itu
sebentar. Kayaknya asyik juga, daripada nyampe terlalu pagi di sekolah.
Aku melangkahkan
kaki ke sana.
Begonya, terserempet tali sepatu sendiri, aku nyaris jatuh dan nabrak
seseorang.
Aku buru-buru minta
maaf. Ternyata, aku nabrak cewek cantik. Dia menatapku ramah. Membuat mentalku
jadi makin ciut. Dia mengenalkan diri. Namanya Luna Smith. Dan ternyata dia
satu sekolah denganku.
Tapi, sebelum aku
mulai bicara lebih banyak dan mengakrabkan suasana, suara menyebalkan yang
telah kukenal berteriak memanggilku.
“Oi, Fritzie !!!”
Uh-oh, si Sok Jason.
“Kamu ngapain disini
sama Luna ?,”katanya setengah menyelidik.
“Aku cuma….”
Sebelum sempat
bicara, Luna memotong kata-kataku dan menceritakan kejadian tadi pada Jason.
Dia lantas mengangguk-angguk tak puas.
“Oke, kali ini kau
kumaafkan. Tapi, jangan dekat-dekat lagi ama Luna ! Asal kau tau, she is mine !
She is my girlfriend !,”kata Jason mengancam.
Dan dengan gaya sok, Jason mengajak
Luna pergi. Membuatku gondok sendiri.
“Arnold ! “
Aku menoleh.
Ternyata Rei yang berlari-lari ke arahku.
“Kok diam disini ?
Emangnya nggak pergi ke sekolah ? Trus ada apaan yang kejadian disini ?,”
tanyanya dengan cepat.
Wah, cerewet banget.
Apa dia nggak capek ngomong banyak dalam satu napas begitu ?
“Ah, nggak
ngapa-ngapain. Tadi aku mau lihat-lihat ke situ, “kataku sambil menunjuk
MARLO’S GOODS.
“Sebaiknya kamu
nggak usah deh berkunjung kesana”
“Emangnya kenapa ?”
“Aku pernah kesana
sekali ama Dad. Pelayannya eksentrik banget. Tempatnya seram lagi. Isinya
barang- barang rongsokan semua. Eh, ngomong-ngomong jam berapa sekarang ?”
Aku melirik jam
tanganku. Lima
menit lagi bel sekolah bakal bunyi.
“Astaga ! Kita bisa
telat !,”kataku agak panik.
“Ayo, lari aja !,”
ajak Rei.
Dan akhirnya, kami
lari-lari ke sekolah. Terengah-engah masuk ke kelas yang sudah ramai. Untung
saja bel belum bunyi. Tapi ada kehebohan sorak-sorai dan tepuk tangan yang
menyambut kami.
“Oh, Thank’s God !
Teman-teman inilah pasangan baru kita. Pasangan konyol nan membosankan. Dengan
bangga, sambutlah si Pertapa Fritzie dan si Kucir Kuda Thompson !!”
Lagi–lagi si sok
Jason. Apa dia nggak pernah bosan ngangguin aku. Kayak nggak punya kerjaan lain
aja. Aku yang udah siap-siap balas berteriak padanya, terpaksa harus menyimpan
kata-kataku karena terdengar bunyi bel. Disusul langkah-langkah kaki Mr.
Howard, guru sejarah kami yang super membosankan. Jadi, aku dan Rei dengan pasrah
harus duduk di kursi masing-masing. Menanti wejangan dan catatan menjemukan
tentang tanggal-tanggal di masa lalu dan peristiwa-peristiwa lampau lainnya.
Baru kusadari,
rupanya Rei duduk tepat di belakangku. Astaga Arnold !! Kemana aja pikiranmu
selama ini. Pantas aja kamu dijuluki pertapa, atau mungkin manusia gua, pikirku
heran. Tampaknya aku sudah terlampau jauh mengisolasi diriku sendiri.
Hari itu kulalui
dengan lesu, lebih parah dari hari biasa. Karena aku menerima banyak sindiran
menyebalkan. Kalau begini terus tampaknya aku harus siap menjalani hari-hari
tanpa teman yang kujalani dengan kenyamanan terpaksa.
Sebenarnya, aku
pengen nonjok Jason dan merontokkan semua gigi besarnya. Aku juga pengen
teriak-teriak sama semua orang. Sama pertemanan basi yang mereka jalani. Dan
sama keacuhan mereka padaku, dan terus-terusan menjadikan aku bulan-bulanan
lelucon.
Tapi aku nggak cukup
berani buat itu. Aku terlalu takut, belum lagi nggak bisa olahraga. Bisa-bisa
aku bonyok dihajar Jason. Walhasil, aku mempertahankan prinsip nggak mau cari
masalah, dan pasrah pada kesendirian.
“Hoi, Arnold ! Ada apa? Kok ngelamun aja
? Lagi ada masalah ya ?”
Rei, muncul
tiba-tiba, mengagetkanku dengan berondongan pertanyaannya yang banyak.
“Ayo, cerita aja !
Siapa tau aku bisa bantu ! “
Duh, ni cewek maksa
banget sih. Tapi aku melihat pancaran tulus dari matanya.
“Emangnya kamu bisa
dipercaya ? Apa kamu nggak berencana buat ngolok-ngolokin aku ?,”kataku agak
ragu.
“Wah, tentunya aku
bisa dipercaya dong. Mulai sekarang aku jadi sahabatmu !,”katanya cerah dan
bersemangat.
Sahabat ? Kata-kata
yang jarang sekali kudengar. Antara tak percaya sekaligus senang aku mencerna
kata itu. Apa mungkin akhirnya aku bisa punya teman buat berbagi ?
Rei masih menatapku
ceria. Nggak terlihat sama sekali keragu-raguan atau pandangan melecehkan dari
matanya.
“Yah, kalau kamu
emang punya niat baik, kayaknya kita bisa jadi sahabat,”kataku memutuskan.
“Lho, kok kamu
ngomongnya gitu ? Emangnya selama ini kamu nggak punya sahabat ?,”tanya Rei
heran.
