Festival Budaya ke-9
19.06 Sabtu
“ Rem, kamu
beneran nggak apa nggak ikut festival ?”
“ Iya, nggak
apa-apa, Ma. Jarang-jarang kita bisa kumpul lengkap satu keluarga besar.
Lagian, kak Shaz bisa ngamuk kalau aku nggak ada.”
“ Baiklah.
Cepat ganti baju sana. Mama bangunin Abangmu dulu.”
Rem
mengangguk, tidak memandang Mamanya, lalu melihat jam tangan penguin di
pergelangannya. Seharusnya dia ada di festival budaya sekolah hari ini. Malam
puncak. Ada kembang api. Momo, sahabatnya, pasti bakal mengembar-gemborkan
betapa serunya festival itu esok pagi di sekolah. Tetapi, Shaz, kakaknya yang
luar biasa sibuk dan jarang pulang, meminta acara kumpul keluarga untuk
mengenalkan kekasih barunya. Serius kali ini.
19.47 Sabtu
“ Rem, kamu
dimana ?”
“ Maaf banget
Mo. Lagi acara keluarga nih.”
“ Ah Rem,
sayang banget. Ini kembang api gede keren. Sukses lah festival budaya tahun
ini. Ah kamu. Harusnya ada disini.”
“ Iya Mo,
maaf. Eh, kamu masih flu ?”
“ Udah nggak
Rem. Manjur obat dari kak Shaz.”
“ Syukurlah.
Bye Mo. Udah di restoran nih.”
“ Ya deh.
Besok ketemu pagi di sekolah ya. Acara bersih-bersih. Nggak boleh absen
pokoknya. Full report buat kamu. Bye
Rem.”
11.45 Senin, dua bulan
sebelumnya
“ Festival
Budaya Sekolah tahun ke-9 akan berlangsung selama tiga hari, di minggu keempat
bulan Juli. Teman-teman sekalian, kelas kita diminta untuk mempersiapkan acara
puncak festival di hari Sabtu-nya. Atraksi seni dan kembang api.”
Terdengar
bisik-bisik seru di seluruh kelas. Momo menyikut Rem yang setengah mengantuk
dan bosan. Setelah pengumuman ketua kelas barusan, sepertinya seisi kelas Rem
langsung bersemangat untuk mengikuti festival budaya ini. Mereka langsung
membentuk formasi diskusi untuk menentukan teknis acara puncak. Momo langsung
ambil bagian tak mau kalah.
“ Rem,
ikutan yok nyiapin.”
“ Nggak deh
Mo. Aku kayak biasa aja ya,” tolak Rem sambil mengeluarkan kamera besar dari
dalam tasnya.
Momo
mendesah sebal.
“ Ya udah. Tapi
tolong tanyain ke bang Arka ya Rem. Soal teknik pasang lampu sama kabel-kabel.
Biar meriah.”
“ Ke rumah
aja Mo. Aku nggak ngerti yang begituan. Abangku ada di rumah kok. Sibuk cuti
skripsi.”
“ Oke deh.
Pulang sekolah ini aku ke rumahmu ya, sama anak-anak yang lain.”
Rem
mengangguk. Sepertinya Mama mesti bikin cemilan tambahan untuk sore ini.
21.39 Sabtu
“..terjadi
kebakaran besar yang menghanguskan sebuah SMA di kota S satu jam yang lalu.
Saat ini petugas pemadam kebakaran masih berusaha memadamkan api. Sejumlah
siswa-siswi sekolah masih terlihat berlarian keluar dari gedung sekolah. Hari
ini adalah malam puncak Festival Budaya ke-9 di SMA ini. Masih belum bisa
dipastikan jumlah korban jiwa pada peristiwa ini. Sementara itu..”
Papa melongo
melihat berita di TV yang baru dinyalakannya setelah sampai di rumah.
“ Rem. Ini
sekolah kamu.”
Rem kaget.
Menjatuhkan kantung berisi apel yang dibeli Mama dalam perjalanan pulang dari
restoran. Rem buru-buru memencet handphone.
Tak ada jawaban. Tak ada apapun. Rem mencoba berkali-kali.
“ Pa. Momo
nggak jawab telponnya.”
Rem
menangis. Kak Shaz langsung memeluknya. Bang Arka lantas refleks mengambil
kunci motor dan meluncur keluar.
“ Ma, Pa.
Arka cek ke sekolahnya Rem dulu.”
“
Hati-hati,” kata Mama. Papa hanya mengangguk.
Rem
melepaskan pelukan kakaknya.
“ Bang, aku
ikut.”
“ Tapi Rem,
bahaya.”
“ Aku ikut.”
Bang Arka
menatap mata adiknya. Lalu meminta persetujuan Mama dan Papa. Orangtuanya
mengangguk cemas. Kak Shaz lalu mengulurkan jaket dan masker untuk mereka
berdua.
“ Nanti
kakak nyusul. Pakai mobil pasti macet kesana.”
Rem dan Bang
Arka mengangguk serempak. Lalu segera berlari ke luar rumah.
