"...'cause you're a sky full of stars, I'm gonna give you my heart...'cause in a sky full of stars, I think I see you...you're such a heavenly view..."
- Coldplay -
Kadang seseorang meninggalkan kita kenangan yang baik. Yang membuat kita memilih untuk membaca sebuah buku penting. Membuat kita senang dan sedih meskipun kita sudah memilih untuk tidak bersama dirinya lagi.
Jadi beberapa waktu yang lalu, saya membaca buku sains anyar yang terbit tahun 1980 namun edisi Indonesianya baru muncul tahun 2016 lalu, tepatnya di akhir tahun. Judulnya KOSMOS, oleh Carl Sagan. Beliau adalah seorang ahli astronomi terkemuka yang sudah mumpuni dalam bidangnya. Meskipun setelah membaca bukunya, saya yakin dia dan saya hanyalah setitik debu di alam semesta yang mengembang tiada batasnya.
Jadi kenapa tiba-tiba saya membaca buku astronomi ? Timbunan novel fantasinya udah habis ?
Erm, timbunan tentu masih ada, masih tuh waiting list di lemari. Tetapi saya sejatinya membaca buku ini karena kenangan. Beberapa waktu lalu, seseorang yang pernah penting buat saya menyarankan saya membaca buku ini (termasuk nonton seri Sherlock BBC, ngasih sealbum Coldplay, dan omongan absurd tentang filosofi kehidupan). Saya nggak tau orang ini sekarang dimana, karena saya yang memutuskan untuk berhenti (cerita lengkap tanya sendiri ya ke saya --- yakali bakal ditanya). Namun yap, kenangan akan orang inilah yang membuat saya membaca buku astronomi setebal empat ratus halaman lebih ini.
Kosmos, oleh penerbit KPG |
KOSMOS tidak hanya memaparkan dengan lebih baik tentang sejarah awal kehidupan kita, The Big Bang Theory, kenapa Bumi mengelilingi Matahari dalam lintasan elips, Venus yang beracun, kemungkinan hidup di Mars, bintang yang meledak, lubang hitam superbesar, sistem Jupiter, cincin Saturnus, anomali Neptunus, dan tentunya tidak hanya itu. Di dalam buku ini, saya yang pengetahuan fisikanya sudah tinggal remah-remah, tertegun berkali-kali akan kebodohan sendiri. Alam semesta tidak mesti selaras dengan ambisi manusia. Suatu kalimat yang bikin saya mikir. Segala yang kita ributkan di planet biru remeh ini tidak tampak berarti dalam ketidakterhinggaan galaksi.
Dari sudut pandang bintang, manusia hanyalah cahaya kecil, satu di antara miliaran kehidupan singkat yang berkelip-kelip lemah di permukaan bola silikat dan besi yang dinginnya terlihat aneh, padatnya tampak ganjil, dan jauhnya terlihat eksotis (hal.267)
Perjalanan ilmu pengetahuan ribuan tahun juga begitu panjang dipaparkan disini. Apa yang kita pikirkan ketika melihat langit malam. Jutaan tahun cahaya yang memisahkan kita dengan bagian lain dari alam semesta. Cahaya masa lalu dari bintang-bintang yang kita lihat saat ini, sungguh, mungkin buku ini sejatinya tidak menjawab pertanyaan, malah menambah pertanyaan tersendiri. Kita ini apa ? Gunanya apa untuk jagad raya ?
Maka bagi Anda yang mencari bacaan mencerahkan namun tidak biasa, cobalah membaca buku ini. Anda tidak perlu jadi juara olimpiade fisika untuk membacanya. KOSMOS sangat humble. Carl Sagan berusaha menuliskan dengan sebaik mungkin perkara astronomi yang bikin kepala pusing. Membuat kita sedikit banyak bisa membuka mata kita dengan lebih baik, bahwa dalam ribuan tahun yang telah dilalui peradaban kehidupan manusia, sesungguhnya tidak secemerlang keluasan alam semesta yang nyaris tidak terhingga. Namun kita adalah bagian dari Kosmos ini. Kita terbentuk dari debu-debu bintang mati, kumpulan senyawa organik dan anorganik yang terjalin atas takdir Ilahi.
Tentu saya berterima kasih, entah dia membaca ini atau tidak. Terima kasih untuk kenangan yang membuat saya memilih membaca buku ini. Buku itu seperti benih, bisa tergeletak telantar selama berabad-abad lalu berbunga di tanah yang tak terduga.
Semoga tergoda membaca..^^
"... Matahari kita yang sendirian adalah sebuah anomali..."
- Kosmos hal. 248 - Carl Sagan -
"...Stars lookin at our planet watching entropy and pain
And maybe start to wonder how the chaos in our lives could pass as sane
I've been thinking bout the meaning of resistance, of a hope beyond my own
And suddenly the infinite and penitent begin to look like home
And maybe start to wonder how the chaos in our lives could pass as sane
I've been thinking bout the meaning of resistance, of a hope beyond my own
And suddenly the infinite and penitent begin to look like home
When I look at the stars, I feel like myself..."
- Switchfoot -
Tengok langit, bayangkan angkasa, imajinasikan jagad raya...
ReplyDeletelalu lihat dirimu sendiri... ya, kamu kecil, kamu bukan apa-apa..
kamu itu bagai ketiadaan di antara semesta raya.
ulangi langkah di atas, lalu rasakan kekuasaanNYA