“ Kamu itu,
cocoknya jadi istri, bukan cuma jadi pacar.”
Aku
tersenyum. Dengan hati berbunga-bunga, tentu saja, meskipun perkataan itu
terucap nyaris 7 tahun yang lalu. Mungkin kamu nggak ingat lagi. Sudah
terpendam lama dan dilupakan. Di sela-sela petualangan cintamu yang beraneka
itu. Tapi, kamu harus tau, wanita mengingat dengan sangat baik, apalagi hal-hal
yang sedemikian menancap di hati lemahnya.
Dulu kamu
nyaris tidak terlihat buatku, sejak di sekolah menengah, kita hampir nggak
bersinggungan. Meskipun selama tiga tahun di satu kelas yang sama, kita tak
banyak bicara. Dunia kamu, dunia aku, itu beda. Aku maunya dapat nilai terbaik,
ujian sukses, dan prestasi oke. Kamu maunya main, lulus seadanya, terlihat
tanpa ambisi.
Tapi kamu
mengejutkan aku. Itu kali pertama kita pulang bareng, berdua saja, menunggu
angkot yang sama di depan gerbang sekolah. Aku nggak pernah berpikir kamu bakal
bilang begitu padaku.
“ Mau nggak
kamu jadi pacar aku ?”
Aku tertawa,
kaget dalam hati, senang sedikit.
“ Becanda
ih. Aneh-aneh aja.”
“ Nggak. Aku
serius.”
Tentu saja
aku menolak. Aku, overthinking. Aku
nggak mau ada distraksi yang mengganggu sekolah. Aku nggak yakin dengan kamu.
Dan aku sudah tau, kamu baru saja ditolak si gadis ayu teman sekelas kita,
sehari yang lalu. Aku berburuk sangka, tak mau dijadikan pilihan kedua. Ngeri
ya ? Pikiran-pikiranku kadang begitu.
Hidup lalu
mulai serius. Aku kuliah, kamu juga. Kita satu Universitas, beda fakultas. Aku
mulai sibuk dengan hidupku, dengan dunia mahasiswa yang banyak warnanya. Tapi
kamu, nggak pernah lupa aku. Kamu telepon, ngajak jalan. Dan kamu dengan mantap
menebak aku lagi naksir siapa saat itu. Kamu membaca aku, kayak buku terbuka di
atas meja. Aku bertahan, tarik ulur. Kamu mungkin juga sama.
“ Kamu mau
nggak jadi pacar aku ?”
“
Tergantung, kalau kamu serius, ayuk. Saat ini juga. Biar jelas maunya kamu apa
sama aku.”
Aku
menantang kamu ketika itu. Padahal, tanganku gemetaran memegang handphone, dan
jantungku tak karuan. Egoku yang bertahan. Kamu lalu tertawa. Menarik lagi
kata-katamu.
“Kamu itu,
cocoknya jadi istri, bukan cuma jadi pacar. Hmm..ini aku serius. Kalau 7 tahun
lagi dari sekarang, kamu dan aku sama-sama sendiri, aku bakal ngajuin proposal
ke kamu. Aku akan minta kamu buat jadi istri aku.”
Aku
mengiyakan, sambil tertawa. Sekali lagi aku berbohong, aku senang dengan
penghargaan itu, dengan janji yang kamu tawarkan. Aku mengingatnya, sangat baik
malah.
Lalu kamu
menghilang. Aku sibuk. Sibuk kuliah, belajar jadi aktivis kampus, dan suka
dengan yang lain, meskipun tak pernah aku ungkapkan. Dia itu sahabatku, aku
berada bersamanya selalu, saat dia perlu. Hingga membantu menjadi mak comblang
antara dia dan gadis yang disukainya. Aku memang begitu, paling pandai
berpura-pura, kemampuan yang luar biasa. Kemudian aku dengar juga, kamu sudah
bersama seorang wanita, serius sepertinya, tidak sekedar flirting. Kamu bertahan bersamanya, sehingga aku juga berusaha.
Berusaha untuk tidak mengulangi ingatan tentang kamu.
