“Nenek…”
Si
bocah kacamata dengan muka memelas, tiba-tiba merengek pada Neneknya. Si Nenek
yang sedang sibuk menatap layar laptop tertegun
sejenak. Bocah sayu dan agak kurus itu lalu menyandarkan kepalanya dengan lemas
ke bahu si Nenek.
“
Apa..? Kamu kenapa..?,” tanya Nenek prihatin. Dalam hati, si Nenek sudah tau
apa jawabnya.
“
Rani..Aku sayang banget sama dia Nek. Tapi kami berantem terus belakangan ini.
Aku nggak ngerti maunya dia apa,” curhat si bocah.
“
Hmm..terus..?,” lanjut Nenek.
Maka
si bocah bercerita. Tentang Rani, wanita yang awalnya sahabat baik si bocah.
Kemudian, seperti kata-kata indah dalam lagu popular, persahabatan jadi makin
lebih. Rasa sayang tak biasa, proteksi tak sewajarnya, dan benih-benih romansa.
Dan si bocah melanjutkan pertaliannya dengan Rani, menjadi lebih dari teman
biasa.
Lalu
waktu pun bergulir. Si bocah bilang, Rani berubah, jadi makin cemburuan gak
jelas. Jadi sok ngatur, dan kebanyakan menuntut. Nenek mendengarkan dengan
seksama. Tau dari awal kalau ini akan terjadi, tetapi diam saja. Nenek
menyayangi bocah ini, sudah seperti saudaranya sendiri. Tetapi kalau soal
hubungan dua orang, Nenek memilih untuk tidak ikut campur. Hanya berdiri
sendiri, memberikan perhatian yang biasa, dan menawarkan perlindungan
semampunya, bila bocah ini terjatuh.
“
Makasih, Nenek..”
Si
bocah pulang, setelah mengadu panjang. Nenek tau, bocah ini akan baik-baik
saja. Meskipun Nenek mengabaikan firasatnya tentang Rani. Firasat yang pada
akhirnya, terjadi beberapa tahun kemudian.
Ω
“ Bocah, lo kenapa..?”
“ Hah, gue..? Aman kok Nek..Gue gak kenapa-kenapa kok..”
“ Alah, gak usah bohong lo.. Minggu depan Nenek balik.
Kita ketemu. Kita cerita.”
Si Nenek mematikan handphone-nya. Bocah keriting
cungkring di seberang tertegun. Bocah ini tersenyum miris, entah kenapa
Neneknya selalu tau. Menebak mungkin, tapi tebakannya nyaris tidak pernah
meleset.
“ Jadi, lo kenapa..? Galau melulu..? Putus sama
Linda..?,” kata Nenek blak-blakan di restoran Padang favorit mereka, seminggu
setelah perbincangan jarak jauh itu. Si Nenek baru saja selesai dengan seminar
ilmiahnya, dengan muka lelah dan sedikit lapar, tapi keukeuh ingin bertemu si
bocah keriting.
“ Yah, gitulah Nek. Gue nggak bisa bohong sama lo,” kata
si bocah mengakui.
Maka Nenek mendengarkan lagi. Bocah keriting itu bertutur
sembrono tentang kisah galaunya bulan ini. Linda, gadis manis yang telah dia
pacari setahun lebih, memutuskan untuk mengakhiri hubungan, tepat setelah si
bocah sukses dengan ujian skripsinya. Dengan mata agak berkaca-kaca, bocah
keriting itu menatap Nenek.
“ Berat buat gue, Nek. Dia bilang gue orangnya cuek. Dia
nggak kuat gue tinggal buat ngurus skripsi dan persiapan S2 gue. Trus dia
dengan gampangnya bilang kalau udah nggak nyaman sama gue. Dia takut gue bakal
selingkuh. Padahal, lo tau lah, gue kalau nggak lagi sama dia, ya di kampus
kuliah, atau paling gue sama anak-anak di kos, main game online.”
Nenek mengangguk-angguk paham. Dia mengenal bocah
keriting ini dengan baik. Bocah yang lebih suka main game daripada flirting dengan perempuan. Suka
menghabiskan waktu dengan ngemil coklat, minum susu, merawat kucing, lalu
berantem dengan sumpah serapah melawan musuh tak kasat mata di layar komputer.
