Selamat menikmati ^^
Perbincangan
di Pemakaman
Aku menatap nanar di kejauhan.
Sedikit heran kenapa aku berada disini. Duduk sendirian melihat horizon tak
berbatas dari tepian pantai yang tumben-tumbennya sepi. Jelas saja, cuaca siang
itu tidak bersahabat. Langit begitu gelap, dengan sesekali gemuruh halilintar
terdengar. Mungkin hujan akan turun. Aku sudah bisa mencium bau hujan yang
menyenangkan itu. Namun aku tidak beranjak. Tetap duduk macam batu karang tua
di sudut pantai yang terlupakan.
Sepulang kerja siang itu, perasaanku
campur aduk. Biasalah, masalah hidup, kegalauan hati, dan hal-hal yang harusnya
aku abaikan, malah seenaknya muncul ke permukaan. Maka aku memilih pergi ke
pantai sejenak. Melihat hampa, deburan ombak yang selalu mengalir menghantam
tepian, tidak peduli jika dirinya hancur jadi buih. Dia selalu kembali dengan
ikhlas dan pasrah. Mungkin takdir menempatkannya demikian, dan sang ombak
merasa tak perlu buang-buang energi untuk protes.
Berbagai lintas memori acak dan
absurd muncul dalam kepalaku. Mempertanyakan semua hal yang telah aku lalui
selama ini. Mengutuki diri sendiri dalam diam. Kenapa begini, kenapa begitu.
Ingin rasanya aku masuk saja ke dalam salah satu cerita favorit dari novel yang
aku baca selama ini. Hidup dengan penuh keajaiban dan kembali jadi anak-anak
selamanya. Dongeng yang hanya dialami oleh si bocah Peter[1] seorang.
Lalu sesuatu, tepatnya seseorang
muncul begitu saja. Dengan bunyi aneh yang magis, menyeret langkahnya ke
arahku. Aku mengalihkan tatapanku dari horizon. Dan disana, berdirilah seorang
anak usia belasan, berpakaian ala Mesir kuno dengan sandal kulit sederhana.
Ptolemy[2], kata memoriku. Logikaku
protes ‘ Halusinasi, ayo pulang. Kau sudah mulai sakit’. Anehnya aku tetap
terduduk disana. Menatap heran si bocah yang kuanggap perwujudan Ptolemy itu.
Dia tersenyum jahil padaku, sorot mata sok tau yang ditujukan untukku seorang.
“ Hai,” katanya tenang. Lantas duduk
selonjoran di sampingku. Dia berbau seperti kertas usang berdebu. Kuno dan
aneh. Aku menatapnya tak percaya. Tidak sanggup berkata apa-apa.
“ Kau tak sopan sekali. Tak menjawab
sapaanku. Aku ini kan tokoh idolamu,” katanya sedikit merajuk.
“ Eh. H-hai,” kataku tergagap.
“ Hahahahahaha. Tak usah kaget
begitu. Aku bukan mau menelanmu bulat-bulat kali ini. Meskipun aku ingin, tapi
aku dibebankan tugas yang lain. Masterku memintamu ikut. Anggap saja undangan
minum teh menyenangkan.”
Aku mengerjapkan mata. Oke, ini
nyata, kataku sambal mencubit diri sendiri dan merasakan sakitnya.
“Master ?,” tanyaku bingung.
“Iya, lamban. Masterku. Si Stroud
keparat itu,” katanya sarkastis.
“ Stroud ? Jonathan Stroud ?,”
tanyaku tak percaya.
“ Iya nona. Si Stroud emosian itu.
Yang seenaknya menarikku dari kebebasan yang indah. Dia menggambar pentacle lagi, sempurna dengan
lilin-lilin khusus, yang membuatku terikat padanya,” katanya sebal.
“ Tapi kau kan tau nama aslinya. Kau
semestinya bisa melawannya,” tanyaku dengan mengabaikan kejadian ajaib ini.
“ Ahahahahaaha. Awalnya kupikir
memang demikian. Itu bukan nama aslinya. Kalian dan seluruh dunia tertipu.
