“...And the most terrifying question of all may be just how much horror the
human mind can stand and still maintain a wakeful, staring, unrelenting
sanity...”
April 2019 menyuguhkan banyak tontonan dan keributan. Kita skip saja keributannya, mari melipir ke tontonan saja. Seperti biasa, saya tidak akan menyesali konten blog ini yang semakin penuh dengan curhatan mengenai mahakarya bikinan om King. Saya sudah jadi bucinnya, apa daya. PET SEMATARY hadir di layar lebar awal bulan ini. Nonton? O tentu tidak. Penakut.
Trus mau curhat apa?
PET SEMATARY diangkat dari novel berjudul sama yang terbit tahun 1983. Sebenarnya, PET SEMATARY sudah pernah dipilemkan tahun 1989. Novel ini merupakan karya legendaris si om, yang mana beliau akui sebagai karya beliau yang paling beliau anggap menyeramkan. Dalam kata pengantar di novelnya, si om mengakui bahwa dirinya 'kelewat batas' di novel ini.
Gramedia Pustaka Utama menerbitkan edisi terjemahan dari PET SEMATARY akhir Maret lalu. Bermodal diskonan, saya bisa memiliki satu eksemplar namun baru sempat saya baca di ujung minggu kedua April karena situasi otak yang tidak memungkinkan untuk berbagi. Jadi beberapa hari yang lalu saya bisa menuntaskan membaca kisah creepy ini. Dan saya mengerti maksud si om. Kisah ini amat keji.
PET SEMATARY menyuguhkan badai kehidupan seorang dokter di klinik universitas yang mesti berurusan dengan hal-hal tiada logis. Dr.Louis Creed beserta istrinya, Rachel Creed, dan kedua anaknya, Ellie Creed dan Gage William Creed pindah ke rumah baru di dekat universitas, menghadapi konsekuensi-konsekuensi kenyataan hidup yang pelik dan di luar nalar. Hal ini terkait dengan sebuah pekuburan hewan di hutan belakang rumah, PET SEMATARY.
Menjadi dokter bukanlah hal mudah (ciye curhat). Dr.Louis memiliki latar belakang kehidupan yang berat namun berusaha sebaik mungkin menjalani hidup. Istrinya juga memiliki kisah kelam dalam keluarga yang membuat mereka rentan membicarakan topik final dalam kehidupan setiap yang bernyawa, yakni kematian. Sebagai dokter, Louis sudah melihat dan menghadapi kematian berkali-kali, tentunya beliau sudah terbiasa. Dokter punya ruang-ruang di otaknya untuk menempatkan perasaan, trauma, kepedihan, kenyataan, sambil tetap menampilkan ketegaran untuk maju terus. We're best at pretending. Jadi teringat dulu waktu pertama kali berurusan dengan kematian, saya susah payah menahan tangis di depan keluarga pasien, yah, saya masih masa pendidikan saat itu. Namun, lama kelamaan, mekanisme perlindungan itu terbentuk. Seprofesional mungkin. Setegar mungkin. Dr.Louis pun demikian.
Akan tetapi ini tidak akan sama jika anggota keluarga yang berpulang.
Berawal dari kecelakaan tragis yang menimpa seorang pasien, Victor Pascow, hidup dr.Louis tidak lagi sama. Mendiang Pascow berpesan dalam sakaratul mautnya, tegas dan jelas ke sang dokter, jangan berurusan dengan Pet Sematary. Dr.Louis terguncang, bingung, tetap berusaha berpikiran logis. Apa urusannya dengan Pet Sematary?
Bencana muncul dengan kematian kucing keluarga, Winston Churcill, alias Church. Church adalah kucing kesayangan Ellie, tewas ditabrak truk besar yang lalu lalang di jalan dekat rumah. Tak dinyana, persuasi dari Jud Crandall, pria tua tetangga di seberang rumah, membawa dr.Louis ke pekuburan tua di belakang Pet Sematary, untuk menguburkan Church. Esoknya, Church kembali...hidup namun tak hidup.
Lantas kematian hadir lagi, tak terelakkan. Dr.Louis tak kuasa menahan kehancuran dirinya akibat kematian salah seorang anaknya. Sementara itu, Pet Sematary memanggil. Kekuatan tak kasat mata, entitas mistis dibalik pekuburan, merongrong jiwa dr.Louis untuk memilih mmencurangi kematian karena alasan ketidakmampuan menghadapi kenyataan yang pedihnya tak tertanggungkan. Mengabaikan peringatan Jud, dr.Louis melawan semua logika, pasrah dalam persuasi kegelapan, dan akhirnya menghadapi konsekuensi mengerikan yang beruntun karena sejatinya kematian tidak sudi dicurangi.
PET SEMATARY adalah buku gelap yang memang keji. Rasa bergidik yang konstan dalam diksinya membuat saya tidak sanggup lama-lama membacanya di malam hari. Rasa bergidik ini hampir sama dengan sensasi pekat saat membaca THE SHINING (curhatannya di sini), meskipun PET SEMATARY memiliki kesan keji yang memuakkan. Kekejian dari pilihan yang dibuat manusia untuk melawan kematian, dan kekejian dari konsekuensi perbuatan curang itu sendiri.
Setelah selesai membacanya, saya langsung bertanya kepada dua narasumber yang masing-masing sudah nonton pelem adaptasinya, versi 1989 dan versi 2019. Dari keduanya (makasi miLord Puji dan mbaMemes), saya memperoleh gambaran bahwa seperti biasa, selain perubahan plot, ada missing link dalam versi layar lebar. Yah mungkin sulit menggambarkan kekejian tanpa unsur dibuat-buat. Adaptasi buku-buku si om memerlukan usaha yang pelik. Dan saya tetap bersikukuh tidak akan menonton pelemnya, karena saya takut. Sungguh takut. Bukunya sudah keji, tidak sanggup mengulang lagi, meskipun sensasinya akan berbeda.
Edisi terjemahan double cover oleh GPU |
Om King membuka pikiran-pikiran tergelap. Apakah yang akan kita lakukan seandainya kita berada di posisi dr.Louis? Bagaimanakah sikap kita menghadapi kematian? Apakah yang ingin kita buktikan?
Terjemahan yang bagus, buku nan keji. Sungguh keji.
Tidak dianjurkan bagi yang ingin bacaan bahagia. Tidak dianjurkan.
“...Life sucks, then you die...”
- Stephen King -
No comments:
Post a Comment