January 31, 2021

Perempuan Rampasan Perang (Trilogi Rara Mendut - YB Mangunwijaya)

 "...tetapi wanita bukan cuma sawah-sawah dan pria bukan cuma lumbung benih...penyatuan panjalu dan pawestri punya makna yang lebih dalam dan lebih serasi dengan martabat kemanusiaan kita...sebab bila soalnya hanya bersetubuh saja, monyet dan babi pun bisa..."

- Pangeran Selarong -

 

Pertempuran Sultan Agung dan Gubernur VOC-Jan Pieterzoon Coen oleh Sindudarsono Sudjojono


Menuntaskan sesi membaca di bulan pertama 2021 yang tampaknya keberatan awan mendung musibah dan masalah iklim, saya berhasil membabat sebuah trilogi fiksi sejarah yang cukup legendaris berjudul RARA MENDUT - GENDUK DUKU - LUSI LINDRI buah karya mendiang romo YB Mangunwijaya (beliau berpulang sudah lebih dua dekade lalu). Kisah aslinya sendiri pernah menghiasi Kompas dalam bentuk cerita bersambung selama 1982-1987. Saya membeli edisi cetakan 2019 dari Gramedia Pustaka Utama yang sampulnya bagus dan layak koleksi.

Tumben amat bacaannya? Ahahaha, paska bookhangover parah di awal tahun, saya bingung mau baca apa. Di sela-sela prokrastinasi, saya mengulik kembali timbunan saya dan menemukan harta karun ini. Trilogi pahit ini saya pikir akan jadi semacam refreshment menarik, dan walhasil saya tidak dikecewakan. Trilogi ini berhasil menyakiti saya dengan baik, menggoyang perasaan dengan paripurna, dan membuat saya bersyukur hidup di jaman now. Jaman di mana perempuan punya pilihan lebih banyak dan dapat bersuara lebih baik di sela-sela tirani patriarki modern.

Saya harus mengakui dengan sangat rendah diri bahwa pengetahuan sejarah saya seperti ember bocor. Ketika membaca kisah yang berlatar di Kesultanan Mataram (1586-1755) ini, saya berkali-kali mengecek si mbah G, dan sangat terbantu dengan catatan kaki dari romo YB. Sebelum mengupas plot dan penokohan, saya ungkapkan rasa hormat saya pada cara bertutur mendiang romo YB yang apik dan mampu membawa saya pindah lokasi. Meskipun banyak bahasa Jawa dan istilah-istilah, hal ini tidak mengurangi perasaan puas saat membacanya. Karya beliau yang saya baca sebelumnya berjudul BURUNG-BURUNG MANYAR (1981)  yang mengambil latar belakang masa awal kemerdekaan (juga berkesan tentunya).

Buku pertama, RARA MENDUT, mengisahkan seorang gadis pantai kecil di Telukcikal, Pantai Utara Jawa, yang 'diambil' oleh Tumenggung Wiraguna, salah seorang panglima besar Mataram kala itu sebagai 'hadiah' rampasan perang setelah pasukannya berhasil menguasai Pati atas nama Sultan Mataram (Sultan Agung/Susuhunan Hanyakrakusuma). Rara Mendut akan dijadikan calon selir baru sang panglima. Didampingi seorang dayang muda yang jago berkuda, Genduk Duku (yep, tokoh di buku berikutnya) dan dayang senior Ni Semangka, Mendut dengan berat hati diboyong ke kediaman Wiraguna. Namun Mendut tidak melupakan perasaannya pada seorang pemuda nelayan asuhan pamannya, Pranacitra.

Terkesan seperti Siti Nurbaya jaman Mataram? oh tidak juga. RARA MENDUT menohok saya dalam masalah harga diri perempuan. Entah siapa yang perang, entah apa pula faedahnya, perempuan dalam kisah ini hanya dianggap properti. Wiraguna sudah 50 tahunan, Mendut masih tujuhbelasan. Wiraguna sudah punya istri dan selir lebih dari selusin. Semacam perlambang kuasa perkasa yang lumrah bagi lelaki petinggi di jaman itu. Wiraguna tertarik pada Mendut bukan karena cinta, bukan karena nafsu, tapi menjadikan Mendut sebagai perlambang kejantanan seorang panglima besar Mataram. Jika Wiraguna berhasil memperistri Mendut, berarti beliau perkasa, pantas jadi petinggi. Jiahahahah. Romo YB membuat saya mengeluarkan sumpah serapah. Romo YB mengupas bagaimana posisi perempuan di jaman itu, bagaimana tilikan diri mereka, dan harga apa yang harus mereka bayar untuk kebebasan memilih. Baik itu memilih jalan hidup maupun tambatan hati. Bukan hanya dari sudut pandang Mendut, kita diajak melihat pandangan-pandangan banyak perempuan dalam kisah ini, kadang perih, kadang bijak. Kisah Rara Mendut kemudian berakhir tragis namun menyisakan semacam buah bibir pencerahan dan inspirasi di sepenjuru Mataram, tentang upaya seorang gadis mempertahankan diri untuk menjadi orang merdeka sampai akhir hayatnya.