Omong-omong, kita sudahi saja percakapan tak berguna ini. Aku punya tenggat
waktu. Pria itu nggak bakal toleransi
meskipun aku mesti terbang beribu-ribu mil ke tanahmu yang tropis panas
menyebalkan ini. Setidaknya disana kan dingin. Mana dia peduli aku mesti
melawan berbagai jenis dedemit lokal penjaga perbatasan negaramu untuk sampai
kesini. Lumayanlah, asupan energi yang bikin kenyang. Tapi aku letih, aku mau
kembali dan berurusan dengan geng Penangkap Hantu[3] favoritnya yang baru,”
katanya sambil menarik tanganku berdiri. Tak peduli aku setuju atau tidak untuk
pergi. Genggamannya kuat mengerikan. Sesaat aku yakin lenganku bakal biru
gara-gara tarikannya. Dan rasanya percuma melawan. Dalam hatiku, aku pun ingin
menghilang sejenak. Kalau si bocah Ptolemy alias Bartimaeus ini memaksaku
pergi, biarlah, toh dunia takkan peduli.
Tiba-tiba terdengar gemuruh halilintar
memekakkan telinga. Selanjutnya, seolah tidak bisa lebih aneh lagi, cahaya luar
biasa terang muncul di lautan, memperlihatkan kapal aneh berkepala naga, iya
naga, menyemburkan api pula. Terperangah, aku terpaku di pinggir pantai. Si jin
mendesah enggan di sebelahku.
Suara yang sepertinya diperbesar
oleh megafon terdengar mendekat.
“ BOCAH MESIR. JANGAN SEENAKNYA
MENGACAUKAN MISIKU..!!!”
Si Ptolemy menggerutu letih.
“ Kau berdiri saja disini. Diam dan
perhatikan. Jangan dekat-dekat,” katanya melepas tanganku.
Si Ptolemy berubah wujud. Sepasang sayap
hitam besar muncul begitu saja di punggungnya. Sosoknya pun berubah, menjadi
campuran manusia dengan setengah tubuh dari pinggang hingga kaki seperti elang.
Kedua tangannya kini memancarkan bola api.
“ Anak ingusan kurang ajar !! Kesini
kalau berani Valdez[4]
!! Akan kutelan bulat-bulat kapal brengsekmu !!. Kau bisa minta Dewa Barang
Rongsokan[5] itu sekalian berhadapan
denganku !! ”
Aku menampar diri sendiri. Ini nyata
atau tidak nyata, aku luar biasa tidak paham. Sekarang tokoh-tokoh dalam novel
fantasi favoritku bermunculan di sini tanpa pertanda. Pakai berantem pula.
“ HOI NONA YANG DISANA. TUNGGU
SEBENTAR. KITA NAIK KAPAL SAJA. LUPAKAN JIN TUA INI. OM RICK MAU KETEMU..!!,”
teriak siluet remaja keriting belasan tahun dengan megafon ungunya. Bartimaeus
terkekeh tak mau kalah.
Dan kapalnya meliuk kesana kemari.
Kepala naganya ikut menyemburkan api melawan lemparan bola api dari Ptolemy.
Sesaat kemudian, Leo Valdez (Tuhan, really
???) juga mulai ikutan melempar bola api dari kedua tangannya.
Takjub, aku menatap pertempuran di
lautan itu. Tersadar, aku menatap sekeliling. Kabut. Aku sendirian. Jelas saja
sedunia sepertinya tidak sadar kekacauan apa yang sedang terjadi saat ini. Aku
tak sanggup mengalihkan pandanganku pada pertempuran api di depan. Tanpa
kusadari, dunia bergetar, dan terdengar suara seperti kertas dirobek di
sebelahku.
“ Berisik banget ya.”
Seseorang mengetuk bahuku. Aku
menoleh, melihat cowok dengan dandanan futuristik tak lazim, seperti di film
Star Trek, tersenyum padaku.
“ Yuk, kita pergi aja. Ngapain
nonton jin barbar dan ABG keriting sok pamer kekuatan,” katanya. Dia menggamit
lenganku. Seenaknya merobek udara, membuka portal entah apa dan menyeretku
masuk.
