“
Sore, Mas..”
Aku
mengenyakkan tubuhku di sofa alias jok mobil lama yang dimodifikasi bermotif
perca itu, sambil mengetuk bahu cowok gondrong yang sedang duduk bersila di
depan laptop.
“
Pulang kerja ? Rame ?,” katanya sambil tidak mengalihkan tatapan mata dari
kerjaan di depannya
“
Biasalah, Mas. Plus drama-drama gak jelas.”
“
Bersyukur atuh Neng. Jaman sekarang
banyak yang gak punya kerjaan kece macam kamu,” katanya sok bijak.
“
Iya sih. Tapi yah…Anyway, laper gak
Mas ?,” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“
A bit.”
“
Ya udah, tunggu bentar. Kopi juga kan ya.”
Aku
beranjak ke dapur kecil di ujung ruangan itu. Membuka kulkas mini warna hijau,
mengecek isinya, mengambil dua butir telur dan sayuran apapun yang tersisa.
Cowok yang kupanggil Mas Ray ini sepertinya harus diingatkan untuk belanja
mingguan. Untung ada stok mie instan.
Sambil
menggoreng telur, aku menyeduh air panas. Air di dispenser tinggal sedikit, Ray
pasti lupa. Sudah makin pikun atau tergencet deadline. Tapi setidaknya ruangan ini masih ‘lumayan’ bersih di
tengah segala detail kekacauan dalam dimensinya yang terbatas.
Kami
menyebut tempat ini The Bunker. Ini
dulunya adalah gudang tua terlantar di pinggir kota. Ray jatuh cinta pada
pandangan pertama pada tempat ini. Gudang tua dengan lapangan mini. Kemudian
membelinya secara kredit, mengubah dekornya, menambahkan ini itu, dan jadilah
semacam basecamp. Ray juga mencomot
tiang basket entah darimana, menambahkan ayunan besi yang diperoleh entah dari
siapa. Aku menambahkan detail ‘rumah’ di dalamnya. Dapur dan alat
bersih-bersih. Ray pura-pura lupa soal ini. Tapi dia dengan cerdas menyeretku
melihat The Bunker setelah diubah
asal-asalan sok artistik olehnya. Lantas seenaknya memintaku menambahkan
detail.
Maka jadilah tempat ini. Kadang-kadang kalau suntuk aku suka kesini. Teman-teman setengah mutan Ray yang lain juga sering mampir. Ramai dan hangat. Pelarianku untuk menemukan ketenangan.
“ Yuk, Mas. Makan dulu. Sibuk amat dari tadi,” kataku menyodorkan mie goreng dobel telur dan segelas kopi ke hadapannya. Untukku, cukup teh hijau saja.
Ray menghentikan ketikannya, lantas mulai menggasak mie yang ada di hadapannya.
“ Nggak makan, Neng ?”
“ Udah tadi,Mas. Bareng teman-teman di lapangan,” jawabku sambil menyeruput teh. Aku lalu melihat ke laptopnya. Ada proyek editing, proof-reading, script-writing, dan entah apa lagi di bar menu. Jelas, kepepet sepertinya. Biasanya aku akan ikut membaca hasil karyanya sambil berkomentar panjang. Tapi hari ini aku lelah, makanya aku memutuskan beranjak ke ‘kandang’ dan mengambil Donal Bebek koleksiku.
Ray kelaparan, mie gorengnya sudah habis licin tandas. Kopi tinggal ampas. Tanpa ba-bi-bu dia beranjak meletakkan piring kotornya ke dapur, mengusap kepalaku sejenak, dan kembali ke laptop.
Dan tiba-tiba theme song Game of Thrones membahana, keluar dari ponsel pintarku. Ayu, sejawatku, muncul di layar.
“ CITO,” katanya pendek.
Aku menghela napas. Mengangguk ke layar dan bangkit berdiri.
“ Pamit dulu, Mas. Jangan lupa isi air. Isi kulkas. Kopi juga mau habis. Dan mandi,” kataku cerewet sambil meraih tangan kanannya dan menaruhnya di dahiku dengan terburu-buru.
“ Hati-hati,” balasnya, mengusap kepalaku lagi.
“ Oiya, salam buat Najma juga ya. Kali aja dia mampir nanti.”
