“...Family not only need to consist of merely those whom we share blood, but also for those whom we'd give blood...”
- Charles Dickens -
Image courtesy: Pininterest
Tahun 2021 masih babak belur seperti pendahulunya, meskipun toleransi dan kekebalan sudah mulai lebih baik di bulan kesembilan. Di tengah beraneka gejolak, saya sudah nyaris lupa rasanya menamatkan buku secara ngebut tapi berkesan. Dan saya akhirnya menulis lagi setelah absen sekian bulan. Buku apa sih memangnya?
TROUBLED BLOOD (CORMORAN STRIKE#5) diterjemahkan dengan judul KECAMUK DARAH di Indonesia, nyaris setahun jaraknya dari rilis edisi bahasa Inggris di September 2020 lalu. Saya adalah fans Cormoran Strike, si detektif swasta problematik yang otaknya sungguh menarik. Dua tahun lalu sempat heboh dengan insiden di buku keempatnya (LETHAL WHITE) yang memang bikin urusan skandal kerajaan jadi terlihat tak sekedar gosip selebritas.
Kali ini, Strike dan Robin terperangkap pada kasus yang terjadi 4 dekade lalu. Seorang dokter wanita bernama Margot Bamborough menghilang tanpa jejak di tahun 1974, setelah menuntaskan praktek di sebuah klinik bersama. Jenazah Margot tidak pernah ditemukan. Kasus Margot kemudian dikaitkan dengan kasus psikopat pembunuh berantai yang membantai banyak wanita, Dennis Creed. Creed sendiri sudah tertangkap dan mendekam di penjara khusus. Creed mengingatkan saya pada Ted Bundy, si pembunuh yang biografinya diulas di mana-mana sampai dijadikan pilem segala (silakan tanya mbah G).
Anna, anak satu-satunya Margot, merasa tidak puas terhadap penyelidikan polisi di masa lalu terkait lenyapnya sang ibu. Maka, mengingat reputasi Strike yang melejit, Anna memohon bantuan Strike dan tim untuk menemukan kebenaran terkait kematian Margot -- apakah memang beneran sudah tiada, di mana jenazahnya, siapa pembunuhnya, benarkah Creed, atau ada orang lain yang terlibat.
Novel setebal 975 halaman ini dituturkan dengan narasi yang apik dan bikin nagih. Terus terang saja, Galbraith adalah satu dari sedikit penulis yang punya daya magis bagi saya dalam artian bisa bikin saya menahan kantuk dan menyisakan waktu lebih banyak di sela pekerjaan untuk menuntaskan keributan yang ditulisnya. Galbraith alias tante Rowling memang jago sekali menampilkan narasi-narasi deskriptif menarik, dengan banyak karakter, dari mayor sampai minor yang membuat terkesan.
Lantas kenapa judulnya TROUBLED BLOOD?
Menurut hemat saya yang sok tau dan baru menuntaskan novelnya beberapa jam sebelum tulisan ini dirilis, ya urusan kecamuk darah ini bisa jadi menggambarkan beberapa hal. Pertama soal keribetan hubungan darah seseorang. Dalam hal ini Strike sih yang paling berasa. Kita diajak mengeksplorasi lebih jauh tentang orang-orang yang dianggap 'keluarga' oleh Strike, ditambah karakter ayah kandungnya yang meskipun punya hubungan darah (biologis) tapi tetap saja bajingan dan tidak pantas. Tampaknya Galbraith menegaskan bahwa hubungan darah memang problematik, dan memang tidak semua yang berhubungan secara biologis layak mendapatkan perhatian dari kita. Urusan keluarganya Strike ini cukup menarik dan saya mengakui, terlepas dari beraneka trauma yang dijalani, Strike dibesarkan dengan baik oleh paman dan bibinya, jauh lebih hangat dan menentramkan dibandingkan ibu dan ayah kandung yang terkesan tidak bertanggung jawab-hidup semaunya.
