January 10, 2021

Arrival at the Dark Tower (The Dark Tower VIII - Stephen King)

 "...endings are heartless..."

- Stephen King -



image courtesy: pinterest.com

Membaca sebuah saga epik yang panjang adalah suatu pengalaman seru dan penuh tantangan. Ketika sudah sampai di akhir perjalanan, diri akan harap-harap cemas. Entah takut berpisah atau tidak sabar akan finalitas kisah. Begitulah yang saya alami dalam membaca saga epik THE DARK TOWER bikinan om Stephen King yang saya ikuti selama hampir 4 tahun. Namun, mungkin pengalaman saya belum ada apa-apanya dibandingkan kisah para pembaca awal yang punya kesabaran ekstra luas sejak tahun 1982 saat rilis buku pertamanya, hingga tahun 2004 untuk rilis buku terakhir. Hampir tiga dekade. Dan amit-amit sekali cliffhanger nya itu.

Tulisan ini saya susun dengan segala upaya untuk meminimalisir spoiler, namun tetap sedikit mewakili betapa diobrak-abriknya perasaan saya selama membaca buku terakhir, dan perasaan ini bertahan sesudahnya. Book hangover istilah yang lumrah bagi kami penikmat perbukuan.

Saga THE DARK TOWER terdiri atas 7 buku utama dan 1 buku selipan (spin off) yang mengisahkan petualangan seorang gunslinger bernama Roland Deschain menuju sebuah tempat legendaris yang dikenal sebagai Dark Tower, pusat segala semesta. Saga THE DARK TOWER adalah high fantasy yang memasukkan hampir semua elemen fantasi klasik dan modern yang dikenal pembaca genre ini. Sihir, horor, thriller, steampunk, fiksi ilmiah, bahkan romansa juga ada. Paket lengkap kepusingan lah pokoknya. Judul serinya sesuai urutan terdiri atas THE GUNSLINGER (Sang Gunslinger), THE DRAWING OF THE THREE (Penarikan Tiga Unsur), THE WASTE LANDS (Negeri Petaka), WIZARD AND GLASS, WOLVES OF THE CALLA, SONG OF SUSANNAH, dan THE DARK TOWER. Spin off-nya berjudul THE WIND THROUGH THE KEYHOLE yang baiknya dibaca di antara buku 4 dan buku 5. Di Indonesia sendiri baru diterjemahkan tiga buku pertama. Jangan tanya saya bakal lanjut diterjemahin atau nggak gitu ya.

Ini contoh sampul bukunya    

 

Lantas apa yang saya rasakan setelah menuntaskan buku terakhir?

Campur aduk gitu antara ambyar dan pengen nabok dan emosi geje. Halaman-halaman awal saya sudah dibikin berurai air mata. Sebenarnya saya sudah menyiapkan diri, sadar ini buku terakhir dan ini Om King yang nulis. Tapi ya tetap saja nggak kuat. Lebih dari satu momen yang membuat saya menangis sesenggukan kayak orang patah hati. Novel setebal lebih dari 800 halaman ini membuat saya emosi berat. Namun, saya harus mengakui, bahwa sang wordslinger, Stephen King, adalah penulis cerdas sinting yang powerful dan berbahaya.

Untuk curhatan terkait buku sebelumnya, bisa di cek saja di blog saya ini bila berminat. Dengan segenap kemalasan akhir pekan saat curhatan ini ditulis, saya mungkin tidak akan banyak membahas masing-masing buku. THE DARK TOWER sudah cukup menggerus emosi saya di awal tahun suram ini.

THE DARK TOWER menjawab kepingan-kepingan informasi yang beredar di buku-buku sebelumnya. Kita akhirnya berhadapan dengan siapa atau apa sebenarnya yang menjadi musuh utama Roland Deschain. Kita juga akan melihat perputaran takdir bagi masing-masing tokoh penting selain Roland, para gunslinger lain, yakni Eddie Dean, Susannah Dean, Jake Chambers, Oy the Bumbler, dan Pere Donald Callahan. Happy ending? hahahhaha, oh tentu bukan ya...Jangan pernah berharap akhir bahagia terstandar apabila membaca karyanya om King. Buang jauh-jauh ekspektasi bahagia ala Disney atau pilem India lawas. Akhir DARK TOWER adalah akhir yang bikin terdiam dan jelas ingin banting kulkas, lantas tenggelam dalam rawa-rawa multitafsir.

Om King dengan nyelenehnya menghina, memuji, bahkan mempreteli dirinya sendiri dalam THE DARK TOWER. Eksplisit maupun implisit, si om menunjukkan hal yang dia benci-sukai-dan banggakan terkait dirinya dan pengalaman-pengalamannya dalam lembar-lembar kisah ini. Saya melihat versi fanboy garis keras yang hapal semua detail buku, film, puisi, lagu, dan hal favoritnya; kemudian menuangkan itu dalam multisemesta yang dibangun sendiri, tersebar dalam kepingan-kepingan yang terkesan acak namun bermakna. This is a madness. Om King dengan apik merepresentasikan kesulitannya menulis kisah panjang dan proses up and down yang dia jalani, mulai dari masalah ketergantungan substansi sampai nyaris mati.