“ DEMI JENGGOT MERLIN !!! HACKER !!”
Aku menoleh ke belakang. Sekitar
tiga detik sebelum menghilang, terlihat tampilan sesosok manusia ekstra besar dengan
rambut dan jenggot awut-awutan naik motor terbang menuju ke arahku. Wajahnya
gusar dan kelihatan kecewa.
Portal menutup. Si ‘Hacker’ masih
menggandengku melewati realitas warna-warni tidak jelas. Mirip struktur lorong
waktu dari mesin waktu Doraemon.
“ Hai, aku Joey. Joey Hacker[6]. Salam kenal.”
Oh God, apalagi ini. Pelintas dunia parallel ini menculikku seenaknya.
Aku bingung mau berkata apa.
“ Santai aja. Paling nanti muntah
kalau sudah sampai. Si Om sudah menunggu,” katanya ringan.
Aku tak paham, realitas waktu dan
ruang macam apa yang kulalui. Tiba-tiba saja portal membuka. Kami mendarat. Aku
langsung muntah hebat. Si Joey terlihat prihatin, sambil menepuk-nepuk
pundakku, dan menyodorkan tissue.
“ Terima kasih,” kataku setelah berhasil
berhenti muntah.
Lalu aku menatap ke sekeliling.
“ Ini dimana ?”
“ Err..nggak tau juga sih ya. Aku
cuma diberikan petunjuk koordinat,” katanya sambil menggaruk kepala.
“ Yuk. Aku ada janji nge-date di
semesta yang lain. Nggak punya banyak waktu.”
Dia mengajakku berjalan ke depan.
Perlahan terlihat suasana berkabut dan malam yang mencekam. Beberapa batu nisan
tampak dari kejauhan. Di langit, bulan purnama besar menggantung memberikan
penerangan remang-remang di jalan setapak menuju gerbang. Aku sedikit bergidik.
Jelas-jelas ini pemakaman.
Di gerbang makam, sesosok pria
bertubuh tinggi besar berdiri menunggu. Begitu sampai di gerbang, Joey menepuk
pundak si pria dengan santai.
“ Hai Shadow-man,” katanya ceria.
“ Kau terlambat Hacker,” geramnya.
Aku melihat dibalik topi si pria bertubuh besar itu, wajahnya sendu dan
berwibawa. Aku kenal pria ini. Tokoh dalam buku lagi, tentu saja.
“ Nona ini kayaknya diperebutkan.
Kau nggak tahu, Man. Demigod narsis
dan jin arab sedang bertarung api super buat rebutan mengajaknya ketemu Tuan
mereka masing-masing. Aku nyaris gagal, kalau missed sedikit saja, dia mungkin sudah naik motor sama si Rubeus
Hagrid[7]. Untung timing-ku pas,” celoteh Joey.
“ Tetap saja terlambat.”
“ Sesukamulah. Santai sedikit dong.
Okelah, antar dia ke si Om ya. Aku mau pergi dulu. Bye Shadow, bye Nona,”
kata Joey sambil mengedip. Udara kembali dirobek, portal muncul, dan plop ! Dia
menghilang begitu saja.
Tanpa bicara, pria yang dipanggil
Shadow[8] ini berjalan ke dalam
gerbang. Aku mengikuti. Udara sekitar anehnya hangat. Kami melewati banyak
makam-makam tua. Patung-patung malaikat rusak dan usang. Herannya, aku tidak
takut sama sekali.
“ Maaf, aku..,” kataku memberanikan
diri.
Shadow tersenyum menenangkan.
“ Aku tau, kau punya banyak
pertanyaan. Tapi nanti. Temuilah dia. Nanti kau bisa minta semua penjelasan.
Aku hanya berkewajiban mengantarkanmu dengan selamat kehadapannya.”
Luar biasa bingung rasanya. Tapi aku
tak punya kata-kata lagi. Shadow membawaku ke sebuah taman tua, dengan pohon
besar menaungi. Tampak batu-batu seukuran kursi bertebaran. Di bawah pohon,
duduk seorang pria. Kurus tinggi tampilannya.
