"...So which of the favors of your lord would you deny...?"
- Ar Rahman - the Holy Qur'an -
Saat sedang dalam masa malas-malasnya membaca (dalam artian tidak terlalu ngebut dan ingsut-ingsut), seorang pria nun jauh di sana tetiba menawarkan (kalau nggak mau disebut nodong) untuk segera membaca lanjutan dari buku ilmiah populer berjudul SAPIENS, karya Yuval Noah Harari yang sudah saya tuntaskan bulan lalu (curhatannya bisa dilihat di sini). Kali ini, buku berjudul HOMO DEUS : MASA DEPAN UMAT MANUSIA, tetiba hadir di pangkuan saya berkat kegigihan persuasif, sedikit keberuntungan, dan perantara dari toko buku langganan. So, what's so intriguing about this book ?
HOMO DEUS terbit aslinya tahun 2016, sekitar 3 tahun paska SAPIENS. Buku ini menyuguhkan spekulasi, filosofi, aspirasi, dan kumpulan data mengenai apa yang akan menimpa kita di masa mendatang. Sebagai lanjutan dari SAPIENS, Harari memaparkan lanjutan perubahan-perubahan pada kehidupan umat manusia dan kemungkinan-kemungkinan mau kemana nasib kita dibawa.
Banyak poin menarik dan cukup bikin jawdropping dalam penuturan Harari yang beliau rangkum dari ratusan riset. Sebagai dosen sejarah, Harari memang tidak main-main soal data. Ada referensi sepanjang jalan kenangan yang ditampilkan di akhir bukunya. Dan seperti yang sudah saya sebutkan di SAPIENS, agak sebel kenapa buku sejarah bisa ditulis seenak ini.
Poin-poin yang mesti anda tahu adalah Harari menyetarakan manusia - Homo sapiens sebagai rombongan mamalia cerdas yang bersepupu dengan gorilla atau simpanse. Well, tidak sekali dua kali beliau menyebut Origin of Species nya Charles Darwin (bukunya ada di lemari, masih ditimbun). Nah, Harari tanpa tedeng aling-aling merambah semua kepercayaan, ajaran agama, kitab suci, dan mencintai sains yang menyodorkan data-data terhadap segala hiruk pikuk umat manusia, apapun bangsanya.
HOMO DEUS lebih meneliti revolusi-revolusi akhir abad 19 hingga abad 21 yang merubah kehidupan Homo sapiens. Segala penyebab perang, rasisme, ketidakpercayaan, intrik politik, dan apapun yang terkait dengan kegilaan manusia itu sendiri. Terdiri dari 3 bab besar, kita akan diajak ber-roller coaster dalam catatan sejarah, yang tentu bisa saja hanya fiksi belaka, mengingat sejarah ditulis oleh sang pemenang.
Kita sudah mulai beralih dari perang merebut kekuasaan menjadi kumpulan organisme dengan perubahan tujuan. Disimpulkan menjadi tiga besar, yakni Imortalitas, Kebahagiaan, dan Keilahian. Meskipun tidak gamblang ditempel di jidat, tiga hal ini mungkin benar sudah menjadi tujuan kehidupan masa kini. Peningkatan angka harapan hidup yang cukup signifikan beberapa abad terakhir menunjukkan ke arah mana keinginan manusia akan bernaung.
Agama masih berpasangan dengan sains, meskipun satu sama lain sering punya friksi tersendiri. Sains membutuhkan agama untuk meyakinkan masyarakat yang tidak melek sains. Ibarat kata, jaman wabah hitam yang membunuh hampir dua pertiga penduduk Eropa yang dianggap sebagai kutukan dewa, sekarang bisa diprediksi dan dihindari berkat sudah ditemukannya antibiotik dan keberingasan WHO bersama hampir semua negara untuk melakukan berbagai proteksi, tidak hanya melakukan tarian persembahan pada Apollo untuk menghindari wabah. Kita sudah berubah, dari pasrah menjadi berusaha, gagal berarti ada yang salah terhadap kalkulasi sains yang kita kenal atau karena kita tidak tahu, bukan semata-mata menganggap semua hukuman atau cobaan atau ujian dari Tuhan. Menarik, dan Harari menuliskannya gamblang dan bisa membuat emosi umat beragama.