Setelah
bencana menimpa kota kita, aku merasa menemukan kasih sayang baru. Dia
sahabatku yang lain, tapi aku merasa kami bukan sekedar sahabat. Kata
orang-orang sih, teman tapi mesra. Aku nggak menyangkal. Hampir setengah tahun
aku dekat dengan kadar berbeda bersamanya. Pada akhirnya, aku nggak sanggup.
Aku bertanya, dia menganggapku sebagai apa. Aku bertepuk sebelah tangan ternyata.
Itu menghancurkanku. Sangat.
Mungkin
Tuhan punya skenario yang tidak biasa untukku. Di hari ulang tahunku yang ke
22, kamu menelepon, mengucapkan selamat ulang tahun, lalu dengan jahatnya,
menebak kegundahan dalam suaraku. Sejak itu, kamu kembali. Mengawalku via
suara, menenangkan hatiku, dan aku tak menolak. Aku rapuh, kamu tau itu dengan
jelas.
“ Kamu nggak
usah berpura-pura kuat di depan aku.”
Tapi,
kekasihmu mengabari aku. Bilang kalian sedang break, dan dia dengan putus asa bertanya padaku harus bagaimana,
dia sayang padamu. Dia tau, aku ini sahabatmu, teman satu sekolahmu dulu. Aku
bingung. Aku tau, aku sudah bermain api sekarang.
Kamu nggak
pergi. Kamu terus ada.
“ Asal kamu
tau, dari dulu, aku udah suka sama kamu. Kamu boleh anggap aku tong sampah
kamu. Buat mendengarkan semua cerita kamu. Buat jadi sandaran kamu. Aku nelpon
kamu tiap hari karena aku sayang sama kamu. Nggak berubah dari dulu. Aku tau
kamu itu rapuh. Cuma kamu pura-pura kuat di depan semua orang. Makanya aku
nggak pernah bisa ninggalin kamu.”
Kamu membaca
aku lagi. Kamu mengikat perasaanku dengan kata-kata itu. Maka, aku jalani
dengan kamu, tanpa status, cukup perhatian dan sayang saja. Tetapi, lagi-lagi,
logikaku yang waras berbicara. Saat itu, aku ingat, setelah malam Takbiran,
kamu meneleponku, mengucapkan selamat Hari Raya, dan merencanakan bertemu,
menghabiskan hari berdua sebelum liburanku usai. Aku mengiya-kan. Senang luar
biasa.
Mungkin
logikaku atau apalah namanya, punya kendali yang jauh lebih baik atas diriku
saat itu. Tiba-tiba saja, kesadaran menghantamku. Kamu masih milik dia, dan dia
masih menunggu kepastian darimu. Maka aku menelponmu lagi.
“ Uda,
maafin aku. Bukan karena aku nggak sayang. Bukan karena aku nggak suka. Tapi,
sebelum ini terlalu jauh, sebelum ini terlalu menyakitkan, buat aku, buat uda,
dan buat dia, kita harus berhenti.”
Singkatnya
begitu. Ah, hebat sekali kan aku. Dan kamu setuju. Padahal, ada bagian dari
diriku yang berharap kamu tetap maju, memilih untuk memperjuangkan aku, lebih
dari ini.
“ Baiklah,
kalau itu yang kamu mau. Berarti kita nggak usah kontak lagi. Jaga diri kamu
baik-baik. Rajin kuliahnya, cepat lulus. Dan jangan menangis.”
Kamu menutup
telepon. Aku menangis sesenggukan semalaman. Pertama aku kecewa karena pria
itu, lalu aku melepaskan kamu. Logikaku mengingatkan : ‘Aku takut Uda, takut
karma. Kamu masih milik wanita itu. Aku tak berani melanjutkan api ini lagi.’
Kadang aku ingin menarik keluar si logika dan menghajarnya habis-habisan.
Mengapa aku melakukan ini padaku ? Bencana perasaan beruntun buatku.