Dan mulailah aku
menceritakan semua yang kualami padanya. Bahkan tentang keluhan-keluhanku,
keinginan terpendamku, dan semua keragu-raguanku. Aku sendiri heran. Kenapa aku
bisa begitu santai ngomong banyak hal pribadi dengan Rei. Kuharap persahabatan
ini bukan olok-olok menyebalkan lagi.
“Kamu itu aneh
banget deh. Jadi orang bawaannya curigaan. Trus nggak mau bersosialisasi.
Emangnya, nggak pernah kesepian ?”
Aku terdiam.
“Kalau mau jujur,
aku bosan terus merasa sepi dan sendirian. Kadang pengen juga gabung sama orang-orang.
Tertawa-tawa. Melakukan banyak hal bersama. Tapi, kau tau sendiri. Orang-orang
tidak mempedulikanku. Dan aku mungkin terlalu takut untuk membuka diri,”jelasku
perlahan.
“Well, Arnold. Kayaknya kamu
nggak perlu nutup diri lagi deh. Mulai sekarang, coba aja ngeluarin apa yang
kamu bisa, apa yang kamu inginkan, dan apa yang kamu nggak suka. Ingat deh,
hidup itu nggak bisa sendiri lho,”kata Rei bersemangat.
Aku mengangguk
paham. Untung banget rasanya bisa punya sahabat seperti ini. Aku menatap Rei yang
masih senyum.
“Eh, aku pulang dulu
ya,” pamit Rei.
Herannya, Rei
buru-buru keluar kelas.
“Rei !,”panggilku
cepat.
“Ya, ada apa
?,”tanyanya sambil berbalik.
“Ini saputanganmu,
sudah bersih kok !”
“Oh, thank’s. See
you tomorrow Arnold
!,” katanya riang.
“See you too !”
Minggu pagi, sama
aja tetap membosankan seperti hari biasa. Cuma bedanya aja, nggak sekolah. Yang
kukerjakan mungkin main game di kamar, nonton TV, baca buku, dengerin kaset,
selalu mengurung diri dengan rutinitas membosankan lainnya.
Tapi aku mendengar
kesibukan aneh yang tidak biasa di bawah.
“Dimana ya ?,”
terdengar suara Dad yang kebingungan.
“Cari apa ?,”tanya
Mom.
“Itu, umpan buatan
yang Dad beli sebulan lalu.”
Aku turun. Lalu
menemukan Dad yang sedang kasak-kusuk.
“Ada apa, Dad ?”
“Dad nyari umpan
buat mancing .”
“Coba cari di gudang
peralatan.”
Dad menepuk dahinya.
“Astaga. Penyakit
lupa. Thank’s ya.”
“Sama-sama Dad “
Dad buru-buru ke
gudang. Kata Mom, Dad mau pergi mancing sama Karigawa Thompson. Wah, ternyata
benar, kalau orangtuaku dan orangtua Rei bersahabat satu sama lain.
Aku kembali ke
kamarku. Mengambil ponsel dan menelpon Rei.
“Hallo, Rei. Ini
aku, Arnold.”
“Hallo juga. Ada apa Arnold ?”
“Nggak penting sih.
Cuma mau kasih tau aja, kalau ayah kita emang saling kenal. Bahkan kata Mom,
mereka bersahabat sejak lama.”
“Wah, lucu juga ya.
Kayak kita gitu,”kata Rei.
“Eh Rei, kamu lagi
ngapain ?,”tanyaku.
“Nggak ada kerjaan
nih. Bosan. By the way, kamu main ke rumahku aja,” ajaknya.
“Boleh juga. Aku
juga bosan di rumah. Tapi, rumahmu dimana ?”
“Gampang, tunggu aja
di depan sekolah. Kita ketemu disana.”
Lantas, aku ganti
baju, pamit pada Mom, dan melesat pergi ke depan sekolah. Sesampainya disana,
aku malah memperhatikan MARLO’S GOODS sekali lagi. Penasaran ingin berkunjung
kesana. Lalu Rei muncul.
“Udah lama
?,”tanyanya.
“Baru aja.
Kapan-kapan kita ke sana
yuk ?,”kataku sambil menunjuk MARLO’S GOODS.
“Ke sana !? Males ah. Seram
lagi !”
“Tapi kan..”
Rei tidak
mendengarkanku lagi. Ia buru-buru mengajakku pergi ke rumahnya. Ternyata, seperti
yang kubayangkan. Rumah ekstra besar dengan arsitektur campuran modern dan gaya Jepang. Koleksi
bukunya juga banyak. Membuatku kalah saing.
Tapi aku sangat
senang hari itu. Lepas dari akhir pekan yang sepi. Dan sekarang, aku punya
teman yang benar-benar menyenangkan.
“Untuk memeriahkan
hari ulang tahun sekolah minggu depan, diharapkan kita semua bisa
berpartisipasi dalam berbagai lomba yang diadakan. Mencakup lomba matematika,
aneka kejuaraan olahraga, dan lomba memasak. Ditutup dengan pesta kembang api
di danau mini di belakang sekolah.”
Pengumuman terbaru
hari itu. Aku membacanya malas-malasan. Bagiku tidak ada yang menarik. Aku
nggak pernah ikut satu lomba pun sejak aku sekolah disini. Lagipula belum tentu
menang. Apalagi pesta kembang api tahunan itu. Aku, kalaupun hadir, cuma duduk
sendiri di teras belakang. Menatap hampa pada pasangan-pasangan yang menonton
indahnya kembang api.
“Arnold. Bagusnya kamu ikut lomba matematika
aja. Kamu kan
ahlinya,” kata Rei tiba-tiba.
“Ah, buat apa. Toh
nggak bakal menang !,”jawabku malas-malasan.
“Ayolah, jangan
pesimis gitu dong. Kamu pasti bisa. Kapan lagi mau menunjukkan kemampuanmu pada
semua orang. Kan
biar kamu nggak diolok-olok terus. Siapa tahu kalau menang, mereka semua bakal
buka mata dan melihat diri kamu sesungguhnya,” bujuk Rei lagi.
“Nanti aja deh aku
pikirin. Eh, kapan-kapan kita ke MARLO’S GOODS ya?,”ajakku lagi.