“ Selamat datang,” katanya berjalan
ke arahku. Dia menyodorkan tangannya menjabatku.
Pria kurus dengan rambut agak
gondrong bercampur uban. Dengan jins dan blazer gelap seadanya. Aku tak mungkin
salah. Pria ini, yang buku-bukunya ku koleksi, yang kata-katanya kunikmati.
Neil Gaiman, asli. Aku hanya bisa ternganga tak percaya.
Dia
mengajakku duduk berhadapan. Tanpa kusadari, Shadow telah menghilang.
“
Apa kabar ? Silakan duduk,” katanya ramah sambil mempersilakanku duduk di
bangku batu terdekat.
“
Ba-baik,” kataku gagap. Gaiman !! Neil Gaiman !! Benakku berteriak histeris. Ya
Tuhan, aku ngobrol dengan pria ini !! Sekarang !
“
Sebentar,” katanya sambil menjentikkan jari.
Entah
darimana asalnya, lampion-lampion putih menyala. Tampak kelebatan bayang-bayang
keperakan berkeliling di sekitar kami. Jelas bukan manusia. Mereka berseliweran
santai,seolah tidak terganggu dengan kehadiran kami.
“
Jangan takut. Mereka keluarga Bod[9]. Aku meminjam tempat ini
sebentar. Tenang dan damai untuk bercerita panjang,” kata Gaiman tenang.
Aku
mengangguk.
“
Jadi, kau menyukai cerita-ceritaku ya ?”
Aku
mengangguk lagi, masih belum bisa bicara.
“
Ahahaha. Tenanglah. Aku tau ini tak masuk akal. Mungkin saja ini hanya ada
dalam kepalamu. Tapi bukan berarti ini tidak nyata. Kau tentu ingat Albus
Dumbledore pernah bilang begitu,” katanya.
Aku
masih saja terdiam.
“
Aku selalu suka Prof. Dumbledore, untung saja aku tak kalah saing kali ini.
Mungkin Rowling sedang mengamuk karena kalah cepat dariku untuk mendapatkanmu.”
“
Memangnya saya salah apa Sir ?,”
tanyaku akhirnya.
Gaiman
tersenyum lagi.
“
Kau menyukai buku-buku. Melarikan diri ke dalamnya. Bahkan ada sebagian dari
dirimu yang ingin pindah dunia ke cerita di dalam buku. Sebegitu mengerikankah
dunia nyata buatmu ?,” tanyanya menyelidik.
“
Jadi itu kesalahan, Sir ?”
Gaiman
menggeleng pelan.
“
Kami para penulis, membuat dunia dalam cerita-cerita kami. Mungkin untuk
melarikan diri, mungkin untuk mengobati luka hati, mungkin untuk memenuhi apa
yang disebut sebagai passion bagi
orang kebanyakan.
Kau
tentu paham dengan baik, bagaimana kami seperti Kreator maha sempurna untuk
cerita-cerita kami. Membuat jutaan pembaca terpesona. Histeris, sedih, bahagia,
meneteskan airmata, atau tak bisa move on
setelah cerita berakhir. Tetapi, kau harus tau. Kami tak sesempurna itu.
Ada masa ketika kata-kata tak bisa dituliskan begitu saja, semua menghilang
cepat ditelan kabut dalam kepala. Tetapi, kami tetap menulis, apa saja, apapun
bentuknya.
Menulis
adalah terapi bagiku. Memenuhi ruang-ruang kosong di dalam hati. Mengungkapkan
yang sulit dimengerti dengan hanya sekedar kata. Aku tau, kau menyukai ceritaku
dengan teramat sangat. Aku berterima kasih untuk itu. Tapi, kau punya cerita
sendiri, Nona,” jelasnya panjang lebar.
Aku
mencerna kata-katanya.
“
Mungkin saya lelah, Sir. Lelah dengan
kesendirian berkepanjangan. Bosan dengan rutinitas. Letih dengan segala macam
topeng yang mesti dihadapi tiap hari,” ungkapku sejurus kemudian.
