“
Kadang, journey itu lebih menarik
daripada destination “
Hell, yeah.
Mungkin memang demikian. Ada bagian dalam diri saya yang nyaris percaya kalau
dunia diciptakan jauh lebih menarik di bagian perjalanannya, bukan bagian
tujuannya. Tetapi, kalau saya boleh berargumen, keinginan menikmati perjalanan
itu sering terbentur dengan batas-batas realitas yang sengaja atau tidak
diciptakan sendiri oleh si makhluk ragawi.
Why so serious ?
Okelah. Saya nggak tau mesti merangkum ini dalam bentuk
apa. Lebih ke personal literature
mungkin. Buat saya yang sangat minim di dunia penulisan, mengetik (iya,
mengetik di laptop, bukan mesin tik
klasik jaman orangtua saya dulu) kata-kata seperti ini butuh sejenis tamparan
inspirasi dan situasi tertentu yang kesannya biasa tapi berkesan. Nah
begitulah.
Jadi, yang saya tau, kita bertemu orang-orang pasti ada
tujuannya. Bukan hanya kebetulan. Tuhan itu punya rencana, sesederhana elektron-elektron
yang selalu bermuatan negatif dan meloncat di setiap inti atom. Seperti halnya
pertemuan tidak biasa dengan orang ini, sebut saja si Gondrong.
Internet, online.
Perkembangan dunia jaman kini memang luar biasa. Kita bisa saling
tukar-pikiran, celotehan absurd, hingga tangis-tangisan labil cuma lewat kabel
tak terlihat saja. Luar biasa. Bersyukur ? Jelas. Kalau tidak ada sarana ini,
mungkin saya bakal tak mencambuk diri untuk menulis lagi.
Jadi, si Gondrong ini sudah kenalan lewat media sosial
beberapa tahun silam. Saya sudah merasa sedikit attached dengan orang ini kala itu. Tipikal yang absurd, aneh,
kemudian punya hobi (maniak mungkin) yang tidak biasa bagi orang kebanyakan,
itu poin plusnya. Maka saya mengingat orang ini, meskipun karena kesibukan
masing-masing, kami tidak pernah bertatap muka, hanya bertukar komentar sekali
waktu saja. Kemudian menghilang. Dunia saya merepotkan. Begitu pula dunia dia.
Mungkin saja demikian.
Namun, beberapa bulan yang lalu, setelah pergolakan batin
dalam diri yang memutuskan saya untuk kembali ke rumah, tidak merantau lagi
singkatnya, si Gondrong mengabari saya. Minta tolong di-review-kan tulisan-tulisannya.
Kenapa saya ? Tanya saya waktu itu. Jelas, saya kaget
sekaligus senang. Saya yang bukan apa-apa ini dimintain pendapat.
“ Nenek kan udah banyak baca hampir semua buku di dunia,
jadi pandangannya pasti oke “ tulisnya di kolom pesan suatu media sosial waktu
itu.
Saya ini penggemar novel fantasi, komik jepang, sastra
Indonesia lama yang romantis, dan suka cowok-cowok anime yang ganteng. Itu saja. Tapi baiklah, karena ini
menyenangkan, dan pada dasarnya saya adalah makhluk ababil yang suka
berkomentar, ayo dilanjutkan. Saya pun mulai mempreteli tulisan-tulisan dia
dengan gaya sok editor. Ada sekitar selusin cerita pendek yang nyasar ke e-mail saya. Saya juga membaca
tulisan-tulisan dia yang lain di kolom blog-nya.
Tambahan referensi sekaligus memenuhi hasrat ingin tahu saya yang suka tidak
pada tempatnya.
Pernah suka dan benci sesuatu sekaligus ?
Nah, inilah yang saya alami ketika membaca
tulisan-tulisan si Gondrong. Ada bagian dari diri saya yang suka sekali, dan
ada yang benci setengah hidup (saya belum siap mati, jujur saja, belum bikin
orangtua bahagia). Kenapa demikian ?
Si Gondrong ini menulis. Iya, dia menulis. Terlepas dari
orisinal atau tidak. Asli atau terinspirasi. Curhatan berbalut fantasi atau
roman dengan gaya nyeleneh. Dia
menulis. Saya suka itu. Sekaligus benci ketika melihat idenya yang nanggung, typo (kesalahan ketikan huruf, saya agak
perfeksionis, suka banget lihat huruf perhuruf, spasi per spasi, apalah
begitu), atau ceritanya yang mirip dengan perasaan saya, atau mungkin
keberanian yang dia coba wujudkan dengan tulisan-tulisan itu, atau mimpi yang
berusaha dia capai dengan kata-kata sebagai anak tangganya.
Saya iri. Terus terang saja. Dulu sekali, jaman sekolah
menengah, saya sempat menulis. Puisi, cerpen, romansa anak baru gede, curhat, diary, berbagai bentuk tulisan yang
membuat saya ‘merasakan’ indahnya kata-kata. Meskipun setelah saya baca
kembali, akan berasa norak dan bodohnya. Tetapi saya tau, itu adalah bagian
dari diri saya, kecil memang, kayak lentera berjelaga.
