“...The good thing about science is that it's true whether or not you believe in it...”
- Neil deGrasse Tyson -
NASA report in November 2018 |
Umat manusia menurut sejarah telah menghuni Bumi hampir 6000 tahun lamanya, sedangkan Bumi itu sendiri berusia milyaran (4 atau 5 milyar mungkin). Kekuatan terbesar dari manusia sebagai parasit utama, adalah kecerdasan. Kepala kita yang berisi substansi lunak mirip tahu dengan volume sekitar 1,5 liter ini, berperan dalam perkembangan (plus kerusakan) dari sang planet biru. Saat ini, kita sudah tidak perlu menghabiskan waktu berhari-hari untuk ke pulau tetangga, cukup naik pesawat dan duduk manis saja. Kurang dari 2 jam, sudah bisa sampai ke ibukota dari Padang. Berkah ilmu pengetahuan bagi kehidupan kita.
Namun, bagai dua sisi mata uang, ilmu pengetahuan juga menyisakan petaka yang tiada habis. Tentu kita tidak lupa masalah bom atom Hiroshima-Nagasaki tahun 1945 yang efeknya masih bersisa hingga sekian dekade. Dan kita sekarang sedang berurusan dengan limbah dan perubahan iklim, plus polusi. Lalu, apakah ilmu pengetahuan yang salah?
Saya baru menyelesaikan buku ilmiah populer edisi terjemahan bahasa Indonesia bikinan mendiang Carl Sagan (beberapa bab ditulis bareng istrinya, Ann Drunyan) berjudul THE DEMON-HAUNTED WORLD: SAINS PENERANG KEGELAPAN. Buku setebal 500an halaman ini mengusung polemik sains dalam kehidupan manusia. Bagaimana sains mencerahkan, mengganggu, menghadapi penolakan, bertarung dengan berbagai mitos, bentrok dengan agama, dimanfaatkan untuk kepentingan politik dan kekuasaan, bahkan berhadapan dengan praktisi sains itu sendiri. Sagan mengupas habis mitos-mitos alam semesta, mulai dari urusan UFO sampai kelakuan manusia yang arogannya keterlaluan. Bacaan yang membuat garuk-garuk kepala.
Semakin banyak belajar, semakin banyak yang tidak kita ketahui. Sains berakar dari hal ini. Pengasahan pola pikir yang selalu skeptis terhadap banyak hal diperlukan dalam kadar yang tepat. Ketakjuban terhadap bagaimana semesta bekerja akan mendorong kita untuk berpikir, belajar, mencoba untuk menemukan penjelasan yang teruji berkali-kali dalam perangkat ilmu pengetahuan. Bahayanya, sejak dulu hingga milenial kedua masehi, kita akan terus berhadapan dengan pseudosains. Astrologi versus astronomi sebagai contoh. Apa urusannya rasi bintang dengan keuangan dan asmara? Namun, rubrik astrologi tidak pernah sepi peminat. Sejak jaman batu sampai jaman SIRI.
Sagan mengupas beraneka lapisan rumit kepercayaan manusia terhadap sains. Menyoroti sistem pendidikan yang buruk di Amerika (sebagian besar di dunia juga demikian tampaknya), yang belum menekankan pada pentingnya kemampuan berpikir kritis, falsafah bahwa tidak ada yang namanya pertanyaan bodoh, hingga pembunuhan massal yang dipicu keluguan tak berdasar. Yah, masalah berpikir kritis saja, saya baru belajar dengan benar dan terarah ketika menjalani jenjang pendidikan magister. Belum lagi beraneka stereotip yang menghancurkan. Ketika membaca buku dianggap keanehan, ketika saintis dianggap nerd, dan banyak contoh lain yang relevan bahkan paska dua dekade buku ini ditulis (buku ini diterbitkan di Amerika Serikat tahun 1996, di Indonesia baru muncul edisi terjemahannya tahun 2018 --- kejauhan ya, sedih).
Edisi terjemahan oleh Penerbit KPG |
Sagan mengambil contoh-contoh yang gampang terlihat dalam kehidupan sehari-hari kita. Tanpa basa-basi, Sagan menyebutkan bahwa kesuksesan industri yang memproduksi racun dalam bentuk rokok adalah salah satu contoh maraknya ketidaktahuan manusia mengenai cara mendeteksi omong kosong yang dijajakan sebagai kesenangan, ketidakmampuan berpikir kritis, serta kekurangan penerapan metode saintifik. Banyak orang dengan lugunya menerima kenikmatan sesaat untuk kesulitan bertahun-tahun, yang nantinya diikuti dengan kepasrahan. Setelah sakit, baru berdoa. Setelah sakit, baru berusaha.
