(Diceritakan kembali dengan seenaknya dari penghujung bab terakhir Gerbang Ptolemy karya Jonathan Stroud)
Giveaway PNFI The Wheel Of Doom Writing Challenge
Nathaniel
“ Good bye.”
Nathaniel memejamkan matanya,
mengingat siluet Kitty yang menghilang dihadapannya. Dia harus menghentikan
Nouda, meskipun dia tau, satu-satunya jalan yang akan ditempuh adalah
mengorbankan nyawanya sendiri. Dia meraih sisa kesadarannya dan merasakan kehadiran
Bartimaeus, agak kaget dan keheranan. Sang jin itu tau pasti apa
konsekuensinya.
Tidak ada jalan kembali. Nathaniel
menggenggam Amulet di lehernya, memegang dengan erat tongkat di tangannya.
Mendaraskan mantra-mantra. Lalu ledakan cahaya hadir tak terbendung. Jutaan
partikel materi berontak seakan udara dirobek. Suara keras membahana memekakkan
telinga.
Tepi Pantai, 19.49 WIB
Awalnya hanya gemuruh, lalu tanah
bergoyang hebat, terdengar deru kepanikan di seantero bibir pantai. Meskipun
kota ini kesannya sudah terbiasa dengan hentakan bumi, tetapi yang ini kuat.
Terlalu kuat. Mengingatkan kembali akan trauma bertahun-tahun silam. Herannya,
aku malah mematung. Lalu gempa itu berhenti.
Kemudian kemacetan menguar di
sepanjang jalan. Semua ingin menjauh dari pantai. Takut akan kedatangan
gelombang besar yang bisa meluluhlantakkan kehidupan. Aku mengerjap,
mengembalikan kesadaranku. Tak disangka, ada sebentuk cahaya yang jatuh
beberapa meter dari tempat ku berdiri. Mengabaikan keselamatanku sendiri, aku
melangkahkan kaki ke sumber cahaya kebiruan itu, yang tiba-tiba meredup lalu
mati.
Sesosok manusia menggeliat di balik
batu-batu besar di pinggir pantai. Terhuyung-huyung, dia berdiri. Aku
menyipitkan mata melihat ke arahnya. Cahaya temaram dari lampu-lampu di pinggir
pantai hanya sedikit membantuku. Lalu sosok itu bangkit sepenuhnya. Seorang remaja
lelaki belasan tahun.
Nathaniel
Kalau ini kematian, mungkin ini
terlalu di luar bayangannya. Berbau laut, samar-samar terdengar debur ombak.
Nathaniel perlahan membuka mata. Jelas ini bukan di taman St.James, bukan di
Trafalgar Square, hampir pasti ini bukan London.
Seseorang berjalan ke arahnya.
Wanita dengan semacam kerudung menutupi kepalanya, berkibar di tiup angin.
Susah payah, Nathaniel bangkit. Merasakan nyeri di sekujur tubuh. Dimanakah dia
?
Wanita itu mendekatinya. Melihatnya
prihatin. Lalu menggumamkan kata-kata yang tak dia mengerti. Nathaniel bingung,
bahasa asing. Dia menatap si wanita yang juga bingung. Nathaniel kelelahan,
nyeri hebat, tidak punya akses terhadap Bartimaeus lagi. Tidak punya apapun.
Sejurus kemudian, wanita itu
berbicara lagi.
“ Oh sorry. Can you speak English ?”
Nathaniel
mengangguk. Bahasa yang dipahaminya. Semacam kelegaan hadir di pikiran
kalutnya.
“ Are you okay ?”, tanyanya khawatir.
Wanita ini berusia sekitar
duapuluhan, tidak ada tanda-tanda magis apapun dalam dirinya, Nathaniel menilai
sekilas sebelum menangguk lagi. Sekarang dia merasa amat letih dan lapar.
“ Where are you from ? Where are your parents ?”
“
L-London. I-I d-don’t have any,” kata Nathaniel terbata-bata.
Si wanita menatapnya keheranan.
Di dalam mobil, 20.37 WIB
“ 7,8 SR. 691 KM
dari Kepulauan Mentawai, kedalaman 10 KM.”
Suara penyiar radio
membahana di dalam mobilku. Gempa besar dan kemunculan bocah ini. Sungguh tak
masuk di akal. Aku menatap bocah kurus yang duduk di kursi mobil di sebelahku.
Dia pun sepertinya keheranan. London ?? Memang sih dia jelas saja orang asing.
