Seseorang
pernah berkata padaku, akan ada saatnya bagimu untuk berhenti.
Dan
mungkin ini saatnya, kataku pada diri sendiri.
Ceritanya
sederhana, sepele malah. Aku seperti biasa masih jadi hamba Tuhan yang kurang
bersyukur. Tetapi Sang Maha sepertinya amat sangat menyayangiku dengan
menunjukkan sesuatu hal hari itu. Bermula pada suatu sore, saat bangun dari
tidur siangku, aku menerima kabar dari layar gadget mini milikku yang suka nge-hang.
“
Aku sudah disini.”
Well, selalu dan seenaknya. Dia datang
dan tiba-tiba muncul dalam hidupku. Memberitahukan kabar kedatangannya ke kota
ini. Aku yang nggak pandai munafik tapi ahli berbohong, lantas mengajaknya
untuk bertemu. Nanti, balasku, setelah tanggung jawabku kulaksanakan.
Aku
punya pekerjaan yang biasa. Dengan jam yang santai selepas magrib. Sebagai
lajang berhutang dan punya obsesi mengoleksi buku berlebihan (kecepatan membeli
tidak sebanding dengan membaca), aku punya kewajiban untuk bekerja keras.
Pulang malam bagiku sudah sewajarnya. Meskipun kadang aku sengaja mengabaikan
tatapan prihatin dan khawatir kedua orang tuaku tercinta. Bagaimanapun juga,
seorang wanita usia produktif layak menikah tidak seharusnya kemana-mana
sendirian mengurusi hidupnya. Aku hanya tersenyum menatap kedua orangtuaku tiap
mereka memunculkan masalah itu dalam obrolan. Bukannya aku tak ingin, tetapi
lelakinya saja yang belum muncul.
Lantas
siapa yang selalu dan seenaknya itu ?
Sebenarnya
aku juga tak paham dia menganggapku apa. Kami berkomunikasi tiap hari. Mulai
dari hal-hal remeh seperti sudah makan atau belum, sedang apa dan dimana, atau
segala hal klise lainnya, hingga ke masalah dunia yang lebih berat. Kami sudah
seperti ini nyaris dua tahun lamanya. Saling perhatian satu sama lain. Kalau
kalian melihat history percakapan
kami, mungkin kalian akan berasumsi kalau kami ini sepasang sejoli.
Jalan
bersamanya adalah suatu kenyamanan nyaris sempurna. Perlindungan standar yang
diharapkan seorang wanita. Tetapi sayangnya, kenyataan tidak berlaku demikian. Friend-zone, bro-zone, mungkin juga betadine-zone, seperti kata adikku.
Hanya sekedar menemani saat satu sama lain terluka. Lebih dari itu tidak ada.
“
Nanti kita ketemu ya. Kabarin tempatnya dimana. ”
Maka
aku menjalani pekerjaanku dengan semangat dan harapan yang berbeda dibanding
hari-hari monoton biasanya. Akhirnya aku ketemu dia lagi. Terbayang di kepalaku
banyak hal yang bisa aku ocehkan. Dia akan mendengar dengan sabar, lantas
menepuk-nepuk kepalaku lembut. Tau sekali bagaimana caranya membuatku addicted dengan keberadaannya.
Setengah
jam sebelum pulang kerja, dia mengabari meeting
point kami. Aku pun bersiap-siap. Tak lupa aku mampir ke apotik, karena
ingat sebelumnya dia mengeluh hidungnya mampet karena alergi. Belum lagi
batuk-batuk akibat asap yang mulai merambah ke kota ini. Dia tak pernah meminta
diobati, tetapi aku sudah terbiasa seenaknya. Annoyingly worry, aku memang begitu padanya. Dia tak keberatan. Aku
menjaganya tetap sehat, meskipun secara mental aku tak sanggup mengobati
kekosongan hatinya.
He’s like an empty shell.
Dia
tak menginginkan masa depan. Getting sick
of life. Tak tau harus seperti apa jadinya dunia. Depresi. Tak punya mimpi,
harapan hidup, rencana. Menyia-nyiakan isi kepalanya yang cerdas. Karena alasan
chessy masa lalunya. Aku pun tak
sepenuhnya paham. Tapi toh mau dikata apa.
