“..we are all
pretending to be something..imitating something..someone..and we are no more,
and no less, than what we can convince other people that we are..”
Seperti biasa, saya selalu telat dalam hal yang disebut
sebagai menonton film bagus. Bukan apa-apa, di kota saya, nggak ada bioskop
yang relevan. Jadi setelah sekian lama, saya baru bisa nonton film ini. Film
yang sejak akhir tahun lalu (sekitar November 2014) menuai pujian dan nominasi.
Alasan saya nonton bukan itu, saya kebetulan suka sama sebut saja babang Ben
a.k.a Benedict Cumberbatch, si ganteng kharismatik yang bikin saya fangirling selama marathon seri Sherlock
BBC. Selain itu film ini juga direkomendasikan oleh seseorang yang kebetulan
minggu ini berhasil menguras pertahanan mental saya.
Jadi apa ceritanya ?
Tentang seorang matematikawan jenius (Alan Turing, babang
Ben memerankan tokoh ini), yang berhasil memecahkan suatu ENIGMA dalam World
War II. Enigma ini dipakai oleh negara saingan buat berkomunikasi. Memang,
sejatinya otak saya ini gak paham-paham banget masalah coding, binary, encrypted , dan semacamnya. Tapi, buat saya, banyak
hal-hal manusiawi di film ini yang membuat kemanusiaan kita dipertanyakan.
ini dia babang Benedict Cumberbatch yang jadi Prof.Turing (brain is the new sexy - serial tv yang lain, nik) |
Alan Turing ini orangnya nggak biasa, selain identitas
homoseksualnya (buat saya sih itu urusan dia), dia juga sulit berkomunikasi
dengan orang lain. Khas nerd, geek,
seperti itulah. Tapi, kayak kata tokoh pendamping dia, Joan (Kiera Knightley) :
I know it isn’t ordinary, but whoever
loved ordinary ?
Yes. Film ini berhasil bikin saya menangis sakit hati.
Selain kata-kata yang nancep (quotes
gitu istilahnya), masalah moral, kekejaman perang, dan jahatnya manusia,
ditonjolkan dengan pas disini. Saya udah me-list
daftar hal-hal yang bikin saya meringis ironis teriris. Nih dia..
- Alan Turing ini jenius, pinter banget, tapi karena ‘berbeda’..dia di bully. Sejak di masa sekolah. Kadang saya mikir, manusia kok suka gitu ya. Suka banget menghakimi sesama, padahal kita ini apalah ya. Kalau Tuhan mau, udah menguap ditelan badai matahari (abaikan, kepikiran dystopia sejenak)
- Ketika sudah berhasil memecahkan misteri Enigma, Prof.Turing harus mengambil keputusan untuk mengorbankan beberapa nyawa demi banyak nyawa lain (for the greater good). Kekejaman perang.
- Dia dihakimi karena orientasi seksualnya, dipaksa menghapus semua bukti kerja kerasnya (yang menjadi cikal bakal computer masa kini), dan pemerintah negara tersebut baru minta maaf 50 tahun kemudian, setelah dia udah nggak ada. Damn shit !
- He committed suicide. Merasa hampa. Dan nggak ada yang bisa nolongin dia. Dia sendirian. Benar-benar sendirian. Setelah apa yang dia lakukan buat orang banyak. Sediiihhhh.
Sebenarnya masih banyak lagi yang bikin saya merasa tersudut
secara mental, tetapi sudahlah. Saya tau, mungkin saya sama jahatnya dengan
siapapun dalam hal ini. Hanya saja, melihat pahitnya kebenaran, kekuatan ilmu
pengetahuan, dan kejamnya penghakiman oleh manusia itu sendiri, membuat saya
menitikkan air mata sakit hati selama menonton film ini. Good job. Mau menang penghargaan atau nggak, buat saya udah ada high appreciation tersendiri.
Terakhir, seperti biasa, film ini mengingatkan
saya pada seseorang. Yang mungkin sedang sendirian menghadapi perang stagnasi
di kepalanya. Saya tau, saya sudah mengulurkan tangan, tetapi mungkin itu tak
cukup. Sekarang saya hanya mengembalikan pada Sang Mahadaya buat yang paling
baik bagi dia. Semoga saja saya tidak kehilangan harapan...
No comments:
Post a Comment