Buku kedua, GENDUK DUKU, mengisahkan petualangan si dayang muda yang melarikan diri paska peristiwa naas menimpa puannya, Rara Mendut. Duku, bertualang mengabarkan kisah sedih Mendut dan Panacitra ke keluarga asal mereka, dengan niat umum menjauh dari hiruk pikuk kelam kehidupan raja dan bangsawan yang ganjil dan gila hormat. Duku memiliki nasib yang lebih baik awalnya, memilih sendiri pasangannya, Slamet, seorang nelayan tangguh, serta menentukan sendiri jalan hidupnya. Akan tetapi, panggilan istana tidak dapat dihindari. Salah seorang selir Wiraguna yang dulu menolong Mendut dan Duku, Arumadi, mengabarkan kebutuhan istana akan kehadiran kembali Duku. Sultan Agung sudah diambang akhir kehidupan, sementara putra yang akan meneruskan tahtanya, yakni Raden Mas Sayidin atau lebih dikenal sebagai Raden Mas Jibus (yang nantinya akan menjadi Raja Amangkurat I) kelakuannya nauzubillah. Hobinya mencari perempuan cantik untuk dijadikan selir. Manja minta ampun, bikin keluarga Sultan malu bukan main.

Lagi-lagi perempuan menjadi piala rebutan. Panglima Mataram yang kita kenal di buku sebelumnya, Tumenggung Wiraguna, sudah jadi Tumenggung utama namun tetap saja nggak insyaf. Beliau 'mengambil' lagi seorang selir baru bernama Tejarukmi. Namun, si putra mahkota berhasrat menggebu-gebu pula dengan gadis ini. Ribut sekerajaan. Duku dan Slamet mau tidak mau terseret dalam laga bangsawan yang terkesan remeh tapi mempertaruhkan banyak nyawa ini. Sambil menjaga keselamatan bayi mereka, Lusi Lindri, konflik kaum ningrat yang menjijikkan ini dihadapi Duku dan Slamet dengan harga terlalu besar. Hingga akhirnya Sultan Agung mangkat, putra mahkota naik tahta, dan tumpahan darah tidak terhindarkan. 


 

Buku terakhir, LUSI LINDRI, mengisahkan kehidupan Lusi, anak Genduk Duku yang menjadi rombongan pengawal pribadi Amangkurat I. Dalam buku ketiga ini, lebih banyak menyoroti situasi Kesultanan Mataram yang makin aneh di bawah pemerintahan Amangkurat I yang paranoid. Kalau dulu jaman Sultan Agung pergerakan VOC dibatasi, Amangkurat malah memberi kepercayaan berlebih pada VOC. Dalam keparanoid-an nya yang menjadi-jadi, raja ini menjadi lalim, membantai banyak panglima lawas yang berjasa bagi negara, bahkan membunuhi saudara sendiri. Tidak ada kearifan yang dirasa. Urusan selangkangan menjadi utama lagi. Raja merasa kejantanannya terancam karena tidak bergairah lagi pada istri-istrinya yang banyak itu. Malah ngotot merebut istri orang dengan cara menjijikkan.

Lusi terlibat dalam carut marut upaya pemberontakan terhadap Kesultanan Mataram. Lusi yang tangkas ini jatuh hati pada seorang Belanda yang merupakan tawanan negara. Manis namun tidak mungkin terwujud tanpa ribut. Akan tetapi di buku ketiga ini, meskipun perempuan tetap dianggap properti, perwujudan Lusi menjadi lebih mencerahkan dengan kemandirian dan pilihan pribadi yang diambilnya. Selanjutnya kita dibawa tenggelam dalam rawa-rawa suram kelaliman, kegilaan duniawi kerajaan, dan masuknya penjajahan Belanda ke tanah Jawa. Pada akhirnya, kita menjadi saksi keruntuhan Kesultanan Mataram yang menyedihkan, digerogoti dari dalam oleh ketidakbijaksanaan, kebodohan, dan keserakahan berulang-ulang.

