“Among other things, you'll find that you're not the first person who
was ever confused and frightened and even sickened by human behavior.
You're by no means alone on that score, you'll be excited and stimulated
to know. Many, many men have been just as troubled morally and
spiritually as you are right now. Happily, some of them kept records of
their troubles. You'll learn from them—if you want to. Just as someday,
if you have something to offer, someone will learn something from you.
It's a beautiful reciprocal arrangement. And it isn't education. It's
history. It's poetry.”
- JD Salinger -
courtesy : dusk.wordpress.com |
Yeaay, curhatan pertama di tahun 2018 !!
Nah, awalnya kan seperti biasa suka bingung lihat timbunan. Setelah guling guling cap cip cup, akhirnya saya melipir ke sebuah novel klasik yang aslinya diterbitkan tahun 1951 berjudul THE CATCHER IN THE RYE karya JD Salinger. Nggak kenal dan nggak familier. Beberapa orang di grup cukup mengapresiasi novel ini. Novel yang katanya penuh amarah dan sumpah serapah.
Mengapa buku ini disukai para pembunuh ?
Tulisan yang 'nganu' ini muncul di sampul belakang edisi terjemahan buku ini. Saya juga baru tau bahwa pembunuh yang nembak John Lennon ditemukan terinspirasi dari novel ini dan mengganti namanya menjadi Holden Caulfield, tokoh utama dalam kisah ini. Wah sebegitunya kah ?
Holden adalah abege cowok berusia 17 tahunan yang telah berkali-kali pindah sekolah. Holden tidak bodoh. Holden juga tidak menjahili orang. Tapi Holden mengalami kesulitan untuk menyatu. Punya kesulitan berbaur. Dan yang menarik, Holden sangat berapi-api. Amarahnya secara seru digambarkan meluap-luap dengan berbagai kata-kata kasar. Meskipun rata-rata ini berlangsung di dalam kepalanya saja. Saya merasa related dengan si Holden ini dalam masalah emosi. Mengerti suatu saat kita pingin cekik orang karena sebal setengah mampus, atau segala macam tindakan brutal lain, yang ke semuanya berakhir dalam kontemplasi di kepala. Atau dalam nyinyiran kata-kata di keseharian saya (padahal udah nggak abege, tetap aja emosional).
THE CATCHER IN THE RYE menceritakan perjalanan Holden kabur dari sekolah asramanya yang sebenarnya sudah secara resmi mengeluarkan Holden karena berbagai insiden. Holden merasa tidak ada yang sesuai dengan hatinya. Merasa salah tempat, merasa dunia dipenuhi sampah dan kemunafikan. Holden telah kehilangan Allie Caulfield, adik lelakinya yang tewas akibat kanker. Holden terasa begitu menyayangi Phoebe, adik perempuannya yang bijak. Sementara hubungannya dengan DB Caulfield, sang kakak, begitu begitu saja, meskipun jelas lebih hangat daripada hubungan dengan kedua orangtuanya.
Dalam pelariannya, Holden menemui Phoebe secara diam-diam. Phoebe mengajukan pertanyaan telak dalam kepolosannya, mau kemana dan apa yang disukai oleh Holden. Apa yang diinginkannya dari hidup ini. Secara jujur, Holden punya keinginan absurd. Jadi penyelamat anak-anak yang secara serampangan bermain di ladang gandum. Inilah yang mendasari judul novel ini. Saya sampai gugling karena bingung, rye itu apa. Haahahahaha. Metafora ? Mungkin.
Edisi terjemahan oleh Penerbit Banana |
Edisi terjemahan yang diproduksi oleh Penerbit Banana dan dieditori oleh om Yusi Avianto Pareanom ini tampil dengan sampul simpel menarik. THE CATCHER IN THE RYE adalah novel yang membuat tertawa sekaligus ngena. Aspek kemarahan Holden, lontaran makiannya, bahkan jalinan kesedihannya membuat geli sekaligus nyeri. JD Salinger menyuguhkan kebenaran-kebenaran emosional yang terjadi dalam benak seorang remaja, yang secara ngawurnya terasa begitu ngena di saya yang bukan remaja lagi. Dan saya bisa mengerti mengapa buku ini berpengaruh, apalagi sampai dipaksa-paksa sama majalah TIME dalam wadah 100 Buku Terbaik Sepanjang Masa.
Lantas kenapa disukai para pembunuh ?
Percayalah, puncak emosi itu memang berasa. Entah saya yang memang high temper atau begitulah kenyataannya. Makian dan lontaran emosi Holden terasa pas dengan amarah yang kadang berkecamuk. Bila hilang akal, Holden akan berubah menjadi pembunuh muda yang tidak sungkan mengubah kisah ini menjadi thriller.
Bacaan yang menarik dan berbeda untuk mengawali tahun ini. Recommended ? Err, relatif sih ya. Membaca novel klasik kadang tidak selalu asik. Ada yang membingungkan, ada yang entah apa, ada yang benar-benar outstanding. Masalah selera. Klasik tidak banyak yang menyuguhkan drama penuh adrenalin, plot twist mencekik, dan segala kemegahan sastra populer jaman kekinian. Namun percayalah, ada harta tersembunyi dibalik kesederhanaan buku-buku ini. Bila belum bertemu, sabar saja, karena buku yang memilihmu.
“...Anyway, I keep picturing all these little kids playing some game in
this big field of rye and all. Thousands of little kids, and nobody's
around - nobody big, I mean - except me. And I'm standing on the edge of
some crazy cliff. What I have to do, I have to catch everybody if they
start to go over the cliff - I mean if they're running and they don't
look where they're going I have to come out from somewhere and catch
them. That's all I do all day. I'd just be the catcher in the rye and
all. I know it's crazy, but that's the only thing I'd really like to
be...”
- Holden Caulfield -
No comments:
Post a Comment