“Yeah. Kalau kamu emang
maksa dan beneran pengen kesana, boleh deh. Asal kamu jemput aku. Kapan ?,”
jawab Rei akhirnya.
“Besok malam aja.
Biar lebih seram. Kan
jadinya seru,” kataku bersemangat.
“Apanya yang seru.
Toko rongsokan gitu,” kata Rei malas.
Aku tersenyum
membayangkan petualangan kecil seru besok malam.
Malam yang dingin.
Aku merapatkan jaket ke badanku yang agak menggigil. Angin malam serasa menusuk
tulang. Kulihat jam tanganku, hampir jam delapan. Aku sudah hampir sampai di
rumah Rei.
Akhirnya, aku
melihat Rei berdiri di depan pagar rumahnya. Rambut kucir kudanya
bergoyang-goyang ditiup angin. Ia semakin membenamkan tangannya ke dalam jaket
birunya.
“Kamu udah siap kan ?,” tanyaku.
“Oh, yeah,” jawab
Rei ragu.
“Kamu bilang apa
sama orang tuamu ?,” tanyaku lagi.
“They are not at
home.”
“Sama. Jangan-jangan
ortunya kita bikin acara bareng lagi. Mungkin pertemuan bisnis,” tebakku.
“Mungkin. Kadang,
orang dewasa itu menyebalkan. Apalagi orangtuaku yang sibuk selalu dengan
urusan uang. Membuatku terabaikan,” kata Rei agak sendu. Terlihat raut kesepian
dan kesedihan yang jelas di matanya.
Aku langsung
merasakan hal yang sama dengannya.
“Aku juga ngerasa
begitu. Kesepian dan sendirian,” kataku sesaat.
“Ya udahlah Arnold. Nggak usah terlalu
dipikirin. Yang penting kan
sekarang kita nggak sendirian lagi,” jawabnya cerah.
Aku mulai senyum
lagi.
“Ayolah kita jalan
lagi,” kataku sambil menarik tangan Rei.
Dan kami pun sampai.
Herannya, bangunan toko itu terkesan super seram. Lain sekali dengan
pemandangan di siang hari yang tampak unik. Jendela-jendelanya memancarkan
kesuraman yang membuat merinding. Belum lagi etalase gelap total yang nggak
memberi penerangan apapun. Hanya siluet cahaya bulan menerangi beberapa bagian
toko dalam keremangan.
“Arnold, beneran nih kita harus masuk ?,”
tanya Rei sambil menghela napas.
Aku berpikir
sejenak.
“Yah, apapun yang
bakal terjadi, kita kan
nggak akan kenapa-napa. Toh kita cuma mau berkunjung, sekaligus penasaran.”
Kami mengetuk
pintunya. Berulang kali, tapi tak ada yang menjawab. Barangkali pemiliknya
pergi. Dengan sedikit nekat, kami
memutuskan untuk mencoba masuk. Aneh, ternyata pintunya tidak dikunci.
Gelap sekali di
dalam. Aku mencari-cari stop kontak, tapi tidak kutemukan. Uh, kenapa aku nggak
bawa senter.
Jadinya, kami
berjalan dalam gelap. Namun, samar-samar terlihat beberapa benda yang ada
disitu. Benar kata Rei, cuma rongsokan. Ada
beberapa jambangan tua berdebu, kursi-kursi lama, dan barang-barang tua lain.
Aku terus
meraba-raba dinding.
“A….A…Arnold, aku menyentuh
sesuatu, sesuatu yang berdetak, dingin, aku ta..takut !,”kata Rei tiba-tiba.
“Tenang Rei ! Jangan
bergerak, aku akan menyalakan lampunya,”kataku cemas sambil terus meraba
dinding.
Yes ! Aku menemukan
stop kontak. Segera kutekan. Lampu menyala terang. Dan aku nyaris pingsan
melihat apa yang disentuh Rei.
Rei terkejut melihat
ekspresiku. Ia sendiri tidak berani menolehkan kepalanya untuk melihat apa yang
dia sentuh.
“A…Arnold, apa…apa
yang kusentuh ?,”tanyanya gemetar.
Aku diam, sambil
terus menatap benda itu dengan takut.
“Arnold…apa ?,”kata
Rei setengah berteriak.
“Itu…itu.,”kataku
sambil menunjuk benda itu.
“Itu apa ?”
Aku tak menjawab.
Akhirnya dengan memberanikan diri, Rei menoleh dan melihat benda itu. Ia sama
terkejutnya denganku.
“Ha….ha…ha…”
“Arnold !!”
Aku tertawa.
“Sialan. Kenapa kau
menakutiku ?,” kata Rei sebal.
“Itu kan cuma jam dinding
tua, Rei. Jelas saja berdetak. Kau ini penakut sekali,” kataku masih setengah
tertawa.
“Uh, kau menyebalkan
!”
Rei terus cemberut.
Tanpa menghiraukannya, aku terus melihat-lihat ke sekeliling toko. Yang jelas,
nggak ada benda yang menarik bagiku. Herannya, kenapa pemiliknya meninggalkan
toko tanpa dikunci. Mungkin dia tau, nggak bakal ada orang yang mencoba mencuri
barang-barangnya.
“Arnold, kesini deh !”
“Ada apa ?”
“Lihat itu,” kata
Rei sambil menunjuk sebuah pintu tua berdebu di bagian tersembunyi dari
ruangan, sepertinya tidak bisa dibuka. Tapi untuk apa ada pintu kalau nggak ada
sesuatu dibaliknya.
“Bisa dibuka nggak
ya ?”
“Pasti bisa
!,”kataku sambil memutar gagangnya dengan penasaran.Dan, dengan bunyi berdecit
pelan, pintu itu terbuka.
Aku dan Rei masuk.
Menyalakan stop kontak yang ada di dinding, dan melihat ke sekitar. Ruangan itu
penuh dengan kertas-kertas loakan yang ditumpuk sembarangan. Belum lagi semacam
koran lama yang bertebaran tak karuan di lantai. Debunya tebal sekali.
“Kurasa disini tak
ada apa-apa,”kata Rei.
“Eh, tunggu. Apa itu
?”