Lama-kelamaan kita mulai bergeser dari masyarakat agamis, menjadi masyarakat liberalis. Semua mulai bebas. Semua tergantung apa kata hati. Pertanyaannya tidak ada yang tau dimana 'kesadaran' dan bagaimana 'kesadaran' dan 'pikiran' itu bekerja. Kalkulasi ilmuwan sekian abad tidak bisa menemukan secara pasti di mana dan bagaimana pikiran berkehendak. Ilmuwan menemukan ratusan jenis neurotransmitter kimiawi yang mengatur mulai dari urusan kesukaan terhadap sesuatu sampai dendam kesumat. Namun bagaimana algoritma pastinya, tentu ini belum diketahui. Ada jurang-jurang dalam spektrum kesadaran manusia yang belum terpetakan.
Algoritma belakangan menjadi dasar tindakan dari semua yang bisa diungkap oleh sains. Seperti proses melihat saja, itu ada algoritmanya. Dan ini mulai diterapkan dalam komputasi, mulai dari rancangan awal mesin Turing tahun 1950-an, hingga smartphone yang anda pakai saat ini. Sekarang kita bisa tanya SIRI di Google soal suhu udara hari ini, dan SIRI dengan pintarnya menggunakan sederet algoritma untuk menjawab pertanyaan kita yang pemalas hanya dalam sekian menit. Belakangan, pembentukan artificial intelligence mulai menjadi percobaan rutin dalam kuil agama baru di Silicon Valley. Dan sekarang, semua ditentukan oleh kalkulasi, oleh data, dan kita terseret oleh aliran kepercayaan baru -- Dataisme. Perang tidak urusan melempar nuklir semata atau bertarung face to face kayak di jaman lawas. Perang sekarang terjadi dalam dunia cyber, berlangsung kurang dari satu jam dan bisa membabat saham satu perusahaan multinasional. Dan dimanakah posisi Homo sapiens berada ?
Harari menulis narasi yang mengingatkan saya pada banyak novel fiksi ilmiah yang sudah saya baca. Ketika negara memiliki teknologi untuk mengendalikan pikiran rakyatnya, saya teringat The Big Brother dalam 1984 bikinan George Orwell. Dan ketika Facebook lebih tau apa yang saya mau, punya catatan memori sekian tahun lalu, saya jadi ingat THE CIRCLE bikinan Dave Eggers. Semua algoritma dalam dunia hightech jaman now mulai menyodorkan jargon baru pada umat manusia : Rekam, Unggah, Sebarkan !
Mengapa demikian ?
Homo sapiens mesti berusaha dalam survival melawan kepunahan. Algoritma dan Dataisme membuat banyak profesi yang harusnya dilakukan manusia, bisa diambil alih oleh komputer. Anda bisa memasukkan sederet gejala penyakit ke internet lalu menemukan obatnya tanpa harus antri buat diperiksa dokter. Anda bisa pesan tiket pesawat dan bayar via internet banking tanpa harus ketemu manusia lain yang jadi customer service agen penerbangan. Nggak perlu mandi dan turun dari kasur. Semakin lama semakin tergantikanlah peran-peran yang dilakukan manusia oleh teknologi. Kita makin malas, harapan hidup meningkat, populasi bertambah, namun apakah kita bisa bertahan ?
Kita melawan mortalitas sejadi-jadinya. Menolak kematian dan menganggapnya sebagai kelemahan dan mulai membuat dewa-dewa baru yang sejalan dengan keinginan, bahkan mulai mendewakan pencapaian yang telah kita alami sejak terdampar di Bumi. Harari mengungkap, bukan tidak mungkin kita bisa mereset ulang kode genetik, mengurangi penuaan, dan terlihat kembali muda meskipun sudah berumur lebih dari seabad (teringat seri THE ARC OF SCYTHE-nya Neal Shusterman, dimana manusia sudah 'imortal' dan terpaksa dibunuh oleh algojo khusus secara acak untuk mengendalikan populasi). Namun, apakah kita bahagia ? Apakah kebahagiaan kita jauh lebih baik daripada Pithecanthropus erectus ?