Tapi yang ku tau, turis asing biasanya tidak berkeliaran sendirian di kota ini.
Tidak dengan keadaan compang-camping kaget seolah habis mengalami peristiwa
mengerikan. Dan dia tidak punya orang tua, kataku dalam hati.
Dia diam saja, lelah dan lapar
sepertinya. Umurnya sekitar 16 atau 17 tahun, tetapi sangat kurus dengan mata
gelap seperti kakek tua dengan beban mental berlebihan. Dia tidak menolak
ajakanku untuk pergi dari pantai dan menembus kemacetan massa. Kusodorkan air
mineral dan menyuruhnya duduk dalam mobil. Lantas kuputuskan untuk mengajaknya
makan dulu. Tidak banyak informasi yang bisa digali dari bocah ini. Mungkin
setelah makan, dia akan ku antar ke kantor polisi, siapa tau ada kerabatnya
sedang panik mencari.
Kemacetan ini mengerikan. Tidak ada
jalan alternatif yang bisa kutuju. Dalam diam, kulihat bocah itu tertidur.
Nathaniel
Seperti mimpi yang aneh, kelebat
cahaya, cengiran Bartimaeus dalam wujud Ptolemy-nya, tatapan mata Kitty, dan
sesuatu atau seseorang mengetuk bahunya. Nathaniel terbangun mendapati dirinya
duduk dalam sebuah kendaraan dengan kursi empuk berwarna hitam. Wanita
berkerudung tadi yang membangunkannya, lalu menatapnya masih dengan keheranan
yang belum surut.
“We’re
arrived. Let’s eat something,” katanya lembut.
Wanita itu mengajaknya ke sebuah
kedai kecil dengan banyak buku. Pemilik kedai menyambut si wanita dengan ramah,
lantas melihat ke arah Nathaniel, tatapannya penuh tanda tanya. Si wanita tidak
menjelaskan banyak, mungkin sama bingungnya.
Nathaniel duduk di kursi kecil.
Sejurus kemudian, nyonya pemilik kedai yang bermata sipit dan berkulit putih
datang membawa sepiring makanan hangat, semacam daging yang ditusuk dengan
kayu-kayu tipis, dan segelas cairan berwarna bening kecoklatan. Tergoda rasa
laparnya, Nathaniel mulai makan dalam diam, meskipun dia tidak tau nama
makanannya.
Si wanita duduk menatapnya, masih
dengan gurat keheranan.
“ You’re starving,” katanya dengan rasa geli dan prihatin sekaligus.
“ What is this ?,” tanya Nathaniel memberanikan diri menunjuk daging
yang ditusuk itu.
“ Sate Padang. Very delicious. I bet you’ve never seen this in London, right ?”
Nathaniel
mengangguk. Ragu-ragu dia mencicipi makanan yang disebut sate padang itu.
Ternyata enak sekali. Tanpa ragu, Nathaniel menghabiskan makannya. Menyeruput
minuman dan perlahan merasakan tenaganya mulai pulih.
“Err..excuse
me. Where are we exactly ?,” tanyanya sejurus kemudian pada si wanita.
Wanita itu menatapnya semakin heran.
“ This is my friend’s book cafĂ©. You’re are in Padang now. Indonesia. Southeast Asia,” katanya
menjelaskan.
Nathaniel tertegun. Padang ?
Indonesia ? Yang dia ketahui hanyalah Indonesia adalah kepulauan tersembunyi di
samudera yang begitu jauh dari London-nya. Indonesia pernah disebutkan dalam
buku-buku di lemari kerja masternya, sebagai negeri dengan banyak mitos dan
sumber magis yang belum terpetakan.
“Do
you remember anything ? You’re name ? Siblings ?.” tanya si wanita
kemudian.
Nathaniel mengerjap. Dia tidak boleh
memberitahukan nama aslinya pada wanita ini. Meskipun tak sedikitpun niat jahat
terlihat dari si wanita, dia harus tetap berhati-hati. Bartimaeus, dia butuh
sang jin.
“
I’m John Mandrake and I need your help,” katanya jelas dan tegas pada si
wanita.
Keheranan, si wanita mengangguk.