Ray tersenyum pahit.
“ Status quo. Lain kali aja ceritanya,” katanya pendek, melihat kekhawatiran yang seketika muncul di mataku. Ah, maafkan aku Mas. Kalau aku bisa, mungkin aku akan bertahan disini mendengar ceritamu soal Najma, pujaaan hatimu yang manis mempesona itu. Apa daya, kewajiban memanggil.
Aku beranjak keluar dari The Bunker. Menuju Unicorn Merah-ku yang sedang menatap was-was pada si Kabut yang tertidur. Hidungnya yang besar mengeluarkan asap keperakan berbentuk jamur yang hangat seiring dengan napasnya yang naik turun. Setelah berkali-kali kesini, si Merah tetap terlihat paranoid bila bertemu Kabut. Jelas saja, Kabut adalah seekor Naga besar sangar peliharaan Ray, sebagai alat transportasi utamanya kalau kemana-mana. Kabut tentu saja takkan menyakiti si Merah. Kabut pun sudah akrab denganku, tetapi penunggangnya hanya Ray. Lagipula, aku lebih nyaman bersama si Merah.
Aku membelai surai si Merah, menyodorkan apel dari tas ke moncongnya, dan berbisik untuk destinasi selanjutnya. Senja mulai menjelang, meskipun mendung. Semoga hujan tidak terlalu lebat. Aku menaiki si Merah, dan mulai mengendarainya keluar dari pekarangan The Bunker.
Ω
Ayu menatap ujung jalan sambil sekali-sekali mengecek ponselnya dan menerima pesan-pesan berkilau dari banyak orang tak jelas.
“ C’mon. Where are you ?”
Aku melihat pegasus milik Ayu dari kejauhan, meringkik tak sabar. Si Merah melaju bersemangat melihat Pegasus sahabatnya, yang secara kebetulan berwarna sama dengan kulitnya. Dan kami pun sampai di hadapan Ayu.
“ Telat ih, “ omel Ayu padaku.
“ Sorry. Jalan biasa ada kemacetan. Ada rombongan pejabat pongah mengendarai karpet terbang model baru, sialnya mereka terbang rendah. Sengaja pamer. Aku terpaksa cari jalur alternatif. Nyaris nabrak bison perak langka.”
“ Alasan deh. Sibuk ngobrol sama si Ray itu palingan,” tuduh Ayu.
Aku tertawa pelan.
“ So, apanya yang CITO ?”
Ayu menghela napas lelah.
“ Lagi dan lagi. Dua dinasti ini berantem. Cuma masalah ensiklopedia.”
“ Ensiklopedia ?,” tanyaku heran.
“ Satu set Biblious Encyclopedia of Human Literature and Magical Illustration. Yang katanya didesain khusus oleh Dewa Bibli itu sendiri.”
Aku merinding kagum. Ensiklopedia super langka bernilai seni tinggi yang cuma pernah kulihat di layar kaca. Ensiklopedia itu memuat sejarah karya sastra dan literasi manusia sejak mengenal tulisan, disertai ilustrasi-ilustrasi bergerak dalam dua dimensi yang jelas ditulis dan digambar dengan tangan. Kreativitas super dan sihir luarbiasa kuat.
“ Yang kita tau kan ensiklopedia itu selama ini berada di Pustaka Kencana di pusat kota, pimpinan Madam Rifda. Tetapi minggu depan Ensiklopedia itu bakal dilelang demi mendukung keuangan negara kita yang morat-marit. Nah, dua dinasti ini sudah pasti akan bertarung habis-habisan untuk memperebutkan ensiklopedia langka. Sudah banyak banget gosipnya beredar, bakal setinggi apa taruhannya, macam-macamlah. The problem is..those books were missing this evening. On the bright sunny day,” kata Ayu menjelaskan.
“ Lantas ?,” kataku lemot.
Ayu ngomel tak sabar.
“ Mereka saling tuduh. Situasi mulai memanas. Para penghuni masing-masing dinasti sudah mulai perang di media sosial. Bikin sakit kepala aja. Kalau dibiarkan, mereka akan mulai adu kekuasaan di dunia penerbitan semesta. Mereka akan mengamankan penerbitan masing-masing. Berebut penulis, berebut editor, penterjemah, sumber daya kertas, buku elektronik, mulai dari cara lobby biasa, sampai culik menculik secara magis. Semua aspek dalam dunia literasi akan kacau balau. Dan kita nggak bakal bisa baca buku apapun lagi karena mereka sibuk berantem hak cipta.”
