Sabtu,
16.47 WIB
Ruang
rapat mulai kosong. Hiruk pikuk diskusi alot tadi sepertinya sudah menghilang
begitu saja, digantikan dengan sisa-sisa kertas dan whiteboard yang penuh coretan. Hanya tinggal Jingga yang masih
sibuk dengan laptopnya, mengecek
berulang-ulang semua persiapan, rundown,
sponsor, perlengkapan, dan segala celah dalam penyelenggaraan Festival Budaya
Kampus minggu depan. Jingga, sang Ketua, sedikit perfeksionis, membatin
berulang-ulang kalau acara ini harus sukses dan meriah sampai penutupan
selesai. Dengan harapan festival ini akan jadi kenangan manis bagi semua yang
menyaksikannya.
“
Mas Jingga, saya duluan ya, permisi.”
Jingga
kaget, dia pikir dia tinggal sendirian. Ternyata Rem barusan pamit.
Remiza
Astria, mahasiswi semester 3 dari Fakultas Psikologi yang sedikit menggugah
rasa ingin tahunya. Kacamata, kucir kuda, ransel biru tua, dengan tampilan
seperti anak SMA, tak lupa kamera SLR besar yang dibawa kemana-mana. Menarik,
pikir Jingga. Tetapi sayang, Rem selalu ditemani Mo, seperti pengawal pribadi,
dan akan sulit bagi Jingga untuk mencoba mendekatinya.
Bukan
berarti tidak bisa, batin Jingga.
Senin,
13.19 WIB
Rem menyeruput
jus apel dinginnya, di meja favorit di pojokan kafetaria kampus. Menghela napas
panjang memperhatikan hasil jepretannya di layar laptop. Festival Budaya akan dilaksanakan mulai hari Jumat, rasanya
persiapan panitia publikasi dan dokumentasi sudah cukup baik, namun Rem masih
mengkhawatirkan eksekusi acara puncak hari Sabtu malam.
“
Harusnya kamu nggak usah ikut, Rem,” kata Mo di sampingnya.
“
Nanggung Mo, kan seru. Apalagi Malam Puncak. Kembang api. Kalau difoto dengan
pencahayaan yang oke, bakal bagus banget lah,” jawab Rem dengan antusias.
“
Bukan cuma itu yang kamu tunggu, kan !?,” balas Mo dingin.
Rem
langsung mengalihkan pandangannya dari layar.
“
Apapun yang mau kamu bilang Mo, aku bakal tetap melanjutkan rencanaku.”
Mo
hanya menatap Rem sedih.
Kamis,
20.37 WIB
“ Aku antar
pulang ya Rem.”
Jingga
menjejeri langkah Rem yang baru keluar dari gedung olahraga tempat persiapan
pembukaan Festival berlangsung. Ini kesempatan langka, tidak terlihat sosok Mo
seharian ini.
“
Eh, nggak usah Mas. Aku nungguin Kak Shaz, kakakku mau jemput katanya,” tolak
Rem halus.
Jingga
kecewa, tapi tidak menyerah.
“
Ya udah. Aku temenin sampai kakakmu datang. Anyway,
panggil Jingga aja. Nggak usah pakai Mas segala.”
Rem
mengangguk tersipu.
Kemudian
terdengar lagu pembuka Doraemon membahana, ternyata nada dering ponsel Rem. Geez, lovely nerd, batin Jingga. Rem
buru-buru mengangkat teleponnya.
“
Satu-dua jam lagi !? Aku lapar nih kak,” kata Rem berbicara pada siapapun di
telpon. Kak Shaz sepertinya.
“
Heuuu, pasien gawat. Yaudah deh, aku naik taksi aja. Bye, Kak,” lanjut Rem menutup pembicaraan.
Jingga
tersenyum.
“
Yes, rejeki aku. Yuk, ku antar pulang. Daripada naik taksi sendirian. Dan
karena kamu lapar, kita makan dulu. Ada nasi angkringan yang enak di seberang
kampus,” kata Jingga bersemangat.
Rem
tidak punya alasan menolak.
Jumat,
06.48 WIB
Rem mendadak
terbangun. Astaga, dia pasti bakal terlambat. Buru-buru, Rem siap-siap. Rem begitu
sibuk membereskan kamera dan perlengkapannya, sementara Mo sudah hadir dan duduk
di ujung tempat tidurnya.
“
Mo, kemana aja kamu ?,” tanya Rem berbasa-basi.
“
Menjenguk Mama. Aku kangen,” jawab Mo lirih.
Rem
tertegun.
“
Maafin aku ya Mo,” kata Rem, meskipun maaf itu tidak terlihat di kedua mata
cokelatnya.
Mo
bergeming.
“
Kamu dideketin Jingga ?”
“
Err..kayaknya sih Mo,” kata Rem, agak jengah.
“
Hati-hati Rem. Jingga bukan cowok biasa,” kata Mo menegaskan suaranya.
Rem
terkekeh pelan.
“
Santai Mo. Jangan paranoid gitu. Jingga baik kok. Dan tenang. Dia nggak bakal
bikin aku hilang fokus buat festival ini.”
“
Justru aku berharap kamu berhenti dengan rencana kamu.”
Rem
lagi-lagi tertawa dingin. Lantas menyeret ransel dan buru-buru keluar dari
kamarnya menuju kampus.
Jumat,
18.21 WIB
Pembukaan
Festival Budaya Kampus ke-9 berlangsung meriah. Sejak pagi, kampus ramai dan
acara berlangsung aman terkendali. Jingga mengangguk puas pada seluruh panitia
yang telah bekerja keras selama berminggu-minggu untuk menyukseskan acara ini.