Aku mendekati benda
itu. Ternyata hanya sebuah buku alamat tua, usang, tapi sepertinya masih bisa
dipakai. Aku memutuskan untuk mengambilnya.
“Kamu ngambil apa
?,” tanya Rei.
Aku memperlihatkan
buku itu padanya.
“SIAPA DISITU !!!!”
Terdengar suara keras
seorang pria, tampaknya pemilik toko.
“Wah, Arnold. Kita
mesti gimana nih ?”
Aku berpikir keras.
Siluet cahaya bulan yang datang dari jendela sempit di ruangan itu membantuku.
“Kita keluar dari
situ aja,”ajakku.
“Nggak ah. Kita bisa
dibilang pencuri.”
“Ayolah. Apa kamu
mau ketangkap basah disini ?!”
Rei berpikir lagi.
Menyebabkan kerut-kerut di keningnya bertambah.
“Baiklah !”
Aku dan Rei lalu
memanjat jendela itu. Untungnya tidak terlalu tinggi. Setelah sampai di tepi
jalan, kami menghela napas lega.
“Yang kamu ambil itu
buku apa ?”
“Entahlah, kita
nggak bisa membacanya disini, gelap.”
“Kalau gitu, ayo ke
rumahku aja. Kita lihat lebih jelas apa yang kamu temukan,”kata Rei
bersemangat.
Aku mengangguk.
Dengan mempercepat langkah, akhirnya kami sampai di rumah Rei. Pelayan yang
membukakan pintu memberitahukan bahwa orang tua Rei belum pulang. Yah, seperti
biasa, orang sibuk.
Aku melirik jam
dinding besar. Jam setengah sepuluh. Di kamar Rei yang ekstra besar, kami
melihat apa yang barusan kutemukan. Menurut pendapatku, itu cuma buku alamat
biasa. Tapi, siapa tau ada yang menarik di dalam buku itu.
Mengenyakkkan diri
di sofa, kami mencoba seteliti mungkin untuk membuka lembar-lembar buku dengan
hati-hati.
Ternyata itu bukan
buku alamat. Kertasnya sudah tua sekali. Seakan seperti perkamen. Herannya,
tidak ada secuil tulisan pun di halaman-halaman buku. Tapi aneh, di halaman
terakhir tertulis kata-kata yang sudah memudar.
“A
spell that will make your wish come in,
with its danger beneath”
Rei mengamati serius
kata-kata itu. Lantas kami melirik tulisan lanjutan di bawahnya :
“SESRUC EVAH NEEB DERAEPPASID”
Aneh, mantra yang
aneh. Tapi aku justru makin penasaran.
“Seru juga nih. Kita
baca bareng yuk ,”kataku nekat.
“Ih, nggak usah deh.
Ntar beneran ada bahayanya lagi,”kata Rei menahanku.
“It’s impossible.
Aku cuma pengen ngebuktiin aja kok. Sakti atau nggak,” kataku penasaran.
“Tapi…”
“Udahlah, paling
jelek mungkin cuma tulisan iseng aja.”
“Kalau kamu memang
pengen baca, kamu mau minta apa ?,”tanya Rei.
Aku berpikir
sejenak. Aku ingin orangtuaku lebih memperhatikanku. Aku ingin orang-orang
berhenti mengolok-olokku. Dan, mungkin diberi kekuatan untuk menghajar mulut
besar Jason.
Kupejamkan mataku,
berpikir soal keinginanku. Tanpa menjawab pertanyaan Rei, aku mengucapkan mantra itu keras-keras.
Rei menatapku cemas.
Nggak terjadi
apa-apa. Ah ! Mantra apaan. Gempa bumi juga nggak.
“Tuh kan. Nggak terjadi
apa-apa. Mantra nggak berguna,”kataku setengah kecewa.
Tapi Rei malah diam
aja.
“Kamu kenapa ?”
“Ada yang aneh deh. Buat apa ada mantra kalau
nggak ada khasiatnya. Pasti ada sesuatu yang lain.”
Rei benar juga.
“Tapi ya udah. Bagus
kalau nggak terjadi apa-apa. Berarti bahayanya juga nggak ada kan !? Oh ya Arnold, kamu nggak pulang. Udah
malam banget lho!”
Aku melirik jam tanganku.
Jam sepuluh kurang lima
menit.
“Paling-paling di
rumah juga nggak ada orang.”
“Lalu kamu mau apa
?”
“Boleh aku disini
dulu aja ?”
“Mmm..okelah, tapi
kamu keluar dulu.”
“Lho ?”
“Aku mau ganti
baju,”kata Rei mendorongku ke luar.
Aku tersenyum. Lalu melangkah
ke pintu. Tapi aku mendengar suara desau aneh di balik pintu kamar Rei. Aku
tertegun sesaat.
“Ada apa ? Ayo cepetan keluar !”
“Tunggu…”
“Tunggu apa sih ?,”
kata Rei tak sabar. Ia lalu bergerak ke arahku dan membuka pintu lebar-lebar.
“Astaga !!!,” teriak
kami bersamaan.
Pemandangan yang
terhampar di depan kami aneh, aneh sekali. Bukan rumah Rei, melainkan sebuah padang salju luas dengan
pohon-pohon kering tanpa daun.
“Ada apa ini ? Kenapa begini ?,”Rei panik.
“Mantra, pasti itu.”
Rei mendekap mulutnya
ketakutan.
Begitu kami
melangkah keluar, pintu di belakang kami hilang seketika. Membuat kami kaget
dan bingung. Sementara itu udara dingin bertiup pelan.
“Bagaimana sekarang
?,”kata Rei pasrah.
“Sekarang kita harus
cari rumah penduduk dan minta pertolongan,” kataku sembari merapatkan jaket.
Rei mengangguk. Ia
sepertinya masih kaget.
“Ini salahku. Kenapa
aku bersikeras untuk membaca mantra itu. Sekarang jadi begini,”kataku putus
asa.
Rei masih diam saja.
Sepatu rumah yang masih dipakainya berderak lembut di atas salju. Ia merapatkan
kardigan yang belum digantinya sambil menatap sekeliling dengan cemas.
“Arnold, kita harus cari tempat untuk
menginap. Yang kubingungkan, kita ada dimana ?,”tanya Rei sejurus kemudian.