Maka tulisan si Gondrong seolah membangunkan saya. Ada
orang di luar sana yang belum menyerah untuk menulis. Dan saya dipertemukan
dengan dia. Iya, saya mensyukuri itu.
Cukup tentang saya. Lalu bagaimana kabar si Gondrong yang
jadi tokoh utama cerita ini ?
Dia gendut, menggembung, manis tapi sedih. Itu kesan yang
saya tangkap setelah bertemu pertama kali secara langsung dengannya. Pria ini
nyaris patah, mungkin. Tetapi saya tak mau sok tahu. Mungkin sekarang dia masih
berjuang dengan caranya sendiri.
Kenapa akhirnya bertemu langsung ?
Setelah menceramahi tulisan-tulisannya dengan gaya saya
yang berlebihan, saya mulai sering komunikasi dengan makhluk ini. Kami
bercerita apapun, late night conversation,
via telepon dan sarana penunjang lain. Sampai bertukar tangisan. Lucu dan miris
sebenarnya, belum pernah ketemu, tetapi sudah mengumbar airmata jarak jauh. Ini
ajaib, kata saya, orang ini langka, makanya saya betah bercerita.
Sekian bulan komunikasi, si Gondrong memutuskan pulang
kampung. Makanya kami bisa bertemu. Awalnya saya takut. Bukan hal baru di dunia
nyata tidak seseru dunia maya. Untunglah kekhawatiran saya yang paranoid ini
tidak terbukti. Dia absurd, jelas saja. Dan saya bisa tertawa tak tahu malu di
depannya, sambil kadang-kadang teralihkan oleh pemandangan dunia, dan dia
menyeret saya untuk fokus kembali dalam perbincangan tak terarah kami saat itu.
Si Gondrong ini pelupa, sementara saya pengingat. Ini
sudah saya sebutkan dengan omelan panjang kepadanya, ketika dia tidak memenuhi
janjinya pada saya. Saya ini anak kecil bodoh yang suka mengingat janji. Itulah
masalahnya. Sementara si Gondrong punya banyak masalah dalam kepalanya, nyaris
seperti perang Troya yang berkecamuk, membuat dia melupakan hal-hal remeh yang
saya ingat setiap detailnya secara menyebalkan. It’s a gift, buat saya begitu, mungkin juga buat dia.
Yang menarik lainnya, si Gondrong adalah orang yang
sangat suka memuji diri sendiri, tetapi sekalian menyembunyikan sifat rendah
dirinya. Secara fisik, dia amat dewasa, mental, mungkin seperti saya, yang
masih ingin menjadi anak kecil seenaknya. Tetapi itu penilaian saya, dan tentu
saja subjektivitas ini sangat diragukan kebenarannya.
Saya sejujurnya terharu. Di jenjang usia ini, saya
kembali memulai menulis lagi. Mungkin tidak kelihatan bagi khalayak ramai, tapi
ini terlihat untuk diri saya yang rapuh. Si Gondrong berperan besar dalam hal
ini, saya dengan sedikit enggan mengakui. Tuhan mengirimkan bentuk inspirasinya
dalam berbagai hal. Kehadiran pria ini salah satunya.
“ Nulis terus dong, Nek. Cakep gitu tulisannya”
Dia mungkin tidak tahu. Kata-kata sederhana itu, membuat
saya berpikir, kalau saya bisa menuangkan isi kepala dalam bentuk
paragraf-paragraf manis berirama. Dia, yang suka galau dan sedih itu, justru
menyemangati saya dengan seenaknya. Membuat saya kembali menemukan remaja
belasan tahun dalam sudut hati saya terdalam, untuk menuliskan lagi kata-kata
ini.
Tetapi dia tidak sesempurna itu. Sama seperti makhluk
fana lainnya, dia juga sedih, tidak lengkap, sendirian, felling lost (mungkin di antara kita masih banyak yang demikian),
dan belum menemukan remah-remah roti penunjuk jalan. Dia sering terjebak dalam
kebingungan. Mau apa sekarang ? Mau jadi apa ?
“ Gimana kalau mimpi ini udah kadaluarsa, Nek ? “
Saya bingung. Saya amat tidak suka kalau dia sudah bilang
begitu. Dan bodohnya, saya hanya mampu menyemangati dengan kata-kata
penghiburan tak layak. Atau malah mengalihkan pembicaraan dengan mengomeli dia
lagi soal kondisi kesehatannya yang fluktuatif. Sejatinya, saya tidak rela
kalau dia berhenti.
Kadang saya sejenak tertegun. Ini mimpi saya atau mimpi
dia ? Melihat dia sukses menjadi apa yang dia impikan, muncul dalam kepala
saya, tidak sering, tetapi selalu ada. Seolah ini adalah harapan saya juga,
meskipun saya tahu, bukan hak saya.