Gaiman
terkekeh pelan.
“
Kita semua memakai beraneka topeng masing-masing. Mungkin sampai kita mati.
Tapi, nikmatilah prosesnya, belajarlah menghadapinya. Dunia ini penuh
kepura-puraan. Hanya Tuhan yang tau esensi pribadi di dalam diri.”
Aku
terdiam.
“
Santai saja. Aku disini bukan untuk menghakimimu.Kita sedang ngobrol enak
tentang kehidupan,” kata Gaiman enteng.
Aku
tersenyum tipis. Di hari yang aneh ini, akhirnya aku menemukan sedikit
ketenangan.
“
Anyway, dari cerita-ceritaku, yang
mana favoritmu sejauh ini ?,” tanyanya ingin tahu.
Aku
berpikir sejenak.
“
American Gods,” jawabku.
Gaiman
tersenyum.
“
Boleh kutahu mengapa ?”
“
Perjalanan. Shadow menjalani kehidupannya tanpa banyak protes. Meskipun dia
terpuruk begitu dalam di semua aspek kehidupan. Tapi dia menjalaninya, begitu
saja. Kadang, saya ingin begitu, Sir.
Tidak banyak maunya pada dunia fana ini,” kataku setengah curhat.
“
Banyak di antara kita yang sulit menerima. Kadang kita memaksakan diri untuk
keluar dari batas-batas yang tak pernah ada. Lalu kembali menyalahkan semua
yang terjadi pada kita. Kita menolak belajar. Menolak memahami indahnya suatu
proses penerimaan. Hingga akhirnya menyambut penerimaan itu pun, kita tak sudi.
Padahal, penerimaan adalah awal dari penyembuhan. Sebegitu berkuasanya pun
waktu, selama apapun detik yang kau habiskan, jika kau tidak menerima luka, kau
takkan pernah merasakan leganya kesembuhan.”
“
Berarti pilihanku tepat meminta Shadow mengantarmu.”
Aku
menggangguk.
Kemudian
kami berbincang-bincang lagi. Tentang novel-novelnya, kehamilan istrinya, akan
seperti apa kelanjutan petualangan penculikku, si Joey Hacker, dan cerita
masalah-masalah pribadiku yang berwarna-warni. Aku tak sangka bisa bertukar
cerita dengan sang pendongeng legendaris ini.
Gaiman
menjentikkan jari lagi. Muncul sosok kabut memadat membawa sesuatu yang seperti
sepoci teh, dua cangkir keramik aneh, dan biskuit.
“
Teh hijau, biskuit jahe. Silakan.”
Aku
menerima cangkir teh, mencicipinya sedikit.
“
Terima kasih. Teh-nya enak.”
Gaiman
terkekeh.
“
Aku meminta daun tehnya dari Prof. Longbottom[10]. Herbologinya sukses
sekali sekarang. Hogwarts sudah mulai mengimpor teh hijau terbaik ke dunia
Muggle. Akibatnya teh hijau jadi trend lagi belakangan.”
Aku
mencerna fakta ini dengan senang.
“
Sayangnya waktu kita sudah mau habis. Aku punya janji dengan tiga penulis lain
yang kukalahkan,” kata Gaiman puas.
“
Saya tidak tau mesti berkata apa, Sir.
Ini tidak nyata bagi saya.”
Gaiman
tersenyum.
“
Mungkin memang tidak. Tapi kau takkan berhenti membaca, kan !?”
“
Saya jamin itu, Sir.”
“
Belajarlah menulis. Itu akan membantu. Bukan untuk ketenaran. Bukan untuk
pengakuan. Murni, untuk dirimu sendiri,” katanya mendalam.
Gaiman
menjentikkan jarinya, Shadow muncul kembali.
“
Shadow, tolong ya.”
Shadow
mengangguk.
Satu
pertanyaan terakhir,pikirku.
“
Sir, maaf. Mengapa Mr.Riordan,
Mr.Stroud, dan Mrs.Rowling juga ingin bertemu saya ? Saya tak mengerti,”
tanyaku penasaran.