Aku menunjuk papan
besar. ALASKA,
tulisannya mengabur.
“A…Alaska ?,” kata Rei di sela-sela napasnya
yang memutih seperti asap.
“Yeah…,”kataku
pasrah.
Rei terus
mengarahkan pandangannya ke sekeliling. Bagiku, tak tampak ada kehidupan selain
desau angin dan retihan kayu-kayu tua.
“Hei ! Itu ada
puri,”teriaknya tiba-tiba.
“Puri ?!
Jangan-jangan puri drakula,”kataku bego.
“Arnold, pliss deh. Mana ada drakula di Alaska. Drakula kan di Transylvania.
Jangan ngayal deh. Ayo kesana, siapa tau ada yang bisa menolong kita.”
Aku melangkahkan
kaki kesana. Rei lebih dulu. Bangunan puri itu besar dan agak menyeramkan. Dari
dekat ternyata separuh bagian atap dan lantai atasnya sudah ambruk, tak bisa
digunakan lagi. Mungkin saja nggak ada orang yang mendiami tempat itu. Tapi,
kami harus mencoba dulu.
Akhirnya aku dan Rei
sampai di depan pintu. Pintu yang tua banget, dengan ketukan pintu dari gelang
besi besar. Aku mengetuk-ngetukkannya. Setelah beberapa kali, nggak ada seorang
pun yang membukanya. Mungkin benar dugaanku, kalau puri itu kosong tak
berpenghuni.
“Hallo ! Permisi !
Boleh kami masuk ?”
Teriakan nyaring
Rei, yang bisa membangunkan satu kota,
menurutku, mulai bergema. Salah satu sifat Rei yang nggak sabaran, memulai
berteriak panjang. Bagiku, cuma orang tuli yang nggak mendengar gempa bumi ala
Rei.
“Hallo !,”ulang Rei.
Nggak ada juga yang
membuka pintu. Akhirnya aku dan Rei memutuskan untuk berteriak bersama.
“Ha…,”teriakan super
keras kami terhenti tiba-tiba. Pintu bangunan itu terbuka sendiri. Mengabaikan
rasa kaget dan sedikit takut, kami memutuskan untuk masuk saja.
Ruangannya besar
sekali. Tapi, uh, milyaran debu melingkar disana. Lampunya redup dan penuh
dihantui sarang laba-laba. Mending juga kalau itu laba-laba super yang jika
menggigit, yang digigit jadi Spiderman.
Lagi-lagi kami
berteriak memanggil. Tetap aja nggak ada yang nyahut. Bencana lanjutan,
tiba-tiba pintunya yang tua tertutup sendiri.
“Arnold, gimana nih..?,”kata Rei panik.
Aku angkat bahu.
Jujur, aku lebih takut dari dia.
“Gimana kalau kita
langsung naik ke lantai atas aja ? Siapa tau ada sesuatu atau seseorang yang
bisa nolong kita pulang. Setidaknya keluar dari tempat ini,”ajakku spontan.
Tanpa pikir panjang,
Rei mengangguk. Buru-buru kami menapaki tangga yang rapuh. Akhirnya kami sampai
di lantai atas tanpa pintu, tanpa atap, dan udah semrawut banget.
Ruangan besar di
lantai atas itu, seperti sebuah laboratorium. Beberapa kaca pembesar rusak,
tabung reaksi dan mikroskop, serta beberapa gelas kimia berdebu tebal.
“Mungkin pemiliknya
seorang profesor,”kata Rei.
“Maybe yes, maybe
no,”kataku ragu.
“Eh Arnold, kamu tau nggak ?”
“Tau apa ?”
“Laboratorium itu kan biasanya jadi tempat
percobaan-percobaan gagal. Dan dalam beberapa cerita fiksi, penemu atau
profesor yang percobaannya gagal, bisa sakit jiwa, terkontaminasi, atau jadi….”
“Frankenstein
maksudmu ?,”kataku sedikit mengernyit. Cewek ini sempat mikirin hal-hal aneh di
saat gawat begini.
“Yeah, begitulah.
Mungkin dari laboratorium-lah Mary Shelley dapat ide buat bikin cerita
Frankenstein. Pasti waktu itu ia…,”perkataan Rei terputus seketika. Terdengar
suara geraman aneh. Dan seorang pria menyeramkan muncul.
“FRANKENSTEIN !!”
Teriakan, atau
tepatnya ekspresi ketakutan kami tertelan oleh geraman pria – eh, makhluk –
itu. Aku dan Rei mundur ketakutan sampai terhenti di dinding yang rapuh.
Pria itu memang
super menyeramkan. Ada
jahitan-jahitan di mukanya. Tampaknya ia sama dengan Frankenstein yang ada di
TV. Bedanya, di TV nggak nyata, berarti yang di hadapanku dan Rei adalah…the
real Frankenstein !
“Arnold, kita sudah terdesak, sepertinya ia
maju terus, dan dia mau… mau mencelakakan kita,”kata Rei dalam gemetar
suaranya.
Geraman lagi
terdengar. Si Frankenstein terus maju, hingga kira-kira dua meter di hadapan
kami. Tercium aroma asam dan debu seperti bau cairan kimia dari napasnya dan tubuhnya
yang semakin mendekat. Aku mau muntah. Di sebelahku ternyata ada jendela tanpa
kaca, dan aku serta merta melongokkan kepalaku ke bawah untuk menghirup udara.
Sementara itu, Rei
mencengkeram lenganku erat ketakutan. Aku menoleh ke bawah, dan melihat sebuah
kereta kuda dengan tumpukan barang. Kuda-kudanya meringkik pelan. Aneh,
perasaanku tadi nggak ada.
“Rei, kita harus
loncat !,”ajakku tiba-tiba.
“Loncat !? Tapi
tinggi banget,”kata Rei takut.
Si Frankenstein
semakin mendekat. Ia terus menyeret langkahnya. Semakin keras bau asam tercium.
“Tak ada cara lain.
Ayo !,”kataku menarik tangan Rei.
Kami siap-siap.
Setelah menaiki kusen jendela, kami mulai menarik napas dan saling berpegangan
tangan. Si Frankenstein mulai menggapai-gapai.
