“...We were the people who were not in the papers. We lived in the blank white spaces at the edges of print. It gave us more freedom.
We lived in the gaps between the stories...”
- Margaret Atwood -
Saya tidak pernah merasa seterhina ini saat dan sesudah membaca sebuah buku. Itu saya ungkapkan beberapa jam lalu ketika random curhat emosian paska menyelesaikan sebuah bacaan yang cukup depresif. Bagi yang sudah familier dengan gambar di atas, ini adalah curhatan tentang THE HANDMAID'S TALE, yang diterjemahkan dalam judul KISAH SANG HANDMAID, bikinan Margaret Atwood yang terbit edisi aslinya tahun 1985. Edisi terjemahannya baru muncul Januari 2019 ini, mungkin mengingat kesuksesan seri adaptasinya.
Jadi kenapa sih kok gitu amat?
KISAH SANG HANDMAID mengusung tema distopia paska apokaliptik di sebuah republik bernama Gilead. Nah, diungkapkan di penghujung bukunya, ini di sekitar daerah Maine, Amerika Serikat (hobi banget Maine ni muncul, yang baca bukunya om King pasti ngeh sekali). Tidak jelas tahun berapa, novel klasik ini mengusung sebuah 'kekejian' berlapis yang bikin sakit hati. Kekejian ini tersistem dan menimpa kaum perempuan di daerah tersebut.
Paska bencana radiasi dan entah apalagi, angka kemandulan meningkat drastis. Maka, sekelompok wanita yang diketahui memiliki indung telur (ovum) dan rahim yang baik, dipersiapkan dan diberi nama sebagai Handmaid. Diberikan kepada keluarga para Komandan tertinggi untuk dibuahi. Semacam surrogate mother tapi dengan cara yang lebih tidak punya hati. Kesuksesan para Handmaid ini ditandai dengan kemampuan mereka dalam menghasilkan anak yang sehat. Proses koitus (hubungan seksual) dilakukan sebagai proses mekanis dimana para Handmaid tidak perlu punya perasaan, tidak perlu berkomunikasi, cukup menaikkan rok dan menyingkirkan celana dalam, lalu ngangkang. Kalau sukses, hamil, beranak, mereka akan diberi kenyamanan dan tidak dibunuh atau diasingkan ke tempat entah mana yang berisi kumpulan Unwomen. Sadis memang, saya masih bergidik jijik.
Fungsi lain perempuan yang mandul adalah sebagai Martha, yakni pembantu. Masak, bersih-bersih. Kemudian ada para Istri Komandan, kumpulan wanita poster yang menanti bayi. Econowife, istri-istri rakyat biasa. Unwomen, para wanita yang dianggap membangkang dan tidak berguna lalu dikirim ke daerah bencana untuk membersihkan ranjau dan sisa-sisa radiasi. Lalu para Bibi, yang menyiapkan dan melakukan doktrinasi habis-habisan pada para Handmaid untuk melaksanakan tugasnya. Tidak ada buku, tidak ada alat komunikasi canggih. Para Handmaid harus meyakini bahwa mereka diberi anugerah lebih berupa indung telur yang sehat, tidak perlu punya perasaan, fungsi utama sebagai wadah. Doktrinisasi terjadi di seluruh lapisan, dilakukan dengan kekerasan fisik dan mental yang terstruktur. Ada rombongan Eye, Guardian, dan Angel yang mengendalikan keamanan.
Edisi terjemahan oleh Gramedia Pustaka Utama |
Diceritakan dalam sudut pandang orang pertama, sang Handmaid bernama Offred menjalani hari-hari suramnya dalam menjalankan fungsinya tersebut di rumah seorang Komandan tinggi. Aturan-aturan ketat ini dijalani Offred dalam keheningan dan kepatuhan. Offred pun bukanlah nama sebenarnya. Offred adalah nama kepemilikan, bisa digantikan oleh Handmaid lain bila terbukti si Offred tidak kompeten menghasilkan anak. Offred masih mengingat dengan samar masa lalunya. Segala kenangan manis dan kehidupan yang dijalaninya sebelum bencana. Konflik akhirnya muncul, celah peraturan dieksploitasi. Si Offred tidak hamil-hamil, jadi dipaksa untuk hamil, di luar campur tangan Komandan. Gejolak pekat mulai terjadi, hening mencekam. Ancaman pengkhianatan, hukuman, konsekuensi, muncul pelan-pelan menyeruak dalam narasi yang bikin lelah mental.
Jadi, apakah memang fungsi perempuan cuma buat beranak, masak, bersih-bersih, atau pajangan dan trofi kemenangan?
Poin-poin inilah yang bikin saya merasa terhina dan emosi. Apa jadinya saya kalau tidak boleh membaca, tidak boleh sekolah tinggi-tinggi, dan hanya menjalankan fungsi kebendaan semata. Kematian mungkin lebih baik. Saya tidak mencap diri sebagai feminis, paham pun tidak batasannya seperti apa. Tetapi setidaknya alhamdulillah di dunia yang saya jalani, saya punya banyak kesempatan lebih baik dalam menjalankan fungsi saya seutuhnya sebagai manusia juga.
KISAH SANG HANDMAID memang berhasil mengguncang perasaan pembacanya. Pengungkapan aspek kebendaan dari perempuan, pembatasan aktivitas kehidupannya, dan segala kewajiban yang dibebankan, tanpa tedeng aling-aling dituliskan Margaret Atwood. Mungkin ini semacam bentuk pemberontakan sang pengarang sendiri dalam penulisannya. Setelah membacanya, saya paham kenapa buku ini masuk ke dalam deretan buku-buku berpengaruh di dunia.
Edisi terjemahannya rapi, tidak memaksakan mengganti istilah-istilah dari edisi asli. Terima kasih kepada penerbit yang telah memunculkan terjemahan novel ini. Perasaan depresi yang pekat muncul sedari awal. Sungguh sesi membaca yang 'menyeramkan'. Apakah saya merekomendasikan buku ini? Entahlah, yang jelas ini novel dewasa. Bukan distopia young adult kebanyakan. Inilah kekuatan berbeda dari novel-novel 'klasik'. Tidak perlu umbar aksi, tapi cukup memakai kekuatan rancang bangun kisah dan pesan yang kuat. Sanggup mengguncang pembaca dan bikin tidak lupa. Gosipnya bakal ada sekuelnya. Yah, mengingat akhir kisahnya yang tidak jelas. Tapi tidak pakai sekuel pun tak apa, saya tidak yakin ada model happy endingnya.
Yah, bacaan mengguncang. Masuk dalam daftar buku jahat. Sekian.
“...I want to be held and told my name. I want to be valued, in ways that I am not; I want to be more than valuable. I repeat my former name; remind myself of what I once could do, how others saw me. I want to steal something...”
- Offred -
No comments:
Post a Comment