Prolog
Saya belum
hidup cukup lama untuk seenaknya menghakimi orang-orang yang secara spesifik
bersinggungan dalam keseharian saya, baik di dunia maya maupun di dunia nyata.
Tetapi, entah kenapa, orang-orang ini punya ‘sesuatu’ yang bikin mereka sedikit
banyaknya berperan dalam hari-hari saya. Entah itu sekedar lewat, entah itu
begitu penting dan mendalam. Mereka ini, kumpulan lelaki yang berurusan dengan
saya, dengan kadar berbeda-beda, dengan rasa yang beda pula.
For your information, saya ini perempuan, dengan kecendrungan
berteman dengan banyak kaum Adam, mungkin karena saya kecentilan, mungkin juga
karena mereka yang doyan ngobrol dengan saya (menyusahkan saya tepatnya). Tidak
bermaksud gede rasa, tapi apalah daya, saya berurusan dengan para lelaki ini,
dan sedikit banyaknya terlibat dalam cerita mereka, sekedar mendengarkan, jadi
bagiannya, atau mungkin penonton setia.
People come and go, but memories stay. Sebelum saya pikun, alangkah lebih
baik saya abadikan orang-orang ini dalam tulisan. Maafkan saya bila berlebih
atau malah kurang. Ini sudut pandang saya, seenaknya dan beginilah adanya.
Best regards,
Oni
(30 Maret 2015 - ….)
DIA
Saya tau, sejak lama, kalau lelaki
ini bukan yang bisa ditemukan sembarangan. Dia datang pada saya dalam
kesempatan yang nyaris tak pernah direncanakan. Kami sudah kenal cukup lama,
dulu sejak kelas satu SMA. Satu kelas, tapi di pergaulan berbeda. Saya kutu
buku ambisius, dia maniak game dengan muka kacamata, culun dan anak-anak.
Tetapi satu hal, mungkin saya sudah attached
dengan orang ini sejak pertama bertemu. Saya saja yang gengsi mengakuinya,
wanita, maklumlah.
Kami tidak terlalu akrab saat SMA.
Mungkin karena saya memposisikan diri di kasta berbeda saat itu. Kemudian, dia
pindah sekolah, dan kami tidak sekelas lagi. Tetapi, takdir itu memang lucu.
Saya kebetulan masuk ke Universitas yang sama dengan dia. Dan kami ketemu sekilas di auditorium
kebanggaan kampus saya, dalam hiruk pikuk pendaftaran. Saling sapa dan berlalu.
Selanjutnya komunikasi hanya sekedar sapa singkat, via telepon atau sms atau
sosial media yang lagi booming saat itu.
Setelah menamatkan kuliah, kami malah
mulai kembali berkomunikasi. Dia mulai banyak cerita soal hidup, soal
pekerjaan, kabar, hingga konsultasi ke saya. Lambat laun, kami jadi sering
ngobrol, ketemu kadang-kadang, dan bercerita banyak hal. Dia pria cerdas.
Benar-benar cerdas. IQ di atas rata-rata, dengan kemampuan berbahasa inggris
yang fasih luar biasa. Saya adalah orang yang menghargai isi otak, kebetulan
demikian, ditambah cowok ini menjelma menjadi sesosok makhluk yang lumayan
ganteng dan tidak malu-maluin kalau diajak jalan.
Klise ? Mungkin iya. Tetapi ceritanya
tidak sesederhana itu. Berawal dari kehilangan mendalam ayahandanya, hampir
berbarengan dengan kehilangan kekasih hatinya, cinta pertama yang sudah dia
rencanakan untuk jadi yang terakhir, sepertinya memukul mentalnya begitu berat,
dan dia menghilang. Tanpa kabar. Saya sih santai, karena saya memang punya
paham gede rasa yang besar sekali, bahwa suatu hari, orang ini akan mengontak
saya lagi.
Dan ternyata benar, di sela-sela
kesibukan saya yang masih total bekerja, dia menghubungi lagi. Awalnya saling
bertukar kabar, cerita random tentang berbagai topik, dan pembicaraan seru
lainnya. Satu yang terasa saat itu, this
man is nearly falling apart, dan saya tidak paham sepenuhnya kenapa.