Bocah bermulut seenaknya, tapi jujur dan blak-blakan.
“ Mungkin nggak ada alasan lain ? Nenek nggak nuduh
sih..ada cowok lain misalnya..?,” kata Nenek, seolah sudah tahu jawabannya.
“ Ah, itulah Nek..,” si bocah tertunduk lesu.
Linda, didekati sahabat lamanya yang katanya penuh
perhatian. Mengantar kesana kemari, membawakan makanan, suka tanya kabar, dan
segudang bentuk kemanisan aduhai lain yang mungkin luput dilakukan si bocah
keriting. Nenek tertegun sejenak. Merasa prihatin pada bocah ini.
“ Sudahlah..mungkin dia bukan jodoh lo. Nenek tau, bakal
ada yang paling baik untuk lo. Yang bakal lihat lo jauh lebih dalam. Sekarang,
fokus aja. Lo punya masa depan dan cita-cita yang masih bisa diraih,” kata
Nenek berusaha membujuk si bocah.
“ Iya Nek..tapi..”
Maka si bocah keriting bertutur lagi. Menceritakan semua
keluh kesahnya. Kekecewaannya. Nenek akhirnya diam, mendengarkan. Dia tau,
bocah ini hanya perlu mengeluarkan isi hati tanpa interupsi. Nenek mencoba
mengerti, meskipun dia tak tahu bagaimana rasanya patah hati sampai seperti
ini.
“ Suatu saat, bakal ada yang lihat kebaikan lo. Percaya
deh,” kata Nenek di akhir curhat dua jam lebih bersama si bocah keriting.
Bocah keriting, menggangguk sedikit lega, lalu mengantar
Nenek pulang. Si bocah lalu pamit pada Nenek untuk meneruskan pendidikan ke
ibukota tercinta.
Ω
“ Nenek, bantuin Abang yaaa..plisss..”
Si abang yang masih berjiwa bocah, memohon pada Nenek
untuk menyelesaikan tugas kelompok yang jelimet ini. Bocah jangkung nan layu
terlihat panik kepepet deadline ujian
yang lumayan menguras energi. Lantas dia menyeret si Kakak, kekasihnya yang
setia untuk menemani persiapan ujian.
Nenek mengangguk. Lalu kembali sibuk menulis. Beberapa
jam kemudian, si bocah jangkung dan Kakak kembali, membawa makanan sesajen.
Nenek senang. Nenek sayang dengan pasangan lucu ini. Sama seperti mereka berdua
menyayangi Nenek seperti adik sendiri. Nenek berdoa, semoga jalan mereka
dimudahkan, sehingga mereka bisa bersama dan saling menjaga.
Tetapi doa Nenek mungkin tidak terjawab semestinya. Suatu
sore, beberapa tahun kemudian, dia menelepon, masih dengan nada bocahnya,
mengadu kalau dia sudah tidak lagi bersama kakak. Jujur, Nenek kecewa dalam
hati. Tapi, untuk kali ini, dia mendengarkan saja cerita si bocah jangkung
mengungkapkan keluh kesah.
“ Dia secara tersirat minta komitmen. Nenek taulah, abang
kan masih pengen sekolah. Masih pengen senang-senang. Belom lagi dia tu bossy banget. Semuanya pengen tau aja.
Pengen ngatur aja. Abang bosan ah.”
Nenek bingung mau menanggapi seperti apa. Dia tau, Kakak
menyayangi bocah ini sepenuh hati, setia hampir 7 tahun bersama, dengan segala
sifat kekanak-kanakan masing-masing. Saat itu, Nenek menahan diri untuk tidak
mengungkapkan kekhawatirannya. Kekhawatiran kalau si bocah jangkung telah
melepaskan bidadari dari genggaman. Tetapi, sekali lagi, Nenek tak mau ikut
campur, urusan hati, siapa yang tau. Maka Nenek diam saja, hanya mendengarkan
celotehan bocah jangkung berapi-api.