 

Trilogi ini menyuguhkan beratnya aturan, budaya, dan pandangan yang menimpa rakyat jelata umumnya dan perempuan khususnya. Saya tidak dapat membayangkan diri yang pembangkang ini akan jadi seperti apa hidup di jaman Kesultanan Mataram itu. Dikit-dikit main tebas, main bunuh, hajar, ambil paksa, tak ada harga. Apapun haluan politik yang dijunjung. Namun kalau dibawa ke jaman ini, mungkin perwujudan penindasannya saja yang berbeda, pembatasan kebebasan berpikir dan pemerasan ala baru tampaknya. Namun dalam upaya saya untuk adil, ada jugalah perwujudan lelaki yang mendapat simpati saya dalam kisah ini, selain para lelaki pasangan tokoh utama wanitanya, yakni sang Pangeran Selarong yang tua dan sableng. Pangeran yang memilih 'berpura-pura gila', mencintai arak, mundur dari hiruk pikuk istana ke pengasingan di tengah hutan. Pangeran Selarong menjadi bapak pelindung Lusi Lindri dan rakyat setempat, yang selengek-an tapi bijak dan jujur, dicintai rakyat dalam hening mendalam.

Romo YB berhasil menyuguhkan fiksi sejarah dan selipan romansa yang kasar halusnya berkesan. Semua tokoh kerajaannya ada dalam sejarah Indonesia masa lampau, hanya tokoh-tokoh utama saja yang mungkin rekaan. Romo YB mengungkapkan kegundahannya dalam cara mumpuni, mengajak pembacanya berpikir ke dalam, melihat ketimpangan-ketimpangan harian dalam budaya kita yang mungkin  dianggap lumrah. Saya yakin sekali pengetahuan sejarah beliau (ditambah riset tentunya) berada dalam level bijaksana. Buah upaya menghadirkan kisah ini sebagai bacaan bergizi yang di luar ekspektasi saya ternyata masih relevan dengan keributan saat ini. 

Apakah perempuan hanya jadi properti rampasan perang semata? Apapun bentuk perangnya?

Sudah kita ketahui bersama, kaum perempuan dituduh menjadi sumber fitnah, dianggap menjadi dosa dengan keberadaannya, dan bahkan disudutkan oleh standar pencapaian umum dari kaumnya sendiri. Sejak menginjakkan kaki di jagad, perempuan dicatat berulang-ulang menjadi sumber keributan bersejarah, entah memang didaulat demikian atau diatur sedemikian rupa sebagai kambing hitam eternal. Wallahualam. Bagi saya pribadi, mungkin saya perlu memperluas pandangan saya untuk menggali kebijakan dan kebajikan pribadi, tidak hanya pasrah menjadi 'properti rampasan perang' seperti pahit getir perempuan-perempuan dalam kisah ini.

Saya berterima kasih kepada mendiang Romo YB yang telah menghadirkan kisah ini dalam warna indah kebijakannya. Tidakpun menghakimi berlebihan kaumnya sendiri, romo YB memberikan perenungan lebih luas terhadap cara pandang kita sebagai manusia. Entah itu raja, entah itu rakyat jelata. Perempuan dan laki-laki. Beraneka kepentingan, nafsu badaniah, kekuasaan, remeh temeh berbahaya, hingga nyawa yang makin murah harganya. Well, manusia sulit belajar dari sejarah. Bukan tidak mengerti, tapi tampaknya tidak ingin saja.

Roman fiksi sejarah terkait Babad Tanah Jawa ini mengingatkan saya pada bacaan lain yang sama menariknya dan terbit di dekade ini. Sebut saja RADEN MANDASIA SI PENCURI DAGING SAPI (2016) karya Yusi Avianto Pareanom yang juga meribut di tanah Jawa kuno dan KURA-KURA BERJANGGUT (2018) karya Azhari Aiyub yang meramu fiksi historis tanah Sumatra. Mungkin saya berjodoh dengan buku-buku semodel ini dalam dunia fiksi Indonesia. Jenis bacaan menarik untuk jiwa dan pikiran sekaligus. Upaya memperbaiki ketahanan serebral dan daya empati.

PS: curhatan terkait Raden Mandasia serta Kura-Kura Berjanggut dapat disimak lebih lanjut melalui tautan berikut (ini dan itu).


"...panglima-panglima medan perang, raja, serta adipati adalah jago-jago perang, pendekar dalam seni menyebar maut...mungkin itu nasib lelaki...tetapi kita kaum perempuan, kita punya keunggulan lain: mengandung, menyusui, mengembang, dan memekarkan kehidupan...rahim kita serba menerima, tetapi juga serba memberi..bukan senjata..bukan racun kepongahan..."

- YB Mangunwijaya -

2 comments:

The Long Conversation With You

  “The worst part of holding the memories is not the pain. It's the loneliness of it..." - Lois Lowry Hi Mas, it's been a while...