Membaca uraian Carl Sagan dalam bukunya memang nyeri-nyeri sedap. Sebagai saintis yang berkecimpung dalam ilmu pasti, Sagan tanpa segan mengkritik kebijakan dan ajaran agama yang menurutnya tidak dapat diterima untuk bersanding dengan sederet bukti yang disodorkan ilmu pengetahuan. Di satu sisi, pembunuhan, kekerasan, dan stereotip memang terutama mengusung agama. Namun di sisi lain, agama seharusnya berdampingan dengan sains, untuk memberi kebajikan yang bermanfaat. Sains adalah alat. Manusia yang menggunakan.
THE DEMON-HAUNTED WORLD berisi 25 bab menarik dengan uraian yang asyik. Paparan Sagan tentang hoaks, politik, kesehatan, pendidikan, hingga filsafat, membuat saya merasa bahwa memang ada yang salah dengan kita. Lucunya, kesalahan itu terulang terus-menerus dalam kemasan berbeda di sepanjang perjalanan umat manusia. Sebelum Heliosentris berhasil dibuktikan, manusia ngotot bahwa Bumi-lah pusat alam semesta. Ilmuan-ilmuan dipenjarakan karena dianggap sesat. Saat ini, ketika gambar pertama Lubang Hitam resmi dirilis dan membuktikan teori astronomi anyar yang ada, manusia masih saja ngotot merasa paling penting dan ribut karena hal-hal yang sifat kebenarannya diragukan. Arogansi kita untuk merendahkan hati, mencoba mencari kebenaran, tidak sembarangan menilai sesuatu, memang masih sama saja setelah ribuan tahun berlalu. Sepertinya inilah yang gagal dalam evolusi.
Wawasan yang tidak teruji dan tidak terdukung, tidaklah cukup untuk menjadi jaminan kebenaran (Bertrand Russell-1929). Kalimat ini masih sangat relevan. Kita memang cenderung memahami apa yang kita ingin pahami, percaya apa yang ingin kita percayai, terlepas dari hal itu benar atau tidak. Yang penting kita senang, benarnya masa bodo. Hah, sungguh manusia.
THE DEMON-HAUNTED WORLD mungkin adalah salah satu dari sekian banyak bacaan menarik yang dapat kita kulik untuk sedikit membuka pintu pikiran. Apresiasi kepada Penerbit KPG dan penerjemahnya (Tyas Palar) yang berhasil menelurkan karya ini sebagai bagian dari harta intelektual. Kritik mungkin saya sarankan untuk kesalahan pengetikan yang lumayan banyak (lebih dari 10 kata) dalam edisi ini, semoga bila cetak ulang dapat diperbaiki. Buku-buku seperti ini sangat membantu untuk menyegarkan isi otak yang lelah melihat lini masa harian. Keributan tiada habis.
Sudah saatnya kita mulai skeptis, sudah semestinya kita takjub, namun, tiada salahnya kita belajar rendah hati. Kita tidak hidup abadi. Dari bintang terjauh yang terlihat mata, kita mungkin hanya kelipan. Dan kalaupun ada kehidupan cerdas lain di galaksi entah mana, bisa jadi mereka heran melihat ketidakmampuan kita untuk memperbaiki diri. Mengutip dan mendaur ulang paragraf terakhir tulisannya Sagan, saya menyimpulkan bahwa dalam dunia yang dihantui iblis yang kita huni sebagai manusia; sains, pengakuan hak asasi manusia, kepatutan, kerendah-hatian, dan semangat kebersamaan adalah hal yang tegak di antara kita dan kegelapan.
PS: Buku lain oleh Carl Sagan berjudul COSMOS telah diterbitkan edisi bahasa Indonesia-nya oleh Penerbit KPG tahun 2016 lalu (curhatannya di sini). Ayoh sana baca.
“...One of the saddest lessons of history is this: If we’ve been bamboozled
long enough, we tend to reject any evidence of the bamboozle. We’re no
longer interested in finding out the truth. The bamboozle has captured
us. It’s simply too painful to acknowledge, even to ourselves, that
we’ve been taken. Once you give a charlatan power over you, you almost
never get it back...”
- Carl Sagan -
No comments:
Post a Comment