Tidak ada ukuran pasti untuk kebahagiaan, dan mungkin kebahagiaan itu berlaku relatif untuk masing-masing individu. Meskipun urusannya dianggap sebagai keterlibatan dopamin, sedikit adrenalin, dan opioid internal dalam tubuh dengan algoritma tertentu, tapi nyatanya tidak bisa dirumuskan begitu saja dalam dunia nyata. Saya bisa bahagia cuma karena sepotong eskrim cokelat, di satu sisi adik saya yang sedang praktek lapangan, bisa amat bahagia karena nemu kos-kosan murah. Banyak parameter kebahagiaan mulai dari yang terkesan remeh sampai superbesar namun sepertinya tidak bisa dipastikan dalam algoritma tertentu yang dirumuskan secara komputasi.
Edisi terjemahan oleh Penerbit Alvabet |
Homo sapiens terus bergerak dalam arus data yang berkelindan menjadi kekuatan baru, agama baru. Masa depan kita kini semakin terusik, entah mau jadi utopia atau distopia atau hanya sama rata tanpa lonjakan perubahan berarti. Pergerakan kemajuan menggerus batas-batas kebebasan. Dan sejatinya memang tidak ada yang namanya bebas. Kita digiring dalam fatamorgana kenyamanan dan bahkan mengendapkan kekhawatiran kita terhadap semakin tidak bergunanya fungsi kita sebagai manusia. Jika suatu saat ada artificial intelligence yang mampu membuat keputusan tanpa risiko berdasarkan kalkulasi mahacermat terhadap kebijakan moneter, kesehatan, politik, dan segala bidang yang nyatanya mampu mewujudkan kebahagiaan sapiens beserta kemungkinan keabadian, maka akan jadi apakah kita ?
Novel-novel fiksi ilmiah yang saya baca rasanya mulai menjadi gambaran ketidakpastian masa depan. HOMO DEUS menyodorkan fakta dan opini yang cukup mengguncang dengan data-data mulai dari zaman Revolusi Prancis sampai perseteruan di Silicon Valley. Dari liberal tergantung keputusan hati nurani menjadi terbiasa dengan kemudahan teknologi, rekomendasi tergantung jumlah likes dan testimoni (nyatanya saya di rumah seharian, tidak pergi kerja, dan cukup berinteraksi via internet), dan mungkinkah mengubah kehidupan kita menjadi kekosongan yang tak sanggup digantikan oleh SIRI, Jarvis, Friday, atau Karen ? (silakan cek referensinya ke Marvel's Cinematic Universe). Dimanakah kesadaran atau pikiran kita akan berperan ? Apakah kecerdasan akan mengambil alih ? Apakah kecerdasan buatan justru yang akan memimpin kehidupan di masa datang ?
Mengingat kembali novel ORIGIN karya Dan Brown, rasa-rasanya suasana fiksi ilmiah ini akan semakin terasa. Keputusan-keputusan bebas ala liberalis akan digantikan oleh keputusan tepat sasaran hasil algoritma komputasi mesin canggih yang punya data tiada habis. Sekali lagi, akan dimanakah kita berada ? Apakah kita sudah terlalu jauh dan perlu usaha untuk kembali ?
Buku ini direkomendasikan sangat kepada pembaca yang tidak keberatan dengan penuturan sejarah tanpa basa-basi dengan pengabaian banyak aspek. Ada beberapa typo di terjemahannya, tapi tetap tidak mengurangi keseruan kumpulan penyajian data yang menarik ini. Hati-hati bila merasa tak cukup iman, buku ini bisa menggugah ataupun mengguncang dengan cara yang mungkin tidak sesuai keinginan. Yang jelas, semua masih spekulasi, namun data-data yang disodorkan tetaplah bagian dari kebenaran.
“...This is the best reason to learn history: not in order to predict the future, but to free yourself of the past and imagine alternative destinies. Of course this is not total freedom – we cannot avoid being shaped by the past. But some freedom is better than none...”
- Yuval Noah Harari -
No comments:
Post a Comment