Dan hidupku
jalan terus. Tetapi hatiku nyaris beku. Aku membangun dinding untuk melindungi
diri sendiri. Mati-matian bertahan sendirian. Tidak membuka hati lagi. Tidak
membiarkan bunga-bunga bermekaran di dalam. Tidak mau mencoba lagi. Aku hanya
peduli, peduli saja. Pada mereka, pada lawan jenis yang dekat di sekitarku. Dan
jadilah aku, sahabat baik, kekasih tidak ada. Tidak sampai hari ini.
Kamu tau,
aku tidak mengerti kenapa selalu begini. Kamu selalu muncul kembali. Kali itu saat
aku merantau sendirian. Kebetulan aku bekerja di tempat terpencil, beberapa jam
dari kotamu. Entah darimana, kamu tau aku disana. Kamu mengomeliku, kenapa
tidak mengabari kamu. Aku tertawa. Kamu seenaknya, sangat seenaknya. Tetapi
kamu tidak membacaku seperti dulu. Aku heran, namun kamu tak berubah. Tetap
memperhatikan aku, mengecek rutin nyaris tiap hari lewat suara.
Stress pekerjaan membuat otakku
mengendur. Lalu aku memutuskan takkan lari lagi. Kali ini perasaanku menang.
Aku memintamu untuk bertemu, di hari libur kerjaku. Aku akan mencoba, mencoba
sebatas mana hati ini bersuara untuk kamu.
Tetapi kamu
menghindar. Kamu tidak ingin bertemu aku dengan berbagai alasan. Pemahaman
menghantamku lagi. Kamu tidak ingin aku. Aku kecewa, dan aku berlari pergi,
mencari pekerjaan baru dengan level kesibukan tak biasa. Distraksi.
Mungkin aku
memang rapuh. Gampang menemukan distraksi lain. Perasaan-perasaan, perhatian
lain yang datang buatku. Itu tidak cukup, sejatinya aku tau. Tidak ada yang
serius mendekati aku. Meskipun kali ini aku sudah membuka diriku. Tembok Berlin
itu sudah berpintu. Walau teralinya masih kokoh, dan kuncinya masih tersimpan.
Tetapi jendelanya transparan, hingga yang lain bisa mengintip isi hatiku.
Tuhan punya
rencana. Aku selalu berbaik sangka. Berusaha tepatnya. Berharap ada seorang nerd yang berani menghancurkan pintu dan
temboknya sekalian, sekaligus membawaku keluar dan tidak akan meninggalkanku
sendirian. Kenyataannya, kegagalan demi
kegagalan selalu aku temui, tapi aku tau, ada yang baik untukku. Mungkin.
Sedangkan kamu, sudah berganti
kekasih, dengan yang lebih baik mungkin. Aku selalu tau. Silent stalker, anggaplah demikian. Aku tau, pekerjaanmu, karirmu.
Tapi aku tak pernah tau, isi hatimu yang paling jujur, entah ada aku atau tidak.
Lalu aku
dekat dengan sahabat baikmu. Itu cerita yang panjang. Dan dia juga menempati
posisi yang aneh di sudut hatiku. Awalnya biasa, simply caring. Aku tak mengerti, tapi terlalu lelah untuk mencari
tahu. Lantas, setelah sekian lama tak berkabar berita, kamu bertanya padaku
tentang dia. Aku tidak mau menjawab. Aku penjaga rahasianya. Dengan manisnya
aku berkilah, berkelit dengan kata-kata, nyaris lebih lihai daripada kamu. Dan
aku kembali menantangmu. Mengapa malah bertanya tentang dirinya, bukan tentang
aku ?
Kamu
tertawa.
“ Aku masih
ingat kok. November tahun ini kan, tepat 7 tahun lalu. Kita lihat akan seperti
apa jadinya.”
Aku
tersenyum. Tersentuh karena kamu ingat. Mungkin aku berharap. Mungkin juga
tidak. Aku masih berpura-pura kuat, tentu saja. Tapi, aku tidak selemah dulu.
Mari kita sama-sama menunggu.
People change, maybe me too. Right now, I’m
waiting. And if it’s just a game, let it be. The game is still ON. And we’re
both playing, not just you.
Noted
ReplyDelete