Aku melongo. Bisa gila kalau nggak bisa membaca lagi. Ray pasti belum tau ini, dan aku tiba-tiba khawatir akan hasil usahanya selama ini yang mungkin saja tak jadi terbit karena masalah ini.
“ Dan inilah tugas kita. Penyelidikan dan negosiasi,” kata Ayu sejurus kemudian.
Astaga, demi Dewa Bibli. Bernegosiasi dengan kedua dinasti ? Menyelidiki pencurian ensiklopedi? Ingin rasanya aku kabur bersembunyi di The Bunker saja kalau begini.
“ Ini tugas kita. Tim Intelijen Literasi. Tunggu bentar. Aku lapor Bos Besar dulu. Sekalian ngumpulin anggota Tim,” kata Ayu agak panik.
Aku pasrah menunggu, sambil menatap si Merah yang hidupnya terlihat jauh lebih tenang dan damai.
Ω
Langit sudah gelap ketika aku dan Ayu sampai di Pustaka Kencana. Bos Besar alias Ibu Suri meminta kami berkumpul di tempat kejadian perkara. Sejujurnya aku jarang kesini. Merasa agak terintimidasi dengan kemegahan bangunan dengan pintu besar berukir burung hantu hitam tersebut.
Kami masuk, aura magis pustaka langsung terasa. Belum lagi bau kertas beraneka jenis. Terkesan kuno tapi menenangkan. Kami lantas menaiki lift bundar menuju ke lantai teratas. Setelah pintu lift mendenting terbuka, kami keluar dan berpapasan dengan dua orang lain. Seorang gadis yang lebih muda dariku langsung memelukku erat, sementara cowok tambun di belakangnya tersenyum lebar.
“ Mbaaaakkk.. Aku kangeeenn. Akhirnya kita kerja bareng lagi,” kata gadis bernama Mary ini setelah melepas pelukannya. Dia lalu ganti memeluk Ayu yang tersenyum.
“ Yo !,” sapa Denny mengajakku tos.
Setelah reuni singkat sambil lalu dan bercerita kesibukan masing-masing, kami masuk ke Ruang Pusaka Literasi. Ruangan berpenerangan lampu kuno dengan ribuan arsip langka yang tersusun dalam rak-rak berpendar kebiruan. Sihir Penjaga Buku, batinku. Sepintas lalu rak-rak itu terlihat hanya rak kayu rapuh berwarna hitam dengan ukiran burung hantu di setiap sudutnya, tetapi jangankan manusia, kecoa saja bakal tersengat listrik bila mendekati setiap helai lembarnya. Perlindungan ekstra arsip langka, menghalau semua hama dan tangan-tangan jahil tak berkepentingan.
“ Welcome guys, have a seat.”
Terdengar suara hangat berwibawa dari tengah ruangan. Ibu Suri Habsari, Bos Besar kami menyambut kami duduk di kursi antik yang mengelilingi meja segi enam kuno. Di sebelah Ibu Suri, seorang wanita sebaya Mary duduk dengan senyum tipis. Sedih dan terguncang sepertinya, meskipun dia masih mengusahakan beramah tamah. Mungkin ini Madam Rifda, pikirku. Wow, muda sekali.
“ Okay, now you’re all already here. Yah seperti yang kita tau, Ensiklopedia Bibli hilang tadi siang. Dan ini akan jadi rumit dan menyusahkan kalau kita tidak berhasil menemukannya sebelum minggu depan. Denny, please.”
Denny lalu mengetik beragam kode di gadget miliknya. Layar hologram langsung terbentang menyala di hadapan kami. Menampakkan tampilan Ensiklopedia Bibli sebelum menghilang.
“ Ensiklopedia Bibli terdiri atas 17 buku bersampul kulit kambing Persia dan kertas dalamnya berupa lembaran-lembaran papyrus langka. Tidak ada yang tahu cara pembuatan ensiklopedia ini, ditemukan terkunci sekitar 2 abad lalu di bawah Bukit Magma,” kata Ibu Suri memulai penjelasannya.
