"... What a sad thing men are..can't do nothing good without being so weak we have to mess it up... Can't build something up without tearing it down... It ain't the Spackle that drove us to the end..it was ourselves..."
- Todd Hewitt -
Di suatu masa, keinginan mendiang Stephen Hawking terlaksana. Manusia pindah dan menemukan planet lain yang seperti Bumi, namun lebih baik karena belum kita rusak. Lantas apakah kemungkinan yang terjadi di dunia baru yang tak kita kenal ini ?
Beberapa saat yang lalu, saya baru saja menamatkan buku ketiga dari trilogi CHAOS WALKING bikinan Patrick Ness. Edisi terjemahan bahasa Indonesianya baru nongol bulan lalu, dan jelas memiliki akhir kisah menyiksa. Untunglah saya beruntung menemukan dua buku lanjutannya di bursa Big Bad Wolf 2018, sehingga saya selesaikan membaca ketiganya sebelum menulis curhatan lebai emosional ini.
Patrick Ness sebelumnya berhasil membuat saya mewek jijay karena A MONSTER CALLS, disusul cerita tak biasa biasa saja dalam THE REST OF US JUST LIVE HERE. Kedua buku beliau tersebut membuat saya yaQin untuk membaca tulisannya yang lain. Ness punya cara menyiksa pembaca dengan metode berbeda. Metode pedih memilin yang bisa bikin menangis sampai kering.
THE KNIFE OF NEVER LETTING GO, buku pertama dari trilogi ini (sudah diterjemahkan dengan judul Pisau Luka), menyuguhkan pelarian seorang remaja lelaki bernama Todd Hewitt bersama anjing peliharaannya, Manchee. Todd melarikan diri dari Prentisstown, sebuah kota yang hanya dihuni para lelaki. Kota ini berada di planet baru yang ditempati umat manusia, memiliki dua bulan sebagai satelit dan jelas mengelilingi bintang seperti matahari kita saat ini. Ketidakbiasaan kehidupan manusia dalam kisah ini adalah THE NOISE (diterjemahkan sebagai Kebisingan), dimana semua pria bisa mendengar isi kepala satu dan lainnya dalam suara yang terang benderang seolah disiarkan oleh speker masjid. Annoying ? Ya, tak ada yang bisa dirahasiakan dalam Kebisingan ini.
Namun tidak ada Kebisingan yang muncul dari para wanita. Tak ada yang tau apa yang berkecamuk dalam benak kaum Hawa. Meskipun mereka bisa mendengar Kebisingan kaum Adam. Mereka mewakili Keheningan yang membuat penasaran. Dan nyatanya ini berhubungan dengan ketiadaan wanita di Prentisstown.
Edisi terjemahan oleh Gramedia Pustaka Utama |
Tanpa sepenuhnya paham alasan melarikan diri, Todd dipaksa oleh kedua walinya - Ben dan Cillian untuk melarikan diri sejauh-jauhnya dari sang Mayor, David Prentiss. Berbekal jurnal milik almarhumah ibunya, Todd mulai mencari jalan entah kemana menuju tempat aman yang disebut Haven. Namun tak disangka, Todd bersua dengan seorang gadis bernama Viola yang terjatuh dari langit. Literally. Viola bersama kedua orangtuanya sudah hidup di pesawat antariksa selama bertahun-tahun dan mereka memutuskan untuk mulai mendarat di planet Todd tinggal, untuk mencoba mulai kehidupan baru. Sayang, kecelakaan pesawat hanya menyisakan Viola seorang.
Maka dimulailah pelarian Todd dan Viola. Takdir dan pilihan menempatkan mereka dalam konflik berkepanjangan yang ditimbulkan rombongan sang Mayor. Hingga akhirnya buku pertama berakhir menyusahkan, pedih bagi Todd, ngeri bagi Viola, dan jelas perih bagi pembaca.