Kedua, tentunya terkait dengan kegilaan yang mengalir di pembuluh darah manusia. Entah itu kegilaan terkait seksual, hubungan dengan sesama, sampai psikopatik. Dalam novel ini, Galbraith menyisipkan beraneka kasus yang ditangani Strike di agensi detektifnya. Kasus-kasus selingan yang menampilkan bentuk-bentuk kegilaan lain dalam perilaku manusia. Saya sampai heran, ada ya model-model begini. Padahal sebagai bucin om King, harusnya saya sudah 'agak terbiasa membaca beraneka bentuk keganjilan'. Belum imun ternyata (lah).
Beraneka isu diangkat oleh Galbraith: kesehatan mental (terkait trauma, kekerasan, dan gangguan jiwa permanen), rasisme, politik, feminisme, premanisme (mafia), bahkan astrologi (ini nganu memang, agak sinting). Khusus untuk urusan feminisme ini, Galbraith mengungkapkan perlakuan yang diterima Robin sebagai detektif wanita. Mulai dari diremehkan sampai pelecehan. Ini cukup menyentil saya pribadi dan tentunya cukup tau juga bahwa kesetaraan itu hanya ilusi, dan memang perempuan sendirilah yang harus turut andil mewujudkannya.
Terbitan GPU |
Kontroversi menghadang Galbraith ketika merilis buku ini tahun lalu. Galbraith dianggap transfobia, antidiversitas, dan segala macam. Saya enggan terlibat feud waktu itu karena saya tidak sudi menilai orang kalau belum membaca sendiri apa yang dia tulis. Selama dan setelah menuntaskan novel ini, entah saya terbius kata atau abai atau memang kemampuan bernalar saya jadi bias, saya tidak terlalu yakin akan tuduhan-tuduhan yang diterima oleh Galbraith terkait buku ini. Diversitas di sini malah banyak, entah urusan pilihan pasangan sampai urusan ras. Tidak diungkapkan dengan tendensius. Galbraith mendeskripsikan ketimpangan-ketimpangan pemikiran dan sosial yang terjadi di masyarakat yang dia kenal baik, menunjukkan bahwa di negara maju sana manusia masih sama saja tidak adilnya. Hate speech terhadap rombongan tertentu? Tidak. Saya tidak menangkap demikian. Meskipun Galbraith cukup gamblang memaparkan pandangan politiknya.
Berat amat. Berkecamuk gitu ya sesuai judulnya. Tapi, urusan Margot yang panjang dan melelahkan ini diikuti dengan elemen-elemen manis yang bikin hati hangat. Hubungan Strike dengan keluarga (orang-orang yang dipilihnya sebagai keluarga), hubungan Strike dengan kolega di kantor, dan tentunya Strike-Robin. Pembaca pasti gemas sendiri, greget siah gitu deh ya.
Lantas apa yang sebenarnya terjadi pada Margot?
Nah pembaca sebaiknya menuntaskan sendiri bukunya untuk menemukan fakta dibalik hilangnya sang dokter. Saya terus terang terkesan juga dengan eksekusi kisah ini yang tidak menggantung pembaca seperti yang sudah-sudah. Narasinya enak meskipun banyak sumpah serapah, dan saya angkat topi untuk pengembangan kemampuan Robin yang makin baik dan upayanya untuk berdamai dengan banyak hal. Sungguh suatu kerja keras yang membanggakan. Dan Strike, saya senang bisa menyaksikan 'kemanusiawian' - nya dengan porsi yang lebih banyak. Kharismatik dan mempesona, tentu saja, despite of all the flaws.
Tentunya pembaca setia Galbraith tidak akan melewatkan buku menarik ini, apalagi di bab-bab tertentu di mana kegilaan muncul dalam wujud manusia yang bangga akan perbuatan kejinya. Saya terus terang ngeri sendiri dengan entah apa yang berkecamuk dalam pikiran dan mengaliri pembuluh darah pelaku. Serem ya? Jelas bahwa monster terhoror itu memang manusia.
Selamat membaca. Oiya ini novel dewasa, 21+ lah. Bukan karena konten esek-esek, tapi karena beberapa hal yang cukup mengganggu dan bikin tidak nyaman. Namanya juga urusan kriminal.
No comments:
Post a Comment