“ Seperti yang telah kita sama-sama ketahui. Ensiklopedia ini memuat sejarah literasi dan sastra dunia dari awal aksara diciptakan, dilengkapi dengan ilustrasi warna-warni yang bergerak,” lanjut Ibu Suri. Layar hologram lalu menampilkan salah satu jilid ensiklopedia, yang mana lembarannya menunjukkan seorang pengrajin sedang mencetak kertas.
“ Selama berabad-abad, setelah ensiklopedia ini ditemukan di negeri kita, Pustaka Kencana menjadi satu-satunya tempat yang mampu menjaga dan mewadahi besarnya kekuatan sihir dari ensiklopedia ini. Disini, diantara sekitar dua ratus ribu lebih buku kuno, mampu menetralkan dan menjaga ensiklopedia supaya tidak beterbangan kesana kemari.”
Aku menghela napas lelah. Aku baru tahu. Ensiklopedia yang bisa terbang. Baiklah.
“ Semua sihir yang dipancarkan setiap lembaran buku kuno dalam ruangan ini menjaga ensiklopedia tetap ‘tenang’ pada tempatnya. Disertai pelindung elektronik dan sederet kode komputer supercanggih, ensiklopedia ini terkurung dalam selubung magis dan perangkap laser, tepat di tengah-tengah ruangan ini. Melayang terkendali.”
“ Pertanyaannya, bagaimana ensiklopedia seberat hampir 60 kg hilang lenyap tak berbekas, tanpa ada kerusakan pintu. Tanpa ada kerusakan buku-buku di ruangan ini, atau kerusakan piranti lunak di sekitar ruangan. Lasernya dimatikan. Dimatikan semudah memencet sakelar lampu,” tanya Ibu Suri, lebih kepada diri sendiri. Madam Rifda terlihat lesu, tampak semakin terguncang di sebelahnya.
“ Jelas saja. Sihir dan teknologi setingkat Dewa Bibli,” tukas Denny.
Ibu Suri mengangguk menyetujui.
“ Lalu kenapa dua dinasti itu yang harus kita curigai ?,” tanyaku masih bego seperti biasa.
Ibu Suri menatapku prihatin.
“ Yah, mungkin kau terlalu sibuk di duniamu yang satu lagi, sehingga kau tak tau kalau dua dinasti ini begitu terkenal dengan keculasan mereka masing-masing. Denny, next.”
Tampilan ensiklopedi di layar berganti dengan dua panji-panji besar. Yang satu berlambang mangkuk keemasan dengan lembaran kertas berkilau dan sepasang sumpit hitam berpendar. Yang satu lagi begitu kontras, sebuah peta dan kompas kuno yang terlihat antik. Denny mengetuk panji bergambar mangkuk terlebih dahulu dengan jari telunjuknya.
“ The Golden Bowl adalah dinasti literasi yang berkiprah di bidang buku dan makanan. Mereka merajai industri kuliner sekaligus penerbitan komersial dengan beraneka buku-buku berkualitas tinggi dari penerjemah ternama. Pimpinannya, menyebut diri sebagai King of Meat, seorang lelaki yang tak pernah mau menunjukkan wajahnya ke publik. Tapi aku kenal baik dia, tentu saja. Setiap inci pipi tembemnya itu,” kata Ibu Suri. Ekspresinya nyaris geli dan sebal sekaligus.
Kami menatap Ibu Suri penasaran.
“ Dia adikku. Keras kepala, menyebalkan. Sudah bertahun-tahun tak menghubungiku.”
Kami melongo. Yang dicurigai tersangka adalah adik Ibu Suri sendiri. Dan, pimpinan dinasti The Golden Bowl pula. Kepalaku mulai pusing.
“ Ceritanya panjang. Tidak penting untuk saat ini. Lanjut Denny,” perintah Ibu Suri memutus keingintahuan kami.
Denny lalu mengetuk layar hologram lagi. Peta dan kompas antik muncul.