Sebulan kemudian, dia menelepon Nenek lagi. Mengabari
kalau sudah menemukan kekasih baru. Memperlihatkan fotonya pada Nenek, dan
begitu gembira riang. Nenek hanya ikut memberi selamat. Meskipun dalam hati,
lagi-lagi firasatnya berkata lain.
“ Pokoknya, nanti Abang kenalin Yana sama Nenek. Nenek
kabarin ya, kalau main ke Jakarta,” kata bocah jangkung via telepon.
“ Iya, nanti Nenek kabari. Abang kerja baik-baik ya.
Jangan lupa jaga kesehatan,” kata Nenek mengakhiri sambungan.
Dan bocah jangkung sibuk dengan rutinitas pekerjaannya.
Sesekali menelpon Nenek, bercerita. Nenek mulai merasa tenang, mungkin bocah
ini bakal baik-baik saja.
Ω
“ Nenek, kapan pulang ? Buka puasa bareng yok kita.”
Ada yang lain dalam suara si bocah kacamata. Nenek sama
sekali tak punya petunjuk. Terpisahkan oleh jarak dan waktu, frekuensi
kesibukan yang tak biasa, kabar pun jarang terdengar. Setelah membuat janji
akan bertemu, Nenek sedikit penasaran. Dan akhirnya, si bocah mengadu lagi.
“ Aku udah nggak sama Rani lagi, Nek,” katanya sedih.
“ Eh kenapa..?? Kok tiba-tiba..?”
“ Dia mutusin aku..nggak sanggup katanya. Nggak sanggup
lagi sama aku yang begini ini,” kata bocah kacamata lirih.
Rani, si mantan kekasih, memutuskan hubungan karena
merasa sudah tidak cocok lagi. Memukul perasaan si bocah kacamata begitu
mendalam. Terlebih lagi tiba-tiba dia melihat Rani sudah pindah ke hati yang
lain, sahabat si bocah sendiri. Rani membuat alasan, katanya. Mereka sudah
punya hubungan khusus, bahkan sebelum berpisah. Bocah ini bercerita dengan
emosi, merasa dikhianati, dan tidak mungkin bisa bersahabat lagi dengan Rani.
Nenek menghela napas, separuh lega, separuh kasihan.
Mengingat firasat anehnya yang dulu, kalau akan terjadi sesuatu. Tetapi dia
tau, dia akan menyediakan bahu dan semangat untuk bocah ini, bukan menambah
emosinya.
“ Sudahlah, kamu berhak untuk yang lebih baik. Ada
cita-cita yang mesti dikejar,” kata Nenek sejurus kemudian.
Bocah kacamata mengangguk. Sulit memang. Nenek juga tidak
sepenuhnya paham, bagaimana sebenarnya perasaan para lelaki ini. Tetapi, memang
badai pasti berlalu, beberapa tahun kemudian, bocah kacamata kembali melapor
pada Nenek. Tentang Sifa, gadis muda penuh warna yang mengisi hari-harinya
kembali.
Kali ini, Nenek tak punya hunch apa-apa. Sifa menyayangi bocah kacamatanya dengan cara yang
berbeda. Dan jujur, Nenek lega. Berharap dan berdoa dalam hati, ini yang paling
baik untuk saudaranya.
Ω
“ Nek, temenin gue dong. Banyak nih yang mau diurus.Males
gue bolak-balik sendirian.”
Si bocah keriting menghubungi. Meminta Nenek menemani
urusan birokrasi yang jelimet di institusi pendidikannya. Nenek sedikit heran
bercampur geli, mendengar sumpah serapah si bocah yang sebal setengah mati
karena ijazahnya tak kunjung diberi.
“ Jadi, lo udah move on belom..??,” Nenek bertanya ingin
tahu.
Bocah keriting yang mulai gemuk itu tertawa.
“ Move on sih udah, Nek. Cuma ya gue belom punya komitmen
ke siapa-siapa. Mau fokus kerja sama bikin usaha aja deh dulu gue.”
“ Asiikk dah. Cadas bener lo.”
“ Ya iyalah Nek. Mau gue kasih makan apa anak gadis orang
ntar. Biar deh, gue single dulu.”