Bulan demi bulan, dia sering cerita
ke saya. Hari-harinya, keluhan-keluhannya, hingga keinginannya untuk mengakhiri
hidup. Saya sempat kaget, mengira hanya bercanda, tetapi memang demikian
adanya. Dia bertanya pada saya, cara yang cepat untuk mati, obat apa yang bisa
dipakai, berapa lama sampai akhirnya mati. Saya jawab saja semuanya seadanya,
sesuai keilmuan saya. Saat itu, saya nggak pernah menyangka bakal sedalam
samudra kisah sedihnya.
Komunikasi terus berlanjut. Dengan
kecanggihan teknologi, jarak dan waktu bisa diatasi. Dia laporan hampir tiap
hari ke saya, hingga cerita ini ditulis. Saya, yang suka sok pedulian, sok ikut
campur, punya kecendrungan bahagia kalau bisa nolong orang, dan suka ingin tahu
berlebihan, meladeni saja curhatnya dia. Hingga sebaliknya, saya juga punya
kebiasaan bercerita hari-hari saya ke dia. Mengadu apapun. Karena untungnya,
kami berdua adalah manusia yang malas menghakimi, jadi aman-aman saja untuk
bercerita, dari yang gak penting sampai yang penuh airmata.
Yang nggak aman ya perasaan saya. Itu
jelas, saya adalah wanita yang berkali-kali dikecewakan. Menjomblo sejak lahir,
sering dimanfaatkan, dan cenderung nggak dianggap perempuan sama teman-teman
lelaki saya yang lain, anggap saja anugerah. Dia sangat baik pada saya, lelaki
sekali, tiap jalan dengannya, saya merasakan perlindungan dan kenyamanan, hal
yang penting buat perempuan sok kuat macam saya. Maka saya mulai sayang sama
orang ini, lebih dari sekedar peduli.
Masih klise..? Belum selesai.
Sepanjang curhat kami, ada hal yang
secara hampir pasti saya simpulkan. Dia depresi. Benar-benar depresi. Bukan
sekadarnya, bukan yang dibikin-bikin untuk cari perhatian. Dia berusaha,
pacaran dengan beberapa perempuan setelah si mantan kekasih. Tapi dia mengaku,
kosong. Nyaris tak ada rasa yang tersisa lagi untuk mereka. Mengutip lagunya
The Script, salah satu band favorit saya “..and
you leave me with no love..with no love to my name..”
Dan saya menyerah. Kembali saya
bangun tembok pertahanan saya yang terkuat. Karena saya nggak mau disakiti,
meskipun pada akhirnya, ini bakal menyakitkan. Saya adalah perempuan egois,
saya nggak akan sudi di bawah bayang-bayang si mantan kekasih kalau saya
memaksakan diri untuk bersama dia lebih dari ini.
Maka jadilah saya menganggapnya
Abang. Abang yang tak sedarah. Kami bercerita, jalan bareng, makan, ketawa,
hingga saya mendengar hampir semua ke-absurd-an isi hatinya. Dia merasa effortless, merasa apapun usaha yang dia
lakukan sia-sia. Saya pernah mendengar tangisannya selama satu jam lebih,
hingga saya ikut menangis. Menjadi saksi ketika dia menyakiti dirinya sendiri
secara sengaja. Dan dia hidup ‘menggelinding’, tidak tau ingin kemana.
Menyia-nyiakan otak cerdasnya.
“ I’m
evil, Oni. I’m a monster. Abang yang sekarang, jauh lebih buruk dari dulu.
Mungkin memang abang nggak pernah baik “
Maka saya mendengarkan, mungkin
ikutan mengomeli kelakuan dia. “ Right
now, maybe you’re my voice of reason”, dia bilang begitu pada saya. Dan
dengan kejujuran yang tidak disangka-sangka, saya mengaku padanya, bahwa saya
nggak sanggup lebih dari ini, tapi saya juga nggak akan bisa meninggalkan dia
sendirian.
Suatu hari, dia pernah menghilang,
dari keluarganya, menghentikan studi S2 nya, dan tidak ada jejak. Terakhir kami
bertemu, berbagi pizza ukuran besar dengan lahapnya, dia tidak menunjukkan
tanda-tanda akan menghilang. Dia masih tertawa, mendengarkan curhatan saya soal
pekerjaan, buku-buku, lelaki, dan banyak hal acak lainnya. Lalu dia menghilang,
membuat saya bingung, dan mencari informasi kesana kemari. Tetapi, entah itu
firasat, entah apa, saya berhenti mencari. Saya menanti, sekali lagi dengan
keyakinan aneh, dia akan kembali.
Mungkin saya bodoh. Tetapi keyakinan
itu terjawab. Setelah dua bulan lebih menghilang, dia mengontak saya lagi.