Reruntuhan Bangunan, Kota Tua, Kampung Cina, 23.41 WIB
Ini adalah kejadian
paling aneh seumur hidupku. John Mandrake minta tolong padaku untuk mencarikan
selusin lilin putih besar dan kapur tulis. Yang lebih aneh lagi, dia minta
dibawa ke tempat sepi dan telantar. Dia tidak mau menjelaskan alasannya. Dan
aku, yang didorong rasa penasaran, malahs meng-iya-kan permintaannya. Padahal
aku mulai takut. Kota tua ini menyeramkan dalam siluet bayang-bayang reruntuhan
bangunan terlantar.
Di sepetak lantai kotor di dalam
sebuah bangunan yang dinding dan atapnya amblas, John mulai menyusun
lilin-lilin dan menyalakannya. Dengan kapur di tangannya, dia mulai menggambar.
Semacam pentacle besar dengan
ukiran-ukiran rumit. Simetris, dan ini karya seni luar biasa. Dalam kelelahan
dan gemetar tubuhnya, John tak bergeming. Menghabiskan kapur tulis itu,
mengecek berulang-ulang. Kemudian dia menggambar satu pentacle lagi mengelilingi aku dan dia.
“ I need you to stand still. Do not step out from this circle. Not a
finger,” katanya tegas.
Aku mengangguk dan bergidik ngeri.
Udara seolah lenyap, hanya meninggalkan rasa dingin menusuk.
John lalu mengucapkan bahasa rumit
dan asing. Mantra ?
Seolah berdoa sekuat tenaga, John
mengucapkan kata-kata aneh itu. Kabut berpendar di dalam pentacle besar, pekat dan berbau apak, kemudian berubah menjadi bau
telur busuk yang menyesakkan. Aku merinding hebat. Apapun itu, lantas
pelan-pelan mewujud dari kabut. Muncul sesosok pemuda berpakaian Mesir kuno
dengan cengiran jail tersungging di bibirnya. Tapi matanya, matanya begitu
gelap dan kosong. Seolah akan menelanku bulat-bulat. Aku menggigil.
Anehnya John terlihat begitu senang,
meskipun amat lelah dan bercucuran keringat.
Lalu suara kanak-kanak yang dalam
dan membekukan tulang membahana. Keluar dari mulut si pemuda Mesir.
“Hi
Boss, miss me ?,” katanya sarkastis, anehnya meskipun terlihat kejam, di
antara gigilanku yang makin hebat, aku bisa merasakan sedikit rasa hormat dalam
suaranya.
“Bartimaeus. Shakr Al-Jinn. I need you to
bring me back home,” John memerintahkan dengan tegas.
“Okay.
No need to hug me then. Cold as usual. Anyway, is she for me ? I’m hungry. This
is soooo faarr from where I used to be,” balasnya kejam. Aku gemetar
ketakutan memeluk diriku sendiri.
“She
remains unharmed. You are never allowed to lay a single finger on her,” bentak
John tegas.
Sosok yang dipanggilnya Bartimaeus
itu mendengus mencemooh, tetapi tidak membantah.
“Bring
me home, now,” John memerintah lagi. Ada kekuatan dalam suaranya. Lalu John
melangkah keluar dari pentacle. Aku
menahannya, merasa akan berbahaya kalau dia keluar. Dia menepis tanganku
menentramkan, lantas melenggang dengan santai.
Mendadak saja Bartimaeus berubah
menjadi elang raksasa berukuran besar berwarna putih keabu-abuan. John menaiki
punggungnya. Si elang mengedip padaku yang masih melongo kaget.
“Thank
you,” bisik John sebelum si elang mengepakkan sayap dan membubung ke
angkasa.
Aku masih gemetar sendirian.
Mencubiti lenganku. Ini bukan mimpi, kataku pada diri sendiri seiring sengatan
nyeri menjalar di lengan kiriku.
Nathaniel
Nathaniel terbangun. Angin menerpa
wajahnya. Si elang masih terbang samar melayang di atas birunya lautan. Mungkin
Samudera Hindia.
“ Sorry Bartimaeus.”
“
Yeah. You’re annoying. Now you call me back when I just felt my precious
freedom.”
“
You should try Sate Padang sometimes.”
“
What !? You should give me humans or maybe another Marid instead.”
Nathaniel terkekeh. Menatap cahaya
matahari berkilau-kilau dari kejauhan. Dia berjanji akan mengunjungi Indonesia
lagi. Dengan pendaratan yang elegan tanpa gempa, sekaligus menyatakan rasa
terima kasih yang lebih baik bagi si wanita penolongnya.
Dan dia punya keyakinan, si wanita
akan menantikan kunjungan Nathaniel berikutnya.
No comments:
Post a Comment