Aku
pasrah saja bersamanya. Tak menuntut apa-apa. Cuma ingin dia bertahan hidup
saja. Keberadaannya penting dengan cara yang aneh. Mungkin semacam pelajaran
buatku. Aku tak tau, sampai kapan. Dia sudah menyerah, katanya. Aku tidak,
jawabku. Dengan sombongnya aku bilang kalau akan terus mendoakannya. Tuhan tau
itu, Dia sering mendengar pengaduanku soal ini.
“
Kerjaan udah siap nih. Aku berangkat ya.”
Aku
mengetik pesan singkat sebelum menyalakan mesin mobil.
Pernah
dengar yang namanya firasat ?
Kadang
itu adalah cara-Nya untuk memberi peringatan pada kita sebelum melukai diri
sendiri meskipun kita cenderung mengabaikannya.
Sepanjang
perjalanan, aku sekilas melirik smartphone
yang tergeletak di kursi sampingku. Tak ada bunyi pesan masuk. Tak ada
tanda-tanda jawaban apapun.
Akhirnya
aku sampai di jalan yang dijanjikan. Masih ramai orang-orang sekitar
berkeliaran. Aku memutuskan parkir di pinggiran, mencoba meneleponnya.
Berkali-kali. Tak diangkat. Puluhan pesan kukirimkan. Tak dijawab.
Dan
aku panik. Berpikir kalau dia mulai kehilangan kewarasannya. Ngalor-ngidul
kesana kemari tak tentu arah. Vagabondage
tanpa tujuan. Sendirian. Langit gelap, tanpa bintang. Bagaimana kalau hujan ?
Yang kutau, dia sendirian kesini dan tak punya niat bertemu siapapun selain
aku. Apakah aku salah ?
Maka
aku kembali memacu gas mobil, berkeliling nyaris satu jam. Berusaha melihat
sepanjang pinggiran jalan. Pelan-pelan sembari terus berusaha menghubunginya
lewat telepon. Nihil. Tak terjawab sama sekali. Akhirnya, nyaris putus asa,
tidak bisa berpikir jernih, aku memutar ke gerai fastfood ternama, masih berharap siapa tau ada dia disana. Karena
dia pernah menghabiskan malam sendirian di kedai 24 jam itu. Nyatanya tak ada tanda-tanda
keberadaan dia di antara terang benderang lampu kedai. Aku menahan sedih dan
amarah yang mulai menyesakkan dada. Lantas membeli eskrim favoritku, memakannya
dalam diam untuk menstabilkan mood kembali.
Dan
aku memutuskan untuk pulang ke rumah.
∞
“
Udah di rumah ?”
Dia
bertanya dengan nada merasa bersalah. Aku nyaris mengabaikan panggilan via
teleponnya yang muncul setelah aku merebahkan diri di tempat tidur. Tapi aku
tak tega, seperti biasa. Meskipun amarah dan rasa kecewaku bangkit seketika.
“
Iya. Kamu dimana ?”
Dia
menjawab seadanya. Sedikit hatiku lega, tapi amarah itu masih dalam level
tertinggi.
“
Marah ya ? Maafin aku,” katanya memelas.
“
Iya. Udahlah, aku capek. Mau tidur. Lagi gak pengen ngobrol. Bye.”
Dia
terdiam di seberang sana. Lantas meng-oke-kan permintaanku dan memutuskan
sambungan.
Aku
tak sanggup mendengarkan kata-katanya. Pertahananku pasti luluh. Maka aku
memutuskan untuk tidur saja. Setidaknya dalam mimpi hidupku jauh lebih tenang.
Mungkin saja.
Dan
setelah malam itu, dia menghilang. Satu pesan singkat berisi permintaan maaf
hadir di ponselku. Selanjutnya tidak ada apapun. Mungkin kemarahanku berujung
keputusan ini. Baginya dan bagiku. Mungkin ini saatnya. Saat untuk tak lagi
bergelut dalam kepenatan perasaan macam ini.
Yang
kurasakan kini hanya kosong. Ruang yang ditinggalkannya tak mungkin diganti.
Aku tak sekejam itu berharap ada orang yang akan mengisi ruang kosong itu.
Biarlah. Biarlah jadi memori. Pelengkap cerita masa tuaku nanti. Dan aku tau,
Sang Maha masih punya rencana baik untukku di masa mendatang. Dia akan jadi
cerita, dan aku berterima kasih. Untuk semuanya. Untuk segala suka duka.
No comments:
Post a Comment