“
Maybe, story material. Atau mereka
memang ingin tahu apa yang aku rencanakan. Siapa yang tahu !? Tenang, Bartimaeus
dan Leo Valdez tidak saling membunuh. Mungkin sekarang mereka sedang memanggang
gurita di tengah lautan,” jawab Gaiman dengan jenaka.
Gaiman
berdiri, melambai, lalu menghilang. Tinggal aku dan Shadow.
“
Pulang ? Atau ke pantai ?,” tanyanya kemudian.
“
Pulang,” jawabku mantap.
Kami
berjalan ke luar pemakaman, melewati gerbang, masuk ke kabut beraroma kayu
manis, pekat dan kebiruan. Lalu gelap. Gelap total.
Nyanyian sayup menyadarkanku. Aku
sendirian, di dalam mobil, mesinnya menyala. Kalap, aku melihat ke sekeliling.
Malam telah muncul, bulan yang besar masih bersinar. Ternyata aku di depan
rumah.
Terheran-heran sendiri, aku
mematikan mesin mobil. Mengambil tas ku, dan melihat satu eksemplar American
Gods tergeletak di jok. Kuraih buku itu, merasakan butir-butir pasir menyentuh
tanganku. Kubersihkan sekenanya, lalu semakin heran ketika menemukan ujung
halaman-halaman awalnya agak terbakar. Mengabaikan ini, aku beranjak ke dalam
rumah
Mungkin cuma mimpi, mungkin juga
tidak. Dan mungkin, aku akan mengerti, hidup bukan hanya sekedar hidup. Ada
baiknya aku mulai belajar menulis ceritaku kembali. Untuk diriku sendiri.
[1]
Peter Pan, seorang anak yang tidak pernah jadi dewasa dalam cerita klasik karya
JM.Barrie
[2]
Ptolemy alias Ptolomeus adalah salah satu tokoh bangsawan Mesir Kuno yang
sosoknya sering dipakai oleh Jin Bartimaeus, dalam seri Bartimaeus Trilogi
karya Jonathan Stroud
[3]
Geng Penangkap Hantu yang dimaksud disini adalah Agensi Pembasmi Hantu di
London yang terdiri dari Anthony, Lucy, dan George dalam seri Lockwood&Co.
karya Jonathan Stroud
[4]
Leo Valdez, salah satu tokoh remaja dalam seri Heroes of Olympus karya Rick
Riordan, merupakan seorang Demigod (peranakan manusia dan dewa mitologi
Yunani-Romawi)
[5]
Dewa yang dimaksud disini adalah Hephaestus, salah satu dewa dari mitologi
Yunani yang ahli dalam perbengkelan dan memperbaiki serta menemukan
barang-barang baru (masih berdasarkan seri Heroes of Olympus dan Percy Jackson
karya Rick Riordan)
[6]
Joey Hacker adalah tokoh utama dalam novel seri Interworld karya Neil Gaiman
dan Michael Reeves, yang menceritakan mengenai semesta parallel dan
penjelajahnya, serta perang epik di dalamnya
[7]
Rubeus Hagrid adalah tokoh manusia setengah raksasa yang berprofesi sebagai
salah satu guru dan pengawas binatang liar di Sekolah Sihir Hogwarts dalam seri
Harry Potter karya JK.Rowling
[8]
Shadow adalah tokoh utama dalam novel American Gods (Dewa-dewa Amerika) karya
Neil Gaiman, yang menceritakan mengenai pertarungan antara dewa generasi lama
dan baru dimana Shadow terlibat di dalamnya sebagai manusia biasa
[9]
Bod, alias Nobody Owens adalah anak laki-laki tokoh utama dalam novel The
Graveyard Book (Cerita dari Pemakaman) karya Neil Gaiman
[10]
Prof.Neville Longbottom, guru salah satu mata pelajaran di Sekolah Sihir
Hogwarts, dalam akhir seri Harry Potter, Nevillesebagai salah satu sahabat
Harry akhirnya berhasil menjadi professor di sekolah tersebut
No comments:
Post a Comment