“...Do not underestimate your enemies, Your Majesty...”
- Raffaele Laurent Bessette -
Photo by jjackman - deviantart |
Setelah sempat reading slump dan liburan sekian lama, akhirnya saya berhasil menuntaskan satu buku yang cukup kelam dan depresif dengan judul THE MIDNIGHT STAR. Buku ini adalah pamungkas trilogi THE YOUNG ELITES karya penulis young adult hits, Marie Lu. Buku sebelumnya, THE ROSE SOCIETY memang berbeda dalam artian perjalanan kehidupan anti hero sang tokoh utama - Adelina Amouteru ( sudah dicurhatkan di sini). Menyebut diri sebagai serigala putih, Adelina tampil sebagai Ratu tiran kejam yang menguasai kerajaan Kenettra. Adelina melakukan kebijakan yang mengangkat harkat dan martabat para malfetto (kaum yang terkena wabah berdarah) secara signifikan.
Didampingi Magiano, elite kharismatik yang memiliki kemampuan menirukan bakat para elite lainnya, Adelina mulai memperluas kekuasaan ke daerah-daerah lain. Poin menarik dalam kisah pamungkas ini adalah Adelina mulai berhalusinasi, makin lama makin parah. Hal inilah yang disebut oleh Raffaele, bahwa kekuatan elite mereka perlahan menggerogoti jiwa dan raga. Bakat ini mulai menghancurkan mereka dari dalam. Pelan tapi pasti.
Saya tidak akan membahas plot lengkap keseluruhan dari THE MIDNIGHT STAR maupun trilogi ini. Poin yang menarik adalah Marie Lu cukup berani melakukan tindakan non fan service pada kisahnya. Kita yang membaca merasa ikut-ikutan tertekan. Adelina penuh dendam dan kemarahan. Kita dibawa pada kemuraman itu. Dan kita merasakan flashback maupun kisah pedih lain dari masing-masing tokoh. Tidak ada yang murni antagonis dan protagonis disini. Mereka adalah rombongan orang berbakat yang sudah terlalu banyak bergumul dalam penderitaan, tumbuh mendendam, membenci keadaan, dan tidak sok-sok jadi pahlawan.
Resolusi memang ditawarkan pada buku terakhir ini. Tapi ya itulah. Resolusi yang cukup realistis dan tidak berbunga-bunga. Marie Lu melakukan kreasi imaji nan cukup menarik dalam menjelaskan kemampuan para elite dalam kaitannya dengan semesta lain. Tidak sekedar bakat. Dan kembali ke konklusi favorit saya, semua ada harganya. Tidak bisa sim salabim setrong keren tanpa ada yang dikorbankan.
Edisi terjemahan oleh Mizan Fantasi |
Sebenarnya banyak novel lain yang cukup mumpuni dalam hal merusak perasaan pembaca. Marie Lu mulai menjajaki potensi ini. Dan saya rasa beliau cukup berhasil. Pengakuan para pembaca lain selain saya yang mengaku agak tidak ikhlas dengan keseluruhan kisah ini. Lantas apakah trilogi ini layak baca ? Jelas layak. Tidak ada putri yang menye-menye. Konflik tidak dibikin-bikin. Lebih kepada konsekuensi dari setiap bakat. Apa yang harus kita bayar. Apa yang sebaiknya tidak kita paksakan. Marie Lu menjabarkan dengan baik namun pedih untuk intisari ini. Dan jelas dengan cara yang baik.
Tokoh favorit saya dalam kisah ini adalah Raffaele Laurent Bessette, sang bijak yang sama menderitanya dengan para elite lain. Akhir kisah para elite menempatkan Raffaele pada posisi yang seharusnya, terlepas dari semua derita yang ditanggung sebelumnya. Saya merasa bahwa para elite ini adalah versi emo-kelam-destruktif dari para demigod keren yang bahagia dan gilang gemilang. Apakah ada kaitannya ? Sebaiknya anda baca sendiri.
Yang kurang mungkin eksplorasi latar dan legenda yang menjadi bagian kuat dari plot buatan Marie Lu. Mungkin karena bukunya tipis ya, jadi tidak bisa dipaparkan secara mendetail. Tapi tak apa, saya cukup puas dengan kisah buku ini yang tidak memaksakan untuk bahagia bagi semuanya. Ada harga dibalik karunia. Ada konsekuensi untuk setiap kisah.
“I am tired of being used, hurt, and cast aside. It is my turn to use. My turn to hurt.”
- Adelina Amouteru -
No comments:
Post a Comment