Multisemesta? Oh tentu. Saya belum pernah membaca karya dengan model begini. STEPHEN KING'S MULTIVERSE adalah istilah yang akhirnya kami, para bucin menyebutnya. THE DARK TOWER adalah pusatnya. Hampir semua karya si om yang jumlahnya lebih dari 60 buku (baik novel maupun kumcer) memiliki korelasi langsung maupun tidak langsung dengan sang menara gelap. Buku terakhir ini pun terkait dengan novel dia yang lain, yakni INSOMNIA, THE HEART OF ATLANTIS, IT, dan SALEM'S LOT. Buku-buku sebelumnya juga punya korelasi atau kepngan informasi dari karya non DARK TOWER yang sudah beliau hasilkan. Yang saya ingat (maklum otaknya kayak ember bocor kadang) diantaranya adalah THE STAND, 11.22.63, DESPERATIONS, ROSE MADDER, THE EYES OF THE DRAGON, CELL, THE SHINING, BAG OF BONES, DOCTOR SLEEP, dan PET SEMATARY. Itu baru beberapa sih. Dalam cerpen-cerpennya, urusan DARK TOWER ini selalu terkait, tersirat maupun tersurat.

Hal ini lah yang menjadi salah satu magnet bagi saya untuk membaca buku-buku si om yang lainnya. Perasaan excited dan surprised ketika menemukan koneksi dalam kepingan yang tersebar entah dimana itu menyenangkan. Mungkin saya exaggerated, tapi saya senang sudah melibatkan diri dalam keributan ini, lengkap dengan kerepotan mengumpulkan bukunya yang ngga sedikit.

THE DARK TOWER menyisakan kesempatan yang terbuka luas bagi pembacanya untuk berhenti atau melanjutkan eksplorasi dari buah pikiran seorang penulis gaek yang sudah bertahan lebih dari empat dekade. Kontinuitas seorang wordslinger legendaris ini tidak main-main. Ketika saya akhirnya membersamai Roland di menara gelap, saya merasa overwhelming. Akhirnya saya sampai di tempat ini. Di menara yang diagung-agungkan melebihi akal sehat, menelan banyak korban tentu. Konklusi yang disajikan pun menghantam pemikiran. Sinting sungguh sinting.

Yang mengherankan, karakter favorit saya dari saga ini bukanlah Roland. Saya menyayangi Eddie Dean dengan sepenuh hati, kagum pada Jake Chambers, hormat pada Pere Callahan dan Susannah Dean, ingin mengelus kepala berbulu lembut Oy, bahkan sempat naksir Cuthbert Algoods (Ka-Tet lama Roland selain Alain Johns dan Jamie deCurry). Karakter lain yang jumlahnya banyak dan tersebar sepanjang perjalanan, juga berkesan. Tentunya saya tidak akan bisa melupakan sosok Randal Flagg yang ada di mana-mana tentunya. Sementara Roland menempatkan dirinya (atau mengorbankan dirinya?) untuk jadi karakter utama yang menanggung beban terlalu banyak dan ditakdirkan menempuh perjalanan akhir hanya bersama para pembaca.

ini edisi yang saya punya, ada ilustrasinya

Apakah kalian sudah overwhelmed juga membaca curhatan ini?

Ahahahah. Saya merekomendasikan pembaca setia om King untuk mulai menapaki saga epik ini. Dan bagi yang baru memulai mengenal si om, dengan senang hati saya membuka ruang diskusi bila ingin saya racuni lebih lanjut. Kedatangan saya pada akhirnya ke menara gelap, membuat saya yakin untuk tetap setia bersama karya-karya si om, meskipun tidak semua karyanya memberikan lima bintang di aplikasi goodreads. Saya cukuplah menjadi pembaca setianya, bucin yang dah pilek karena menangisi kehilangan tokoh fiksi karena suatu keharusan dalam cara brutal. Kelegaan akhirnya menjadi bagian dari sesi membaca di Januari 2021 kelabu, di lantai tertinggi menara gelap, kembali dengan pintu imajinasi yang semakin terbuka lebar bercahaya.

One of my best reading experience in life.

Sampai bertemu lagi dengan rombongan gunslinger yang lain. Ingat, Ka is a wheel and there are other worlds than these. 

PS: saya membuka ruang diskusi bagi yang ingin membicarakan per buku lebih lanjut. Sila colek saja.

Adios!

 

“I do not aim with my hand; he who aims with his hand has forgotten the face of his father.
I aim with my eye.

I do not shoot with my hand; he who shoots with his hand has forgotten the face of his father.
I shoot with my mind.

I do not kill with my gun; he who kills with his gun has forgotten the face of his father.
I kill with my heart.”

 

- Roland Deschain, Son of Stevens, the Last Line of Eld -




No comments:

Post a Comment

The Long Conversation With You

  “The worst part of holding the memories is not the pain. It's the loneliness of it..." - Lois Lowry Hi Mas, it's been a while...