“ Dinasti Ruby’s Emperor. Sebuah dinasti literasi saingan, bekerja underground menerbitkan buku-buku indie dan mencetak ulang dalam bentuk lebih simpel dan terjangkau semua buku-buku lama bersejarah sehingga dapat dibaca khalayak yang lebih luas. Mereka menyebut diri sebagai Bajak Laut Dunia Penerbitan. Belakangan mereka berhasil melobi penulis-penulis terkenal untuk menerbitkan karyanya di percetakan mereka. Ini membuat King of Meat marah besar. Apalagi banyak penulis muda berbakat yang mulai sejalan dengan prinsip Lady Ruby, pimpinan dinasti ini.
Mereka bertarung tanpa henti, legal maupun illegal. Sihir dan teknologi modern, untuk berburu naskah langka, penulis ternama, editor, semua aspek di dunia literasi kita. Tak heran masing-masing utusan mereka selalu muncul dalam pelelangan buku. Dan puncaknya, lelang ensiklopedia Bibli yang seharusnya diadakan minggu depan. Mereka masing masing sudah memesan separuh kursi yang disediakan, memastikan pertarungan epik dalam memperebutkan karya legendaris ini.”
“Dan bukunya menghilang,” desah Ayu.
“ Parahnya, mereka sudah tau. Dan saling tuduh. Media sosial sudah mulai traffic dan hectic saat kita duduk santai begini,” lanjut Ibu Suri.
Aku masih tak mengerti kenapa dua dinasti ini yang dicurigai.
“ Butuh sihir luarbiasa kuat untuk ‘mengelabui’ seisi Pustaka Kencana dan ribuan buku-buku disini. Butuh teknologi ekstra mumpuni untuk mematikan sistem laser dan meng-hack pengaturan komputerisasinya. Silabel kode-kodenya berlapis-lapis dan terancang dalam urutan sandi seperti susunan DNA. Yang memungkinkan memiliki kemampuan tersebut, sayangnya hanya kedua dinasti ini.”
Oke. Otak lambanku akhirnya paham. Tapi untuk apa ? Kenapa mereka tidak bertarung secara fair saja di lelang minggu depan ?
“ Kenapa mereka jadi tidak fair begini, akupun tak mengerti,” kata Ibu Suri seolah membaca isi kepalaku.
“ Yang jelas, aku mengumpulkan kalian untuk menyusup ke masing-masing dinasti. Menyelidiki. Selanjutnya kalian…”
Kali ini theme song Star Wars bergema di ruangan. Ponsel milik Ibu Suri ternyata. Ibu Suri mengangkatnya dengan tidak sabar. Setelah berbisik-bisik sejenak, wajahnya langsung pucat. Beliau mematikan ponsel, lalu menatap kami dengan kilau kepanikan tertahan di kedua mata cokelatnya.
“ Bencana tambahan. Beberapa penulis muda, editor, dan penterjemah hilang. Hilang lenyap di depan pintu rumah masing-masing.”
Mary memekik tertahan. Aku berdiri saking kagetnya.
“ Beberapa ??!!,” tanya Ayu setengah berteriak.
“ Daftarnya akan datang ke gadgetmu sebentar lagi, Denny,” kata Ibu Suri menguatkan diri.
Sebuah pesan holografik masuk ke layar dari gadget Denny. Denny segera membukanya. Totalnya ada selusin, tiga penulis, empat editor, dan lima penterjemah ternama yang mukanya sering kulihat wara-wiri di toko buku dan televisi khusus Dunia Literasi.
Aku panik sendiri, terpikir olehku keberadaan Ray. Memang dia editor pemula, tapi dia berhubungan juga dengan orang-orang yang hilang tersebut. Aku mengecek ponselku. Tepat saat itu, sebuah e-mail masuk.
Kabur bareng Kabut, sembunyi dan mengungsi ke tempat aman.
The Bunker diawasi orang-orang tak dikenal.
Jangan khawatir. Kamu hati-hati.
Seolah telepati, untunglah. Sepertinya seisi dunia sudah tau masalah ini. Meskipun aku khawatir, setidaknya ada Kabut bersama Ray.
“ Lantas, apa rencana kita selanjutnya ?,” tanyaku sedikit enteng memecah keheningan.
Ibu Suri lalu mengeluarkan sebuah buku memo kecil lusuh, merobek kertasnya, yang langsung membesar seperti kanvas di atas meja di hadapan kami.
“ Kita mulai dari sini….”
Ω
Lanjut mba :3
ReplyDelete