“AAAAAHHHH !,”
teriak kami bersamaan.
“BUKKK!!”
Kami mendarat dengan
empuk di tumpukan barang. Aku agak pusing. Sementara Rei mengurut kakinya.
“Kamu nggak apa-apa
?,”tanyaku agak cemas.
“Nggak. Cuma
terkilir. Ayo cepat pacu kudanya. Si Frankenstein mau meloncat juga.”
Aku lalu menarik
tali kekang. Tepat saat kuda-kuda berlari, si Frankenstein jatuh ke tumpukan
salju hampa.Artinya kami selamat. Kuda terus kupacu kencang. Namun, perlahan
dan tak terduga, badai salju datang. Aku tak bisa melihat apa-apa. Kehilangan
kendali, dan kereta menabrak sesuatu.
“AAARGH !!!”
Kami jatuh
terpelanting. Kemudian semua terasa berputar, gelap, dan aku terjatuh lagi
menimpa sesuatu yang empuk. Kubuka mataku perlahan.
Aku terduduk di
sofa. Ini kan
kamar Rei. Sementara Rei terjatuh di tempat tidurnya. Perlahan ia terbangun dan
memegang kepalanya yang pusing.
“Hei ! Ini kan kamarku. Berarti
kita kembali,”kata Rei dengan wajah berseri-seri.
Aku senang. Sangat
senang. Semuanya telah lewat. Namun aku tersentak karena dering ponselku di
sofa. Ada pesan
singkat masuk. Dari Mom.
“Arnold, malam ini kami tidak pulang. Ada seminar mendadak.
Sampai jumpa besok.”
Yeah, bukan kali ini
aja orang tuaku nggak pulang ke rumah. Udah sering, dan mungkin banyak hal lain
yang lebih penting dari pada bersamaku di rumah.
Jam tanganku
menunjukkan pukul sebelas lewat. Aku menguap. Rei tampaknya memperhatikan
dengan geli.
“Nginap disini aja
!”
Aku berpikir
sejenak.
“Oke lah !”
“Akan kuminta Mrs.
Larry menyiapkan kamar.”
Rei membuka pintu
kamarnya. Aku mengikutinya keluar. Tetapi ada sesuatu yang aneh, menyebar di
sekitar rumah Rei, menebal seperti kabut.
Rei terbatuk.
“Uhuk…uhuk..ada apa
ya, Ar….,”suara Rei terputus dan seketika tubuhnya merosot lemas tersandar ke
dinding. Matanya menutup.
“Rei, kau tidak…..”
Seketika kantuk menyerangku.
Dan aku pun jatuh terduduk.
Hawa hangat
menelubungi tubuhku. Aku membuka mata. Samar-samar cahaya mentari menerpa
wajahku. Aneh, bukannya hari masih malam ?..Kulirik bahu yang terasa terbeban.
Ternyata Rei tersandar lemas di bahuku. Kucoba membangunkannya.
“Rei, bangun, kamu
nggak apa-apa kan
?”
Rei membuka matanya
pelan. Terduduk dan kaget.
“Astaga..kita dimana
lagi sekarang ?”
Rei menatapku cemas.
Lalu mengarahkan pandangannya ke sekeliling. Aku pun ternganga pelan.
Kalau dalam keadaan
normal, mungkin tempat ini bakal bikin semua orang berniat piknik. Cerah, padang rumput luas. Dengan
semak-semak buah berry di beberapa
bagian pinggir. Aku menyadari kehadiran pohon beech tua yang menaungi kami dan jadi tempat bersandar tadi.
Rei bangkit buru-buru.
Langsung lari-lari ke tengah padang.
Aneh, jadi senang banget kayaknya.
“Hei Rei....kamu
ngapain ? Hati-hati dong ! Bisa aja tempat ini jauh lebih bahaya dari yang
tadi,”kataku berlari menyusulnya.
“Duh Arnold, kamu paranoid
banget sih !”
“Bukan gitu. Tapi
kita nggak tau ini entah dimana kan
?,”kataku sedikit cemas.
“Iya sih. Tapi,
mumpung indah begini. Let’s have some fun !”
Dasar cewek aneh.
Tapi, begonya aku jadi ikut-ikutan lari. Emang beneran indah. Si Rei yang
kegirangan lantas melirik semak berry.
Meraihnya dengan semangat.
Dan Rei berteriak
kencang.
“Arnold !! Tolong aku !! Semak ini menarik
tanganku !!”
Aku berlari dan
panik.
“Gimana ? Itu belum
selesai sih,”kata Rei setelah menyodorkan tulisannya padaku. Aku masih duduk di
sofa ruang TV rumah Rei. Sedikit mengernyit membaca tulisannya.
“Wah, nggak tau
harus komentar apa. Mau yang bohong atau jujur?,”tanyaku.
Rei memilin-milin
pensilnya.
“Yang jujur deh.
Tenang, nggak bakal marah.”
Aku cuma nyengir.
“Bagus sih. Cuma
gampang ditebak. Trus ngayal banget. Belum lagi mantranya. Kalau dibalik kan jadi ‘CURSES HAVE
BEEN DISAPPEARED’. Yang jadi tokoh utama kita berdua lagi. Aneh deh. Kamu pakai
sudut pandang dan cara berpikir aku.”
“Lucunya, kapan kamu
dapat ide ini ? Padahal kita baru ke MARLO’S GOODS dua hari lalu. Nggak ada
apa-apa. Kita cuma ketemu Mr.Marlo, si pemilik toko yang kelewat ramah. Kita kan nggak ngambil apa-apa dari sana. Heran deh kamu ini. Kenapa bisa
kepikiran bikin cerita ini ?,”lanjutku lagi.
Rei cemberut, lalu
terduduk di puff sambil menghela napas.
“Harusnya aku tau.
Aku emang nggak bakat deh. Pake’ berani-beraninya nulis lagi. Bego banget,”kata
Rei sebal.
“Jangan ngomong
gitu. Maaf deh kalau terlalu jujur. Tapi jangan nyerah dulu dong. Kan masih ada ide
tulisan yang lain,”kataku mendorong semangatnya.
