Harusnya dia tidak boleh bermimpi.
Dia tau, di umur segini bukan masanya lagi untuk
berlarut-larut membahas mimpi yang itu, berulang-ulang dalam kepalanya. Akan
tetapi, sang mimpi tetap membandel, bertahan disitu, menghangatkan hatinya yang
beku, sekaligus menusuk perasaannya terdalam. Bercokol disana, bagai dosa
paling manis yang tak terhindarkan.
Mungkin kau bingung, ini cerita macam apa. Tenang, kalau
tak ingin melanjutkan, kau bisa berhenti disini. Lewatkan saja omongan sampah memusingkan
ini.
Jadi, dia, maksudku tokoh utama dalam cerita ini, adalah
seorang wanita dewasa yang sudah sangat matang. Punya pekerjaan tetap, karir
cemerlang, amat mandiri, dan jadi andalan hampir dalam segala hal. Membosankan,
kataku. Tapi, yang mungkin tak semua orang tau, ada bagian dalam dirinya yang
menyenangkan. Bagian kecilnya, yang suka membaca beraneka dongeng, tertawa-tawa
menonton film animasi, menangis menonton film romantis, dan kadang suka
mewarnai di ilustrasi ajaib yang dibuat seniman kreatif di luar sana.
Dia kesepian di dunia nyata, tapi menghangat di dunia
maya. Internet tentu saja. Jelas, mungkin bagian dirinya yang seperti anak-anak
itu yang membuatnya bertahan hidup, lebih tepatnya merasakan kehidupan, dan
banyak orang dewasa lain seperti dirinya yang memilih membentuk komunitas
sosial untuk menyatukan kembali keping-keping kebahagiaan itu. Maka dia cukup
bersyukur, di dunia yang itu, dia tidaklah sesendirian yang dikira.
Sudah kukatakan, kau boleh berhenti kalau bosan. Aku
tidak memaksamu kok. Tapi, aku kasih spoiler
sedikit ya, ini cerita romansa, tapi belum ada akhirnya, jadi kita nggak
bakal tau ini happy ending atau
tidak. Jadi ya, sudahlah, kalau kau bebal dan persisten, silakan melanjutkan.
Jangan salahkan aku ya, kalau curhatan ini merusak dan mengganggu istirahatmu.
Dia sampai detik ini masih belum bisa beranjak dari
ikatan tidak jelas yang diciptakannya sendiri pada seorang pria nun jauh
disana. Pria yang katanya (dia membohongi diri sendiri, jelas sekali), dia
anggap sebagai saudara sendiri. Kebohongan besar, hatinya tau itu. Tetapi
berbagai alasan menyebabkan dia tidak bisa memajukan diri untuk keluar dari
zona kakak-adik menyakitkan itu. Dia takut, takut ditinggalkan kalau berani
mencoba lebih dari ini.
Jadi dia bertahan, bertahun-tahun sudah. Mendengarkan
setiap keluhan, dan saling membantu dengan cara yang manis sekaligus membuat
kau ingin melempar sepatu usang ke kepalanya. Nah, belakangan, si pria yang
didiagnosis menderita depresi ini, mengalami kemunduran status mental yang
signifikan. Maksudnya, dalam bahasa yang lebih umum, dia jadi semakin
mengisolasi diri, kurang makan, tidur dengan jam-jam yang tidak benar
(mengalahkan variasi nokturnal burung hantu dan sejenisnya), serta tidak bisa
diajak bercerita banyak. Tokoh utama kita sabar, tentu saja. Menanggapi dan
mendengarkan setiap keluhan. Meskipun, yah, pahit terasa sampai ke sumsum
tulang.
Wanita ini bosan dan sedih. Dia kangen masa-masa waras si
pria. Dimana mereka bisa ngobrol banyak soal semua hal, dari yang ringan sampai
molekuler. Pria ini jenius, sarkastis, sama seperti dirinya, ingin kembali ke
masa anak-anak, tak pernah jadi dewasa, dan sangat blak-blakan (catat : bila
serangan depresinya tidak muncul). Kerinduan ini terbawa ke dalam mimpi. Dua
mimpi berbeda, dengan tokoh yang sama.
Dia ingat, tangannya menghangat pagi itu, saat dia
terbangun dengan sedih sekaligus senang (labil banget, perempuan). Dia berusaha
mengingat-ingat keseluruhan mimpi itu, mengulangnya dengan menyedihkan dalam
kepala. Bagaimana si pria meneleponnya, mengajak bertemu, entah di semesta yang
mana (kan dalam mimpi, suka nggak jelas dimana). Daerah pedesaan, dengan sungai
besar berair jernih. Serombongan orang hiruk pikuk berkumpul di pinggir sungai.
Deretan kapal-kapal kecil parkir di sepanjang dermaga. Menunggu naiknya
penumpang.
Si pria tersenyum menyambutnya, lantas tanpa bicara
menarik tangannya menuju dermaga. Genggaman kuat yang hangat, menyeluruh sampai
ke tiap senti serabut sarafnya. Pria itu mengajaknya bercerita di dermaga,
bilang padanya bahwa dia akan pergi jauh, belum tau kapan akan kembali.
Dia menatap si pria sekuatnya, tidak menangis, diam saja,
menenangkan diri sendiri.
“ Abang pergi ya. Ga tau berapa lama. Mungkin balik.
Mungkin nggak. Tapi, abang bakal kasih kabar,” kata pria itu.
