“...There is more than one kind of freedom. Freedom to and freedom from. In the days of anarchy, it was freedom to. Now you are being given freedom from. Don’t underrate it....”
- Aunt Lydia -
Setelah lebih dari tiga dekade, masyarakat perbukuan internesyenel diberikan semacam kejutan tahun 2019 lalu ketika tetiba hadir lanjutan alias sekuel dari THE HANDMAID'S TALE-nya Margaret Atwood. Nah, kita samakan persepsi di sini bahwa saya membicarakan bukunya, kebetulan nggak nonton serinya. Buku pertama THE HANDMAID'S TALE sendiri baru saya baca tahun 2019 lalu, edisi terjemahan yang cukup apik dengan kisah menyebalkan (selengkapnya bisa dicek di sini). Dengan akhir kisah yang open ending, saya cukup puas dan merasa tidak perlu dilanjutkan lagi.
THE TESTAMENTS muncul bulan September 2019 dalam edisi internasional. Mengambil setting 15 tahun setelah peristiwa di buku pertama, pembaca diajak menelusuri Gilead dengan lebih dalam dan lebih pekat. Namun, overall saya bisa bilang kalau buku ini semacam unexpectedly unnecessary.
THE TESTAMENTS disajikan dalam tiga sudut pandang wanita dengan posisi berbeda dalam rancang bangun dunia-nya Atwood. Seorang Aunt, seorang anak Commander, dan seorang remaja outsider yang dibesarkan oleh pelarian Gilead yang tinggal di negara seberang, Kanada. Aunt Lydia menuliskan catatan kisahnya dalam semacam memorabilia yang mengupas bagaimana Gilead berdiri, sistem lengkap tatanannya, belitan politiknya, dan sejarah pribadinya sendiri sebelum menempati posisi sebagai salah satu perempuan paling berpengaruh dalam keseluruhan republik. Agnes Jemima, remaja yang menjadi salah satu anak perempuan dari seorang Commander menyajikan sudut pandang kehidupan doktrinasi harian yang mesti dijalani seorang wanita terpandang yang nantinya akan menikahi Commander juga. Sedangkan Daisy/Jade/Nicole adalah remaja yang awalnya tinggal damai di Kanada bersama kedua orang tuanya, melihat dan mendengar 'kegilaan terstruktur' dalam Republik Gilead dari kejauhan.
Situasi berubah cepat ketika kedua orang tua Nicole tewas dan Nicole terpaksa berurusan dengan konspirasi besar untuk meruntuhkan Gilead sembari menemukan asal-usulnya sendiri. Agnes mengalami konflik batin mengenai perjodohan yang tak diinginkan, ibu tiri yang teramat mengntimidasi, dan kebutuhan untuk 'berpikir bebas' dengan pilihan masing-masing. Papan catur dikuasai oleh Aunt Lydia, yang cukup berani berkelit kesana kemari bersahabat dengan lawan politiknya, salah seorang komandan tertinggi, Commander Judd. Meskipun papan catur ini berakhir dengan kemenangan, tapi kita tidak tahu pasti nasib Aunt Lydia setelahnya.
Novel setebal 400an halaman ini menyuguhkan penjelasan yang lebih expanding mengenai Gilead dan tatanannya, serta mengeksplor kehidupan orang-orang di luar republik beserta situasinya. Bagaimana sistem diktatoris totalitarian mengatur seluruh sendi kehidupan masyarakatnya sampai urusan jatah jeruk, hingga urusan selangkangan. Well, berdiri di negara yang katanya sudah merdeka dengan asas demokrasi ini, saya mau tidak mau bersyukur juga tidak berada di Gilead.
So why is it unnecessary?
Ya gimana ya. Bagus sih bagus, enak kok dibaca. Tapi ya itu. Problem klasik dari sekuel yang muncul kejauhan dari buku pendahulunya. Ngapain lagi sih ini? Yah semacam itulah. Oh begitu, ya udah gitu aja. Buku pertama memang tidak menghadirkan resolusi atau revolusi, tapi hantamannya cukup keras. Sedangkan THE TESTAMENTS itu, yah, oke, mengulang perasaan yang menurut saya ya udah sih ya. Ahahah, ribet ya. Cuma mungkin namanya personal, saya tidak merasa buku ini terlalu 'wah' untuk membuat impact yang cukup besar seperti si pendahulunya.
Saya punya edisi hardcover dengan sampul minimalis ini |
Bagi pembaca novelnya, saya rasa ya mesti baca juga, tapi nggak wajib-wajib amat. HANDMAID'S TALE dan THE TESTAMENTS dipisahkan terlalu jauh oleh ruang dan waktu. Perbedaannya mungkin di resolusi dan revolusi. Tetapi, kejengkelannya tidak semembuncah. As if I already knew this country is full of shits, you don't have to remind me over and over.
Jadi bagaimana rekomendasinya?
Kali ini saya pasrahkan pada selera pembaca. Silakan membacanya tapi rendahkan ekspektasi, lebih baik lagi kalau bisa meniadakan ekspektasinya. Baca dan nikmati saja. Siapa tau pendapat kita akan berbeda. And yep, I wait for another joyful discussion about this book. Tapi dalam beberapa hal saya setuju soal A defence of one's own life (Apologia Pro Vita Sua), terkait hakikat nyata hidup dan pilihan seorang manusia merdeka.
PS: terima kasih kepada mamas editor yang sudah menghadiahkan buku ini pada saya. It's a blessing to scratch off one of your book wish lists.
“You’d be surprised how quickly the mind goes soggy in the absence of other people. One person alone is not a full person: we exist in relation to others. I was one person: I risked becoming no person.”
- Margaret Atwood -
No comments:
Post a Comment