"..once upon a time, a girl had a father, a prince, and a society of friends...then they betrayed her...so, she destroyed them all.."
Kadang saya heran, kenapa agak suka masokis gitu baca buku yang nyakitin hati. Tapi ya itu, I can't help it. Setelah menyelesaikan buku ini kemarin, saya yang kebetulan lagi ada free time dan sedang malas membaca lagi, akhirnya kembali curhat. Harusnya saya bisa bikin review yang rapih kayak punya mas Raafi (bibliough.blogspot.com), atau bentuk model curhatan perbukuan yang lebih sistematis. Sayang aja kemalasan dan otak saya sinkron untuk ga sepakat bikin begitu.
Jadi buku mana lagi kali ini ?
Sesuai judul curhatannya, saya baru kelar baca THE ROSE SOCIETY, buku kedua dari Trilogi THE YOUNG ELITES karya mbak Marie Lu, penulis berdarah Asia yang cantik banget tapi buku-bukunya nyakitin. Kenapa saya bilang gitu ?
THE ROSE SOCIETY adalah novel fantasi dewasa yang intriguing. Kontennya tidak biasa. Okelah tokoh utamanya heroine (lagi nge-hits, kayak saya bilang di curhatan lainnya), tapi di buku ini kayaknya ga bisa jadi heroine. Kita seolah mengikuti sejarah kenegativan dari seorang gadis yang telah dikecewakan semua orang sehingga pada akhirnya dia memilih menjadi Evil Queen (istilahnya saya sih).
comot dari laman fesbuk Mizan Fantasi |
THE ROSE SOCIETY mengisahkan lanjutan kepedihan hidup Adelina Amouteru, seorang gadis yang dianugerahi kemampuan mengerikan untuk membuat ilusi digdaya tentang apapun yang dia inginkan. Kemampuan ilusi ini adalah suatu anugerah (sekaligus kutukan) bagi Adelina dan sekelompok orang lainnya pasca selamat dari wabah, meskipun ada bekas luka menjijikkan yang tertinggal, dan kemudian mereka dikenal sebagai para Elites muda. Adelina dan adiknya, Violetta, terseok-seok mengumpulkan orang untuk membalas dendam atas penindasan dan pengkhianatan. Adelina tidak melupakan luka hatinya, kebencian terdalamnya. Hingga dia memutuskan untuk merebut tahta.
Tokoh favorit saya yang tewas di buku sebelumnya, Pangeran Enzo, taunya nongol disini. Tapi saya kecewa, saya nggak bisa lagi mengidolakan Enzo, ini bukan Enzo yang saya mau. Saya yang juga kepincut sama Raffaele malah jadi semakin sedih, karena apa ya, dia diombang-ambingkan, dimanfaatkan kesana-kemari. Bahkan, pada Master Teren Santoro pun saya ikutan sedih, kok tega amat sih wanita-wanita di buku ini. Mengerikan.
Penghiburan di kisah kelam ini mungkin kehadiran Magiano, seorang elite peniru yang ahli dan memikat. Meskipun demikian, kehadiran Magiano tidak cukup mengurangi aura negatif dan depresi dari kisah ini. Kalau berada di POV-nya Adelina, saya seolah merasakan pertentangan batin pasien skizofrenia. Jiwa dan hati Adelina sudah begitu rusak, penuh bekas luka, dan seolah tidak ada yang bisa meneranginya kembali.
Kekelaman cerita ini bikin saya galau. Wajar aja waktu itu mbak Dy, editornya bilang kalau buku ini kelam. Bahkan Marie Lu sendiri mengakui, di pengantar akhir bukunya, aura negativistik buku ini bikin lelah. Dan kata Ade (adenurmarita.wordpress.com), di buku terakhir yang baru terbit edisi aslinya dengan judul THE MIDNIGHT STAR, bakal lebih nyakitin lagi. Lah maunya apa cobak, heuuu.
Kalau dibilang siapa penjahatnya di kisah ini, saya nggak tau. Saya nggak ngerti bagaimana memposisikan tokoh-tokoh utamanya. Adelina bukan heroine. Bahkan saya tidak merasakan adanya pahlawan di cerita ini. Pelintiran kata-katanya hanya menyeret kita kepada kepasrahan untuk menyerahkan diri pada kegelapan. Belum lagi fakta yang ditemukan Raffaele, mengenai para Elites. Setelah semua penderitaan dan kekecewaan, saya pikir happy ending hanya akan jadi wacana di seri ini.
Namun seperti mawar berduri, keinginan menikmati keindahannya tidak akan pudar meskipun durinya menusuk tangan. Seperti itulah buku ini. Indah namun begitu pahit. Dan jelas, saya menantikan lanjutannya segera, supaya apapun itu, kelegaannya akan segera menghampiri.
"..the irony of life is that those who wear masks often tell us more truths than those with open faces.."
No comments:
Post a Comment