Briefing terakhir sebelum acara puncak esok hari pun telah usai. Api unggun dan
kembang api sesuai tradisi akan dilaksanakan esok malam dan dijamin akan
membuat semua pengunjung serta panitia bergembira.
Jingga
menatap Rem di ujung meja. Masih mengecek foto-foto dalam kameranya, sementara
rombongan panitia yang lain telah berangsur-angsur meninggalkan ruangan. Jingga
beranjak mendekati Rem.
“
Bagus dong ya foto-fotonya ,” tanya Jingga.
Rem
tersenyum.
“
Lumayan, tapi kayaknya belum bakal bisa ikut kontes di National Geographic,” jawab Rem sekenanya.
“
Masukin aja. Siapa tau beruntung. Akhir bulan ini kan deadline-nya ,” kata Jingga sok tahu.
“
We’ll see. Foto besok bakal bagus
banget kayaknya.”
Jingga
tersenyum.
“
Semoga sesuai rencana deh besok. Biar jadi Festival Budaya yang paling memorable. Anyway, kamu nggak pulang ?,” tanya Jingga lagi.
“
Bentar lagi. Kak Shaz masih on the way dari
klinik.”
Mereka
tinggal berdua saja di ruang rapat. Situasi berubah jadi keheningan yang
canggung. Jingga kehabisan kata-kata. Rem pun sama. Jingga mulai merapatkan
duduknya. Jingga mulai bisa mencium wangi stroberi, parfum Rem sepertinya.
Lalu
Rem tiba-tiba berdiri.
“
Sorry Jingga. Aku lupa. Ada yang
ketinggalan di gudang belakang. Duluan ya,” kata Rem sambil mulai berlari
meninggalkan Jingga sendirian. Jingga hanya termangu.
Misterius,
sulit, tapi hari esok akan merubah segalanya, kata Jingga pada diri sendiri.
Minggu,
05.54 WIB
Gerimis hujan
turun membasahi bumi. Asap mengepul kehitaman sedikit-sedikit mulai berkurang.
Para petugas berseragam oranye masih mondar-mandir di area lapangan di belakang
kampus. Bangunan gudang yang terbakar sudah mulai kelihatan puing-puingnya.
“
Kebakaran besar telah menghanguskan gudang Universitas Pranatama tadi malam.
Kebakaran diduga dipicu oleh arus pendek listrik yang terlambat diketahui
karena sedang ada api unggun dan festival kembang api di sekitar tempat
kejadian. Belum dipastikan ada atau tidaknya korban jiwa dalam kejadian ini,”
kata si penyiar TV swasta yang berdiri beberapa meter jauhnya di depan
lapangan. Sejurus kemudian, tampak petugas berlarian ke gudang karena menemukan
sesuatu yang menggemparkan.
Mo
menghela napas. Rem menunduk di sebelahnya. Menatap nanar pada puing-puing
gudang yang terbakar.
“
Ternyata sakit ya, Mo,” bisiknya pada Mo.
Mo
hanya diam menatap sedih pada Rem.
“
Jingga mungkin menyimpan kameramu.”
“
Hasil karyaku Mo. Karya terakhirku.”
Senin,
11.27 WIB. Dua minggu kemudian.
Jingga
menatap foto-foto yang berserakan di meja kamarnya. Memang foto-foto yang
bagus. Cahaya api yang menari-nari terlihat seakan hidup kembali. Jingga puas.
Foto-foto dari kamera Rem. Usahanya berakhir sukses. Meskipun sayang sekali,
dia harus kehilangan Rem.
But it’s worth it, batinnya sambil
menyentuh sisa luka bakar kecil di tangan kanannya.
Rem
melayang bersama Mo dari balik jendela kamar Jingga. Jingga tertegun, lantas
menghadap ke jendela dan menatap langsung pada Rem dan Mo.
“
Ah, Rem. Mo. Sudah kuduga. Yuk, masuk. Aku nggak perlu buka jendela kan !?, ”
kata Jingga tertawa, dingin dan menusuk.
Rem
dan Mo masuk perlahan. Lantas tertegun menatap dinding kamar Jingga. Foto-foto
cahaya api dari berbagai sisi terpampang memenuhi dinding. Dan di tengahnya,
foto siluet manusia terbakar yang dengan geliat ketakutan, sakit, dan
mengenaskan terbingkai sempurna.
“
Mahakarya,” bisik Rem lirih.
Jingga
tertawa gembira.
“
Terima kasih untuk pengorbananmu Rem,” kata Jingga sambil menyentuh pipi
transparan Rem.
Mengabaikan
dingin yang menjilati jemarinya, Jingga lantas berbicara pada Mo.
“
Dulu Rem yang melakukan ini padamu kan ?”
“
Itu bukan urusanmu,” jawab Mo ketus.
Jingga
tertawa lagi.
“
Setidaknya kau mesti berterima kasih padaku, Mo. Aku sukses menyatukan kalian
kembali di alam yang sama,” kata Jingga gamblang.
“
Bukan hak mu,” balas Mo sengit.
Jingga
hanya tersenyum.
“
Sederhana saja. Aku hanya bosan. Ada api, ada gudang, ada listrik. Plus rencana
cerdas bonefire kamu, Rem. Yah,aku
perlu foto bagus sih. Sayang banget ya Rem, harusnya kita ikut kontes National Geographic bareng,” kata Jingga
santai.
Kecewa
dan pedih, Rem dan Mo lantas menghilang, meninggalkan Jingga yang mulai tertawa
keras dengan kepuasan abnormal.
Lalu
gerimis mulai hadir menghapus bau jejak dan kepulan asap.
---end--
No comments:
Post a Comment