Si Gondrong ini memang manis dan menyebalkan. Kalau kata
dia, mempesona. Mungkin demikian. Saya yang sempit pergaulan, merasa bersyukur
bertemu orang ini, karena banyak sekali sisi dunia di luar sana yang tidak saya
tahu. Membuat saya lebih merasakan sedikit makna mimpi-mimpi yang pernah saya
lupakan. Bagian menyebalkannya adalah dia suka kerepotan sendiri, menyangkut
hal-hal kecil yang bisa diputuskan dengan gampang oleh orang biasa. Sesederhana
pulang kampung sebelum Ramadhan atau menjelang Lebaran. Mr.Overthinking, katanya begitu. Saya menanggapi saja dengan
tersenyum geli atau menghela napas prihatin. Soalnya hal-hal begini sering
membuat dia sakit kepala. Dan saya khawatir sendiri karena distraksinya
seringkali terbatas kopi dan rokok, dua substansi penambah rusak sistem
tubuhnya.
Jadi sekarang apa kabarnya si Gondrong ?
Dia aman dan nyaman di rumah, di pangkuan Bundanya
tercinta. Isi kepalanya, entahlah, mungkin sedang gencatan senjata atau malah
perang dunia kesekian. Saya ingin tahu, sekaligus berusaha tidak peduli,
meskipun itu bertentangan dengan karakter saya yang kepo ( Knowing Every
Particular Object ) setengah mati. Terakhir di blog-nya, dia menulis tentang sebuah buku roman dan curhat
membersihkan kamar kosnya. Saya suka model tulisan curhat dia, menyebalkan tapi
pas saja rasanya. Seolah kita berada disana
melihat langsung kesemrawutan itu.
Lalu, romansa pribadi si Gondrong ?
Ini topik pribadi yang tidak etis, tetapi menyenangkan.
Kalau mau jujur, si Gondrong ini juga kenes
banget dalam hal ini (bedanya apa sama saya). Tetapi, sama seperti cerita
cinta lainnya, selalu mengharu-biru untuk disimak.
“ I’m the man
without commitment “
Kata dia sih demikian. Yang saya percaya, belum, bukannya
tidak bisa. Selama ini, kisah cintanya yang berakhir dengan beraneka model broken-sad-ending, menunjukkan banyak
hal. Mungkin takdir yang belum berpihak padanya, Tuhan yang memintanya
menunggu, atau hatinya sendiri yang masih belum siap untuk berbagi dan
dilengkapi.
Saya memang sok tahu, jelas sekali itu.
Tidak ada pria yang tidak layak dicintai. Tuhan saja yang
Maha Cinta, tetap mencintai kita meskipun kita berkubang kotoran tak terhitung
yang kita ciptakan sendiri. Saya memang sombong sekali berusaha berharap yang
paling baik bagi dia. Karena saya tahu, bagi saya dia baik, dalam caranya
sendiri, tentu saja.
Saya berterimakasih padaNya, juga pada si Gondrong ini.
Di sela-sela kesebalan saya yang selalu ada buat dia, si Gondrong ini memorable. Entah kami bakal ditakdirkan
berteman selamanya atau tidak, buat saya dia sudah ada posisinya sendiri.
Petasan gembung sepertinya. Trigger
yang memicu saya untuk kembali menuliskan aksara-aksara sebagai luapan isi
kepala. Walau mungkin hanya dia dan Maha Editor yang membaca kata-kata ini.
Memang menikmati perjalanan dan menemukan kembali mimpi
terpendam adalah salah satu bentuk karunia tak ternilai dalam hidup. Si
Gondrong secara tidak disadarinya mengajari saya hal ini. Entahlah bagi dia
seperti apa. Saya tidak mau terlalu sering memujinya, nanti perutnya semakin
menggembung.
Si Gondrong ini seperti panda. Hitam-putih harmonis
menggemaskan, terkesan lucu tapi sebenarnya garang. Besar tetapi soliter. Untuk
saat ini, dia belum rela diikat di luar kemauannya sendiri. Saya sedikit
memahami, mirip saya sepertinya. Tetapi dengan alasan yang berbeda, mungkin.
Tulisan-tulisan si Gondrong membuat dirinya menjadi
semacam puzzle lukisan acak yang
menantang sekaligus familiar. Seperti
yang sudah saya jelaskan, dia menulis seenaknya. Karunia juga, saya rasa. Dan
saya tentu saja berharap, masih diberi kepercayaan membaca tulisan-tulisannya.
Doa saya untuknya, mimpi itu akan dijawab, segera.
Semoga si Gondrong tetap menulis. Bukan untuk siapapun,
tetapi untuk dirinya sendiri. Semoga dia selalu dikaruniai hati yang sama, yang
seperti dia seharusnya, mengikuti rentetan cahaya yang akan menuntun
perjalanannya. Semoga.
No comments:
Post a Comment