THE ASK AND THE ANSWER membuat muak karena kebrutalan perebutan kekuasaan di antara pria dan wanita. Mayor mendapatkan saingan seorang Mistress. Dan perlu diketahui, manusia dalam kisah ini adalah alien penjajah yang kejam tak terperi terhadap spesies asli planet ini, Spackles. Makhluk asli ini diperbudak, disiksa dengan kejam, dan masih tidak putus puas rombongan alien ini bergerak. Todd tertawan, dipisahkan dari Viola. Kekejian politik dan lempar manuver kejam antara dua penguasa membuat muak dan hati sakit.
Kengerian dan kebenaran terkuak satu demi satu dalam buku kedua ini. Genderang perang mulai ditabuh. Antara rombongan 'Yang Mempertanyakan' dan rombongan 'Yang Memberi Jawaban'. Sepanjang buku ingin berteriak kepada rombongan orang idiot ini untuk berhenti saling membunuh. Sampah sesampah-sampahnya. Sementara Todd dihadapkan pada pilihan-pilihan, begitu juga dengan Viola. Ketika akhirnya mereka bertemu, saya menangis. Sulit, sangat sulit. Ini bukan kisah romantisme memualkan yang biasa. Jauh lebih daripada itu. Tak ada keinginan Ness untuk menghibur kita dengan keindahan, kepedihan yang disuguhkan menawarkan sesak yang bikin megap-megap.
Sulit untuk tidak spoiler, tetapi THE MONSTERS OF MEN menyuguhkan konklusi final dari semua kesalahpahaman. Kegilaan manusia akan kekuasaan, dimana posisi cinta kasih dalam kisah ini, dan apa yang jadi pilihan dari tokoh-tokoh utamanya. Kita dibuat gemas dengan perkembangan karakter Todd dan Viola, bahkan mulai mempertanyakan akan seperti apa kebrutalan serta perang sia-sia ini akan berakhir. Jelas saya beberapa kali meneteskan air mata entah karena marah, sedih, atau sekedar hampa akan belitan kisah yang mengobok-obok perasaan.
Ness menyuguhkan seri fiksi ilmiah berbau distopia dalam kemasan young adult dengan tema dasar humanisme yang kentara. Manusia adalah alien yang menjadi The Clearing, rombongan organisme penjajah dengan hobi 'membabat habis' segala penghalang jalan kehidupannya. Para penduduk asli, Spackles, menjadi The Land, nan terjajah namun berupaya balik menuntut balas. Todd adalah The Knife, yang tercipta dan terseret di antara kebrutalan ini, bersama Viola yang mewakili manusia lain yang terawang-awang di langit. Sungguh penceritaan cerdas yang meninggalkan bekas. Tidak heran seri ini memenangkan banyak penghargaan di luar sana.
Katanya sih akan dipilemkan, tapi saya tak mau berharap. Taruhannya cukup tinggi. Bila A MONSTER CALLS sukses menyampaikan pesan dalam layar lebar, saya tidak mau menaruh ekspektasi untuk kisah ini. Entahlah, mungkin takut menyaksikan kebrutalan umat nan terang-terangan atau meragukan chemistry Todd dan Viola di pilem, karena di buku amat kuat namun teruji berulang-ulang dengan tingkat emosi yang bikin pingin ngemil eskrim sekotak besar. Kisah ketidakmanusiawian manusia ini disuguhkan Ness dalam jalinan menarik dengan tidak memaksakan plot. Nyeri ngeri sedap.
Recommended ? YES INDEED !!! 5 solid stars !
Kisah ini membekas, dan jelas saya butuh banyak penghiburan dan pergantian bacaan tanpa bisa melupakan yang sudah saya lewati dalam lembaran CHAOS WALKING TRILOGY.
“...I think how hope may be the thing that pulls you forward, may be the
thing that keeps you going, but that it’s dangerous, too, that it’s
painful and risky, that it’s making a dare to the world and when has the
world ever let us win a dare...?”
- Patrick Ness -
No comments:
Post a Comment