Dia hanya mengangguk. Tak tau harus berkata apa. Menunduk
saja melihat tangan kecilnya yang masih digenggam si pria.
Lalu mereka berjalan menikmati semilir angin. Berbicara
entah apa. Yang menarik dalam mimpi ini, dia memegang salah satu novel
fantasinya. Novel bersampul biru tua dengan ilustrasi artistik. Pengingat
keterkaitannya dengan dunia nyata mungkin. Dia tidak tau, sepanjang mimpi
berlangsung, gemericik air sungai, kebisingan orang-orang di sekitar, dan rasa
hangat di tangannya, membuat situasi sudah terasa asli, nyaman dan tidak asing.
Tetapi, seperti mimpi pada umumnya, dia lalu terbangun. Mimpi berakhir. Melihat
nanar ke telapak tangannya yang rasanya masih hangat. Kosong, tak ada apapun
disitu.
Bosan ? Absurd ? Kan sudah kubilang, ini roman dari isi
kepala wanita. Aku pun juga nggak ngerti kenapa menulis cerita ini.
Lanjut ke mimpi kedua. Kali ini jauh lebih riang gembira.
Tokoh utama kita terbangun dengan senang bercampur tak rela. Sebuah lagu
terngiang-ngiang di kepalanya. Lagu yang jadi official soundtrack mimpinya semalam.
“..Raindrops keep
fallin’ on my head..but that doesn’t mean my eyes will soon be turnin’
red...Cryin’s not for me..’cause I’m never gonna stop the rain by
complainin’..Because I’m free..nothin’s worrying me..”
Lagu lama. B.J.Thomas, Raindrops Keep Fallin’ On My Head. Dia suka hujan, selalu suka. Bau
rerumputan basah, bunyi gemericik air yang menghantam tanah. Menenangkan dan
menyejukkan. Entah kebetulan atau apa, mimpi yang kedua ini, ada hujannya.
Konspirasi manis dari sistem limbik otaknya dan kuasa sang Maha Kreatif.
Karnaval, pasar, festival, semacam itulah. Di suatu kota,
berlangsung amat meriah. Banyak pedagang membuka stand kecil. Balon warna-warni
berterbangan. Dan lagu favoritnya itu berkumandang di udara (atau di kepalanya
? entahlah). Atraksi badut, sulap, semuanya ada. Hari itu senja, dan
titik-titik gerimis turun dari langit, sempurna.
Dan pria itu ada, berdiri di sebelahnya, tertawa
menyanyikan lagu yang sama. Tanpa basa-basi, si pria menarik tangannya
berlari-lari melihat ke sekeliling lokasi festival. Menakjubkan, semua
stand-stand yang ada menyodorkan memori manis untuknya. Stand
permainan-permainan unik yang hanya ada di masa lalu. Masa ketika berlari di
bawah hujan, tertawa main petak umpet, dan kehebohan kembang api masih terasa
nyata. Belum lagi penjaja jajanan di sepanjang festival. Es loli kacang merah,
gulali merah jambu, lollipop aneka warna, semua dengan rasa yang sama seperti
yang dia ingat di masa kecilnya dulu.
Seolah dalam drama musikal, tidak ada yang terlewatkan.
Lengkap. Pria itu tidak mengeluh, tidak gloomy
seperti biasa, tak ada serangan depresi. Dan ajaibnya, semua lagu-lagu
favoritnya berkumandang. Bergaung di keseluruhan festival, dan dinyanyikan oleh
mereka berdua.
Bagian yang tidak enak adalah, mimpinya habis. Tanpa
pertanda apapun. Tetapi, detail-detailnya sekuat tenaga dia pertahankan.
Lengkap dengan playlist lagu yang
terlibat. Sayang sekali dia tak pandai menggambar. Kalau tidak, mungkin sudah
menggapai kertas terdekat dan mulai mencorat-coret.
Kebiasaan bodohnya ketika bangun adalah mengecek pesan
masuk di smartphone. Tidak ada, tidak
ada apapun dari si pria. Pasrah dan lelah, memang mimpinya ternyata hanya
mimpi. Dia tidak tau, sampai kapan akan bertahan. Bertahan dalam dunia aneh
yang dia ciptakan sendiri.
Tapi hidup terus jalan, dia bangkit dari tempat tidur.
Mengecek koleksi buku-buku favorit dan memilih satu dari timbunan. Untuk
melarikan diri, tentu saja, ke dunia satu lagi yang tidak akan pernah
menyakitinya. Dan nanti, seolah sudah biasa, si pria akan muncul lagi. Sekedar
sapaan singkat, atau keluhan. Melelahkan, jelas. Bertahan, mungkin. Muak, iya.
Tak tega, tentu saja.
Dan dia memasang headsetnya,
mendengarkan kembali lagu-lagu yang berkaitan. Mengetes seberapa kuat hatinya
berusaha. Saat berikutnya, dia kembali ke rutinitas yang biasa. Prinsipnya
sama, tak ada gunanya mengeluh. Dunia takkan mengerti, apalagi memberikan
jawaban. Dia sendiri tidak paham, sudahlah, pasrah pada Maha Sempurna,
sepertinya adalah satu-satunya cara.
Nah, apa kubilang. Ini membosankan, kan ? Kalau kau
bersabar, mungkin akan ada lanjutannya. Mungkin loh ya, jangan banyak berharap.
Harapan mungkin menguatkan, tapi akan amat pedih bila tak berbalas.
No comments:
Post a Comment