06.42 Minggu
Rem menatap
bangunan sekolah di depannya. Sisa bangunan tepatnya, puing-puing yang
menghitam dan masih berasap. Titik-titik air mulai berjatuhan dari langit.
“ Rem. Yuk
pulang. Mulai gerimis nih.”
“ Ke rumah
sakit aja kak. Momo.”
Kak Shaz
mengangguk sedih. Memang tidak ada korban jiwa dalam peristiwa kebakaran
semalam. Akan tetapi, Momo luka bakar hebat. Kritis. Sementara puluhan
siswa-siswi lain juga menderita luka-luka, tetapi tidak separah Momo.
Kabel
listrik bersinggungan dengan kembang api. Teori itu yang diungkapkan petugas
pemadam kebakaran, dini hari tadi saat api berhasil dipadamkan. Rem masih
melihat dengan jelas, api besar menghanguskan sekolahnya. Dia menolak pulang
sampai api dipadamkan. Akhirnya Rem tertidur dalam mobil Kak Shaz, sementara
Bang Arka menunggu. Begitu bangun subuhnya, Rem hanya terpaku memandangi
puing-puing bangunan sekolahnya. Menekan lensa kameranya ke mata, dan mengambil
beberapa gambar.
“ Mo,
maafkan aku,” bisiknya lirih pada udara kosong.
22.37 Kamis, dua minggu
kemudian
“ Kenapa Rem
?”
Rem menatap
Momo. Tersenyum dan sedikit iba. Momo terlihat begitu pucat, tipis, transparan,
berdiri di hadapannya yang sedang membersihkan kamera. Kedua kaki Momo tidak
menginjak lantai.
“ Aku bosan
Mo.”
“ Kenapa
harus aku, Rem?”
“ Siapapun
boleh Mo. Siapapun mungkin. Tetapi malam itu, kau yang memilih menyalakan
kembang apinya. Kau yang memilih mengatur panel listrik. Mungkin kebetulan
kabelnya korslet. Dan kau mengantuk Mo. Kau tidak menyadarinya. Itu kecelakaan.
Kecelakaan yang tertata apik,” jawab Rem berpuas diri.
“ Tapi kau
merencanakannya berminggu-minggu Rem. Berminggu-minggu kau menulis, membuat
plot, hingga sketsa. Memanfaatkan kakak dan abangmu. Mungkin juga aku. Kenapa
Rem ? Kenapa ??”
“ Aku bosan
Mo. Sesederhana itu. Sekolah. Orang-orangnya. Kemunafikannya. Kau tau kan.
Betapa bobroknya kelakuan orang-orang itu. Aku melihatnya Mo. Aku
mengabadikannya. Aku bosan. Bosan karena tidak bisa berbuat apa-apa.”
Momo menatap
Rem pedih.
“ Kau tau
aku takkan pergi kan Rem ?”
“ Iya. It’s okay. More than okay, truly. Sahabatku. Saksi abadi mahakarya ini.”
Rem
tersenyum penuh arti pada siluet Mo yang melayang sedih.
15.17 Senin, tiga tahun
kemudian
“ Festival
Budaya Kampus ke-9 akan diadakan tiga bulan lagi. Bagi rekan-rekan yang ingin
berpartisipasi, silakan mendaftarkan namanya ke Sekretariat Klub Seni. Ditunggu
sampai Senin minggu depan.”
Rem nyengir
setelah mendengar pengumuman komting angkatan, lantas berjalan ke luar ruang
kuliah.
“ Rem, please.”
Momo berkata
lirih di atas kepalanya. Pantas Rem merasa dingin. Ada Momo ternyata.
“ Just relax and watch Mr. Mohica Ardiza.
Kau akan hangat karenanya.”
Sambil
bersenandung kecil, mengepit kamera besarnya, Rem melangkah menuju ruang Klub
Seni. Momo berusaha meraih lengan Rem,tapi nihil. Mo hanya bisa menatap jemari
transparannya menembus lengan Rem. Tak ada yang bisa dia lakukan untuk
menghentikan Rem.
“ Remiza
Astria. Jurusan Psikologi. Bidang yang diinginkan : Publikasi Dokumentasi”
Rem menulis
dengan rapi di daftar panitia, disaksikan si sekretaris Klub
“ Kira-kira
malam penutupan festival apa ya acaranya ?”
“ Hmm. Api
unggun. Bonfire gitu sih istilahnya.
Kembang api juga. Live music. Semacam
itulah. Tradisi tahunan sih.” Jawab si sekretaris klub Seni dengan acuh tak acuh.
“ Bonefire”, bisik Rem nyaris tak
terdengar siapapun, kecuali Momo.
Rem tersenyum lebar. Lantas pamit dan
berbalik, diiringi Momo yang berteriak-teriak memohon, tidak dipedulikan Rem.
Momo menggapai tanpa harapan. Sementara Rem terus berjalan pulang dengan sketsa
imajinasi dalam kepalanya yang cerdas dan mematikan.
- END -
No comments:
Post a Comment