“Aku nggak punya
alternatif ide, Arnold.
Aku cuma mikir, gimana caranya biar bisa menang lomba Carnegie Award Junior
itu. Nggak mau bikin kecewa Mom dan Dad.”
“Justru itu, tetap
semangat dong ! Nggak penting mau menang atau kalah. Yang penting kamu udah
berusaha. C’mon Rei, where’s the taugh girl that I’ve ever known ? Masih hidup kan !?”
Rei tersenyum. Lalu
menimpukku dengan kacang kulit.
“Kamu tuh
bisa-bisanya nasehatin orang. Iya deh, bakal aku kerjain, dengan ide baru
tentunya. Tapi, kamu juga harus semangat ikutin lomba sekolah,”kata Rei yang
udah turn on lagi.
“Lomba apa ?
Emangnya kapan aku daftar ? Kayaknya nggak pernah deh!,”kataku heran.
Rei senyum lagi,
jail kali ini.
“Aku yang daftarin.
Habisnya kamu thu susah banget disuruh daftar. Padahal aku yakin kamu bisa.
Pasti bisa,”kata Rei semangat.
“Dasar nggak sopan !
Emangnya aku bersedia ikut ?,”kataku pura-pura marah.
“Harus mau !
Pokoknya harus ! Kalau nggak aku juga batal ikut lomba !,” ancam Rei.
Dipaksa begitu,
gimana aku bisa nolak ?
Akhirnya kami
berusaha bareng. Rei jadi sibuk dan aku juga. Untungnya kesibukan ini membuatku
melupakan kesedihanku tempo hari. Memacuku untuk lebih ceria, lebih semangat,
dan herannya aku merasa lebih berani berhadapan dengan orang-orang. Meskipun
aku tau mereka masih hobi mengolok-olokku, tapi itu sudah tak membuatku terlalu
sedih. Aku jadi lebih happy,senang
punya target pencapaian. Minimal, mengikuti lomba matematika ini, bisa sedikit
membuka diriku.
Sekolah ramai. Lomba
ini memang menyita perhatian publik. Bukan lomba matematika-ku, tapi lomba
olahraga yang dengan senang hati diikuti oleh Jason. Dia masih terus-terusan
melirikku dengan pandangan kejam, tentu saja, meskipun aku sudah melatih diri
dengan tidak memedulikannya.
“IN VIA VIRTUTI PERVIA”
Aku mebisikkan
kata-kata itu sebelum memulai lomba. Mantra mujarab, kata Rei. Aku cuma tertawa
waktu dia meyuruhku mengucapkan kata-kata itu. Teringat pada mantra konyol
dalam ceritanya, mungkinkah ada kutukannya ? Aku mengesampingkan pikiran ini.
Dan herannya, aku dengan santai mengucapkan kata-kata itu.
Usai lomba, aku
nggak ketemu Rei. Memang, tadi pagi dia ada. Masih mencecarku dengan semangat.
Lalu ia pergi ke tempat Carnegie Award Junior berlangsung hari itu, setelah
mengucapkan ‘Semoga Sukses’ padaku. Lomba itu sudah dilangsungkan kemarin. Dan
hari ini adalah pengumuman pemenangnya.
Pesta danau akan
dimulai, sekaligus pengumuman pemenang serangkaian lomba hari itu. Tidak
berminat, aku menyeret langkah pulang di senja yang mulai merayap. Namun,
ponselku berdering.
“Arnold, kau harus ke rumahku sekarang,” suara
Rei jelas sekali, tapi nadanya aneh. Agak gemetar.
Buru-buru, aku
akhirnya sampai di rumahnya. Terengah-engah, aku memencet bel pintu. Rei yang
muncul, dengan sesenggukan dan air mata bercucuran.
“Hei, kamu kenapa
?,”tanyaku cemas.
Rei tidak menjawab.
Lantas menubrukku, menangis mencengkram lenganku. Aku bengong.
“Kamu kenapa Rei ? Ada yang salah dengan
lombanya ? Atau ada musibah apa ? Cerita dong ! Aku nggak ngerti nih,”kataku
bingung.
Rei menatapku di
antara kilau air matanya. Heran, dia malah tersenyum.
“Arnold !! Aku menang !!”
Aku tertawa senang.
Rei memelukku lagi, membuatku tak bisa bernapas. Setelah mengusap air matanya,
ia mengajakku duduk.
“Jadi selamat ya !!
Tuh kan, kamu
pasti bisa,”kataku.
“Well, iya gitu deh.
Nggak nyangka ide tentang kehidupan anak kaya yang kesepian itu sukses besar.
Dapat ilhamnya dari kamu lho. By the way, lombamu gimana ?,” Rei balik
bertanya.
“Mmm..nggak tau deh.
Ntar malam pengumumannya. Sambil pesta danau. Malas datang. Habisnya aku nggak
punya….,”tiba-tiba aku terdiam.
Rei kan cewek. Ajak aja dia,
pikirku.
“Eh, Rei kamu
temenin aku ke pesta danau ya !,”pintaku spontan.
Aneh, Rei jadi
bengong. Tapi langsung berteriak nyaring.
“Aku mau !,”katanya
heboh.
Ups, cewek satu ini
memang meledak-ledak.
Astaga, what a
beautiful lady. Beda banget.
Rei, mengurai kucir
kudanya, membiarkan rambut hitamnya terurai, dengan gaun biru keperakan simpel
yang cantik.
Aku nggak bisa
ngomong. Cuma dengan kaget, menggandengnya ke pesta. Duduk di belakang menunggu
pengumuman. Aku berdebar-debar, bukan karena hasil lomba, tapi karena Rei yang
diam saja. Anggun, nggak heboh kayak biasanya.
“Pemenang Lomba
Matematika tahun ini adalah…..”
Sebuah nama disebut.
Dan tepuk tangan membahana.
“Yah, masa’ bukan
kamu yang menang !?,”kata Rei marah-marah, normal kali ini.
Aku sadar. Dari tadi
aku mikirin apa sih ?
“Nyebelin deh.
Harusnya kan
kamu yang menang,”kata Rei menatapku sebal.
“Yeah, Thompson.
