"... I'm not afraid to die, I'm afraid to forget ..."
- Newt -
Setelah tertunda karena berbagai kendala, akhirnya pilem pamungkas dari trilogi THE MAZE RUNNER, berjudul THE DEATH CURE, tayang juga di bioskop di hari yang sama dengan rilisnya curhatan ini. Trilogi ini adalah adaptasi dari seri best seller karya James Dashner. Dan dengan segala kesubjektifitasan yang saya punya, saya mesti bilang kalau THE DEATH CURE adalah film adaptasi terbaik yang berhasil mengalahkan bukunya.
Nah bagi tuan dan nyonya yang belum baca bukunya dan alergi spoiler, silakan berhenti sampai disini. Saya mau curhat pol-pol-an soal pelem yang membuat saya gagal move on dan nangis di bioskop. Yuk cuss.
Seperti kita tau, setelah tertangkapnya Minho oleh WICKED plus pengkhianatan Teresa (semua ada di pilem kedua, THE SCORCH TRIALS), Thomas, Newt, dan siapapun yang tersisa berusaha mati-matian mencari keberadaan Minho. Dan di pilem terakhir ini, konfrontasi final dengan WICKED menjadi tidak terelakkan.
Plot pilem ini sendiri memiliki beberapa perbedaan yang cukup lumayan dibanding bukunya. Sejak THE SCORCH TRIALS, om sutradaranya -- Wes Ball, udah mulai meletakkan dasar perbedaan dibanding buku. Namun saya bersyukur, karena pilemnya jelas berhasil membuat saya tergugah sampai mewek ga jelas. Apa saja bedanya ?
Sejatinya dua kematian tokoh penting dalam kisah ini memang tidak diubah oleh om Wes Ball. Kita tahu Newt tercinta tidak kebal dan dia bakal jadi Crank dan dia memilih mati. Ini terungkap di buku kedua sebenarnya, namun fakta ini disimpan untuk muncul secara lebih nyakitin di pilem ketiga. Newt tidak dipisahkan dari Thomas (tidak seperti di buku). THE DEATH CURE versi pilem menyuguhkan persahabatan nan tak tergantikan antara Thomas - Newt - Minho dengan visualisasi dan makna yang lebih dalam. Baper sungguh. Kematian Teresa pun tidak dibuat sekedarnya. Kita bisa melihat pertentangan batin dan humanisme yang masih ada dalam dirinya, sekaligus seberapa jauh pengorbanan yang rela Teresa buat untuk masalah umat manusia ini.
Romansa antara Thomas-Teresa juga tidak jadi fokus kisah, pun dengan kehadiran Brenda. Hal ini membuat jalinan cerita pilemnya jadi lebih apik. Ava Paige, pimpinan WICKED juga lebih manusiawi. Nah, perkembangan karakter paling kece selain trio idola kita adalah Gally, yang di pilem ketiga ini beneran mencerahkan. Bahkan Frypan juga membawa sedikit keceriaan dalam kisah yang suram ini.
Saat membaca novel THE DEATH CURE dulu, I've literally thrown that damn book to the wall. Kematian Newt yang tak terhindarkan begitu menyakiti perasaan. Belum lagi eksekusi kisahnya yang masih tidak menjawab keseluruhan pertanyaan. Dalam bukunya, sampai peristiwa akhir pun masih direncanakan oleh WICKED, dan the safe heaven adalah tujuan dari eksperimen gila-gilaan ini. Namun dalam pilem, Wes Ball sudah menyederhanakan kisahnya dan membuatnya lebih gampang dicerna. Meskipun adegan kematian Newt terkasih membuat saya kembali tersakiti. Sudah tau bakal terjadi, tapi eksekusi di pilemnya sangat menguras jiwa. Belum lagi ending pilem yang manis namun membuat terenyuh bikin nangis lagi.
Apresiasi tentunya diberikan kepada semua pemain plus kru pelem ini. Sejatinya saya tidak mengidolakan Thomas yang notabene adalah tokoh utama dalam bukunya. Tetapi mas Dylan O'Brian bikin Thomas jadi menuai simpati. Dan tentunya kita tidak usah mempertanyakan betapa sayangnya diri ini sama Thomas Brodie-Sangster yang meranin Newt dengan totalitas. Ki Hong Lee juga bikin saya terenyuh karena penderitaannya saat disiksa sendirian di laboratorium WICKED. Kita tidak dapat memungkiri, kehadiran cowok cowok ini membuat pilemnya wajib ditonton.
Kalau mau jujur, seri THE MAZE RUNNER versi novel menyisakan banyak kegundahan dan kebingungan selain sakit hati yang gak kelar-kelar. Memang beberapa pertanyaan kita terjawab setelah membaca dua prekuelnya, yakni THE KILL ORDER dan THE FEVER CODE (pernah dicurhatkan di sini), yang mengisahkan masalah awal kemunculan flare, kaitannya dengan badai matahari, serta inisiasi awal percobaan labirin. Untung sekali langkah membuat pilem adaptasi novel yang 'tidak terlalu patuh' pada keseluruhan plot ini justru menjadi versi glow up dari kisah fiksi ilmiah - post apocalyptic - distopia yang sekarang masih kekinian. Dan saya menyimpulkan, inilah pilem terbaik dalam adaptasi novel bergenre serupa. Keberanian om Dashner menewaskan karakter penting, menyisakan sakit hati mendalam, yang jelas menjadi tolak ukur kesuksesan sebuah kisah.
Kata salah satu teman saya yang tidak baca bukunya, isu yang diangkat pilem ini menarik. Yep, pilem dan bukunya sama-sama berakar pada masalah kelebihan populasi umat manusia di dunia. Bagaimana posisi kita bila tau bahwa kita mesti bertahan hidup pada situasi yang di luar batas. Perubahan iklim, senjata biologis, penyakit, yang jelas jelas saat ini sedang kita songsong ke depan. Bumi makin tua. Pertambahan jumlah manusia tidak sebanding dengan sumber daya. Inilah yang mendorong terjadinya wabah flare pada trilogi ini. Penasaran ? Bacalah bukunya, ada tiga plus dua prekuel yang sudah diterjemahkan semuanya.
Keseruan pilem THE DEATH CURE ini menjadi tayangan menarik dan amat layak ditonton. Baik bagi pembaca bukunya ataupun penikmat pilem saja. Tidak ada ke menye-menye-an tak penting yang disuguhkan para cowok ini. Jelas menghibur, plus bonus tampilan lahiriah yang menjerat. Meskipun berurai air mata, saya jelas mengakui, pilem ini terbaik. Eksekusi yang mantap untuk sebuah trilogi, gak perlu maksa dibagi dua part, durasi dua jam lebih malah gak berasa karena banjir adrenalin. Dan jelas menyayat hati dengan cara yang lebih dalam daripada bukunya.
Nonton yaaaa.. jangan lupa...
“...I watched as that kid died. In his last few seconds there was pure
terror in his eyes. You can't do that. You can't do that to a person. I
don't care what anybody tells me, I don't care how many people go crazy
and die, I don't care if the whole shuck human race ends. Even if that
was the only thing that had to happen to find the cure, I'd still be
against it...”
- Thomas -
No comments:
Post a Comment