Merasa kesepian dalam pengasingan, itu katanya.
“ Why
me ?”, tanya saya waktu itu. Kami memang sering berkomunikasi dengan bahasa
ini.
“ I
trust you. You don’t wanna judge me. Our world doesn’t collide much. We’re
separated. Nothing I did will change your life much, neither do you,”
Dan berlanjut. Dia memutuskan untuk
tidak melanjutkan studinya, dan kembali pada keluarganya. Hidup menggelinding
lagi, tak punya mimpi dan rasa. Setiap hari, kami saling melaporkan kondisi
masing-masing. Sedang apa dan dimana, kadang saya omelin semua kelakuan
anehnya. Dan dia minum antidepresan rutin, kiriman saya. Kadang di jam-jam yang
tak lazim, kami akan ngobrol banyak hal, mulai dari keluhan saya sehari-hari,
sampai ke filsafat.
“Why
do people live ? What for ?”
Model pertanyaan itu sering nongol ke
saya. Saya jawab seadanya. Saya tau, dia lebih ingin didengarkan. Tidak penting
saya menjawab apa.
“ Tapi nanti kalau Oni punya pacar
atau akhirnya dapat suami, Oni nggak bakal bisa kayak gini lagi ke abang. Nggak
bakal komunikasi kayak gini lagi. Nggak bakal cerewetin abang lagi.”
“ Iya, abang ngerti kok. Tapi kasih
tau ya. Jangan mendadak. Biar bisa siap-siap”
“ I’m
sorry. I can’t. I can’t save you.”
“ I
won’t allow you to save me. You’ve done so much for me. You deserve better. The
better one.”
Jadi begitulah. Saat ini, saya ada
untuknya. Dia pun ada untuk saya. Hingga tulisan ini diketik di laptop jadul
saya, dia masih di seberang sana. Laporan telat bangun, nggak bisa tidur, atau
habis nangis sendirian.
Mungkin saya nggak pernah mengalami
cinta mati itu seperti apa. Saya tak mengerti, sebeginikah cinta seorang pria
pada wanita. Dia bercerita pada saya, si mantan kekasih itu moving on, bahagia dengan pasangan baru,
dengan karir gemilang. Sementara dia tak bisa, sesederhana itu, tidak bisa.
“ Abang udah rusak, Oni. Rusak parah
mentalnya.”
Dan lagi, saya mendengarkan.
“ I’ve
tried. Repeatedly. But I can’t. Simply I can’t.”
“ Maybe
it’s because you don’t love yourself much. You’ve already given everything to
her, and yet nothing left to yourself. ”
Itu kata saya. Dan dia mengakui
mungkin itu benar. Dia sempat bilang, sudah banyak manusia yang menasehati dia.
Teman-temannya yang lain. Keluarganya. Pakai nasehat agama, masa depan, hidup,
begitulah.
“ Mereka nggak bakal mengerti. Pada
akhirnya nggak ada yang mengerti, They’re
not steppin’ into my shoes.” protesnya pada saya.
“ I
know, I even don’t understand much either.”
Intinya, mungkin saya pasrah. Saya
juga tak mengerti, dan saya tidak mau berusaha lebih lanjut. Maybe I’m already giving up ?
Dia masih menggelinding. Dan saya
masih setia menemani dia, sesukanya saya sampai kapan. Kadang dia yang gantian
mendengarkan keluhan nggak penting saya, hingga rengekan bodoh saya yang lain.
Sudah beberapa lama kami tidak bertatap muka, tapi sekali lagi, teknologi
tersedia. Dia semakin buncit kebanyakan makan, saya semakin tembem kelamaan
liburan. Tetapi hidup saya berlanjut, dan saya bersyukur dia adalah salah satu
orang yang hadir memberikan saya dukungan.
“ I’m
here. Not going anywhere. If you need a shoulder.”
Kata-kata itu yang dia berikan untuk
saya, dengan emoticon senyuman. Mungkin pada akhirnya kami saling membutuhkan,
dengan cara yang tidak biasa. Saya tidak tau sampai kapan. Saya serahkan saja
pada Sang Maha Pemilik Hati. Hidup saya jalan terus. Tetapi, untuk saat ini,
saya tak mampu meninggalkan dia sendirian. Mungkin karena saya juga takut
ditinggalkan sendirian.
Cinta sebegitu kejamnya mungkin. Dan
lelaki ini jadi contohnya.
No comments:
Post a Comment