Jangan berharap terlalu banyak pada Fritzie si ‘pecundang’. Kau akan rugi besar
!”
Tawa nyaring
lagi-lagi mengantar setiap kedatangan Jason yang tak diharapkan. Aku berbalik
dan melihat seringai lebar mengejek terpahat di wajah menyebalkan. Seketika,
aku merasa amat marah. Mengumpulkan tenagaku yang pas-pas-an, aku menonjok
mukanya, tepat di rahang.
Jason yang tak siap,
terhuyung pelan dan menggeram marah. Dia mulai ambil ancang-ancang untuk
menyerangku balik, namun aku lebih dulu berteriak.
“JANGAN PERNAH SEBUT
AKU ‘PECUNDANG’ ! JANGAN PERNAH MENGHINAKU LAGI ! DAN BERHENTI BERSIKAP
BODOH SEPERTI ‘PECUNDANG’ YANG TAK PUNYA
PERASAAN !”
Aku berteriak,
mengambil alih perhatian semua orang. Tak ada satupun yang bicara. Jason
terdiam, sadar berpasang-pasang mata menatapnya sekarang. Dia tak jadi memberi
serangan balik, hanya melangkah menjauh dan menatapku penuh ancaman.
Pesta dimulai lagi,
meskipun beberapa orang masih menatapku. Rei sendiri masih agak kaget.
“Yang tadi itu keren
banget Arnold,
yah meskipun kamu nggak menang lomba. Tapi tadi aku cukup ‘terhibur’,”kata Rei
sesaat kemudian.
“Udahlah, nggak
penting amat. Eh, kesana yuk !?,”kataku sambil mengusap tanganku yang agak
nyeri sehabis menghantam rahang Jason tadi. Aku mengajak Rei ke rerumputan di
bawah naungan maple yang terang
benderang, hasil dekor dari panitia.
Rei melepas
sepatunya.
“Mungkin besok aku
bakal bonyok dihajar Jason,”kataku pelan.
“Yeah, tau gini,
males deh ke pesta. Pakai sepatu menyebalkan, kamu nggak menang, dan si mulut
besar tolol itu merusak suasana. Belum lagi baju ribet ini,”keluhnya.
Aku tertawa pelan.
“Nggak apa-apa Rei,
kamu cantik kok,”kataku jujur.
Rei terdiam. Lama,
aku juga diam. Bingung mau ngomong apa.
“Kayaknya cerita
kamu kejadian deh. Kutukan mantra,”kataku mencairkan suasana.
“Mantra apa…? Oh, ‘In Via Virtuti Pervia’ itu….?”
“Iya, aku nggak
menang, kamu marah-marah, dan aku berantem sama Jason. Lengkap deh kutukannya.
Emang apa sih artinya ?,”tanyaku.
Rei tersenyum lagi.
Manis dan bikin aku panas-dingin.
“Artinya, ‘Jalan
tempat bermulanya keberanian’,”katanya.
“Maksudnya
?,”tanyaku nggak ngerti.
“Arnold Fritz James,
maksudnya, kita memilih jalan untuk memulai keberanian. Menggali apa yang kita
bisa. Terus mencoba. Dan berani berusaha, meskipun hasilnya nggak selalu sesuai dengan harapan kita,”kata Rei bijak.
Aku mencerna
kata-kata itu. Menyadarinya, mengerti kalau aku udah memulai jalan keberanian,
memulai menggali kemampuanku. Meskipun baru mulai, tapi aku bisa melewatinya.
Tanpa kemenangan menggelora, hanya kepuasan hati.
“Aku ngerti. Jadi,
maksudnya aku harus mulai berani menghadapi semua hal begitu ? Sesuai
kemampuanku ?,” tanyaku lagi.
“Yups, itu deh
maksudnya. Kamu itu bisa Arnold.
Bisa melakukan banyak hal positif, meskipun hanya dimulai dari lomba matematika
dan menghajar si mulut besar Jason. Memulai keberanian itu yang penting. Biar
kamu kuat. Biar nggak diremehin sama orang lain lagi,”kata Rei optimis.
Aku merasa terpukau.
Ampun deh, jadi hal sederhana ini yang penting buatku. Sesuatu yang harus aku
temukan, supaya aku tetap bisa bertahan.
“Well Arnold, are you still here
?”
Aku tersentak dari
pikiranku.
“Yeah. Makasih
banget ya Rei. Heran deh. Kamu jadi beda banget. Lebih bijak, bikin aku nggak
nyangka. Kayak bukan kamu aja.”
Rei mencubit
lenganku.
“Dasar Pertapa ! Toh
kan kamu
sendiri yang ngasih semangat sama aku supaya nggak nyerah. Aku cuma ngebalas
jasa kok,”katanya polos.
Aku hanya tersenyum,
menatapnya. Dia balas menatap. Suasana jadi hening. Mengherankan. Lalu Rei
tiba-tiba tertawa mendorongku, sambil mulai berlari di rerumputan.
“Hei Rei, awas,
nanti jatuh !!”
Dia tidak peduli,
masih berlari berputar-putar. Lalu berhenti untuk menatap bintang. Aku lantas
berdiri di sampingnya.
“Sayang deh, nggak
ada semak berry aneh yang narik-narik
tangan aku sekarang,”kata Rei mengingatkanku pada tulisannya.
“Setidaknya masih
ada aku,”kataku menarik tangannya. Kami berlari-lari lagi. Tak peduli dilihat
orang-orang. Dilirik pasangan-pasangan lain yang sok romantis.
Kami sudah
memulainya. Menapaki jalan keberanian itu. Pertapa Fritzie dan Kucir Kuda
Thompson, telah melihat indahnya mencoba menghargai pribadi kami. Dan , kutukan
mantra, mungkin kami bisa mencoba lagi lain kali… kalau mungkin….
THE END
Created by : Onie potter
…..2002-20 July 2006
Note : cerita ini ditulis waktu smp awal
kelas 3, akhir tahun 2002, dan mengalami revisi besar-besaran dari cerita
awalnya,dan diselesaikan lagi saat liburan panjang setelah baru lulus SMA….by
the way, I just wanna say : Have a nice reading !
No comments:
Post a Comment