“ Ah, banyak gaya lo. Paling juga ntar ngincer tante-tante
kaya,” kata Nenek sambil tertawa terbahak-bahak.
“ Kampret lo Nek. Bantuin cari napa. Siapa tau ada
mahasiswi lo yang manis-manis buat gue. Jangan ngemeng aja lo,” kata bocah
keriting sambal balas menghina.
Nenek hanya tertawa. Memang pembicaraan mereka terkesan
tak tahu etika berbahasa. Tetapi Nenek tidak peduli, bocah keriting ini sudah
jauh lebih baik. Tidak lagi sedih dan sudah memilih untuk dewasa. Nenek
berharap, akan ada wanita di luar sana yang mampu untuk berbagi dunia. Semoga,
pikirnya.
Terakhir, bocah keriting mengabari. Interview kerja sudah berhasil dilalui dengan sukses dan usaha
sudah mulai dirintis. Nenek ikut bangga, dan dia yakin, bentuk cinta yang baik
akan segera datang, jauh lebih manis dan berjalan indah.
Ω
Nenek mengecek pesan singkat di smartphone-nya, si bocah jangkung mengajak bertemu. Mau cerita
banyak katanya.
“Abang mau cerita apa..?,” kata Nenek di dalam mobil baru
si bocah. Bocah jangkung sudah sukses dengan karirnya, tetapi tiba-tiba pulang
dengan wajah tanpa semangat dan badan yang tak berisi. Menjemput Nenek di
kampus setelah jam kerja.
“ Yana, Nek. Ah, Abang mau putusin aja. Capek..”
“ Loh kok gitu..?”
“ Dia egois Nek. Nggak perhatian sama sekali. Maunya dia
aja yang didengerin.”
Lantas si bocah jangkung bercerita penuh amarah. Yana
yang katanya manja, sombong, nggak perhatian, dan selalu membanding-bandingkan
dirinya dengan sederetan pria lain. Bocah ini kecewa, merasa kalau dia hanya
dimanfaatkan untuk kepentingan remeh, sekedar traktir makan dan mengantar kesana-kemari.
Nenek berusaha mencerna ceritanya. Lalu melontarkan
kesimpulan telak ke si bocah.
“ Mungkin Abang memilih Yana hanya untuk mengisi
kekosongan setelah nggak sama Kakak. Tapi Yana nggak sama kayak Kakak. Dia
lebih sayang dirinya sendiri, Abang mungkin bukan prioritas.”
Bocah jangkung itu terdiam, seakan tertohok dengan
kebenaran yang diungkapkan Nenek. Beberapa saat kemudian, dia mengangguk
menyetujui, menghela nafas berat.
“ Entahlah, Nek. Mungkin Abang memang salah. Yang
jelas,Abang pokoknya bakal mutusin dia,” kata si bocah dengan kebulatan tekad.
Nenek hanya menatap si bocah. Mengucapkan berbagai kata
penghiburan. Lagi-lagi Nenek berharap, ada resolusi paling baik untuk bocah
ini. Dengan studi dan karir yang lancar,
semoga bocah jangkung bisa mendapatkan cinta terbaik, atau berhenti sejenak
untuk memperbaiki diri. Melihat ke dalam, akan hal-hal esensial yang mungkin
terlupakan.
Ω
Dan sekarang, Nenek selesai mengetik ceritanya untuk
sementara waktu. Balada cinta bocah-bocah di dekatnya ini. Pria-pria yang masih
berusaha menuju dewasa, bukan sekedar fisik. Nenek, bukan juga benar-benar
nenek, hanya sahabat merangkap saudari yang tersedia. Dengan telinga, kedua
tangan kecil, dan isi kepala seadanya, untuk menampung cerita. Pengalaman hidup
para bocah yang masih berlanjut, dengan warna dan rasa beraneka. Suatu saat
mungkin, Nenek akan menulis pengalaman hidupnya sendiri. Nanti, ketika sudah
ada yang benar-benar mengalihkan dunia kecilnya. Saat ketika dia sudah tak
perlu ‘mengasuh’ bocah-bocahnya lagi. Mungkin ketika sosok Kakek sudah ada di
sisi.
No comments:
Post a Comment