May 18, 2012

Old Post #1 : Trust in Me

 

Mark menatap artikel berwarna yang memantulkan kesan glamour dari majalah remaja terkenal. Ia melihat wajahnya sendiri sedang tersenyum tipis. Ya, itulah dia, bintang remaja bersinar. Mark Prince Russel. Lihat saja namanya. Prince, pangeran. Tapi ia tak mau disebut pangeran. Terlalu konyol, menggelikan, dan berlebihan.

Ia cuma menetapkan dirinya sebagai Mark, anak lelaki biasa. Tidak sedikitpun ia ingin jadi orang lain, hanya karena perannya sebagai gelandangan muda yang terpaksa mati karena mengembalikan anting-anting seorang gadis penghuni istana Versailles, justru dihakimi mencuri harta kerajaan.

 

Tapi itulah yang terjadi, mau tak mau, perannya dinilai spektakuler oleh sinias-sinias ternama. Namanya naik, masuk majalah remaja, meskipun perannya jauh dari romantisme ala anak-anak muda belasan tahun.

Pikirannya terhenti begitu melihat ibunya masuk ke ruangan, membawa jas biru gelap.

“Mark, kau harus siap-siap sekarang. Malam ini ada acara langsung di stasiun TV. Kau diundang resmi menyaksikannya. Bagus untuk publisitas,” nada suara ibunya datar seperti biasa. Menunjukkan kecemerlangan watak bisnis seorang manager entertainment handal.

Mark tidak bicara apapun. Hanya menyambar jasnya, naik ke kamar, memakai pakaian dengan simpel, turun untuk makan malam, lalu menunggu mobil limosin resmi stasiun TV.

Mark lama menunggu. Bosan, ia menyambar kunci motor, melesat keluar, meninggalkan tatapan kosong ibunya. Ketika melaju, ia melihat limosin stasiun TV datang dari arah berlawanan. Ia cuek, terus memacu kendaraannya.

Supir limosin terlongo. Namun cepat tanggap memutar stir menyusul laju motor Mark. Tak peduli jasnya kusut, tertiup angin, atau apalah, Mark tetap cuek.

Sampai di depan tempat acara, tampak sekilas olehnya karpet merah panjang ala Oscar terbentang, di kanan-kiri dikelilingi bodyguard kekar bertampang sangar, disusul kerumunan orang-orang berteriak menanti idola masing-masing.

Mark menyetop motornya tepat sebelum limosin TV berhenti. Tak seorang pun mengenalinya karena kepalanya tertutup helm besar. Begitu ia membuka helm, whoo, semua gadis berteriak.

“Lihat ! Itu Mark !!,” teriak mereka bersamaan.

Dengan perasaan nggak enak karena terlalu dielu-elukan, Mark menyerahkan kunci motornya pada tukang parkir berseragam elite yang sejak tadi berdiri di depan.

Mark berjalan dengan kaku. Berusaha sedikit tersenyum pada fans dan merelakan diri dijepret para jurnalis. Ia menyesal. Kenapa tadi tidak tunggu jemputan TV saja. Ia tak mau disebut aktor pembuat sensasi.

“Mr.Russel, kenapa Anda tidak menunggu mobil kami ?,” Tanya seorang pria dari dalam limosin TV yang berlari menyongsongnya.

“Oh, maaf,” kata Mark datar.

“Tapi cara kedatangan Anda sungguh berbeda. Sangat orisinil. Anda benar-benar idola.”

Mark cuma tersenyum tipis. Sangat tidak menyenangkan, pikirnya. Terlalu dipuja-puja. Padahal ia hanya mau mengejar waktu saja, malah dianggap sensasional.

Ada gemuruh suara lagi. Mark menoleh. Ia melihat si gadis istana Versailles yang seusia dengannya berjalan pelan sambil tersenyum. Gadis muda dengan rambut pirang terurai dibalut blus hitam berkilauan, dengan rok hitam bawah lutut sedang. Cukup simpel dan mempesona, batin Mark. Tapi ia tak begitu ambil pusing.

“Mr.Russel, Anda bisa menunggu Miss Pauline disini sebentar ? Pihak kami ingin semua pemain kelihatan bersahabat. Kesan yang baik bagi publik.”

“Tapi…”

Si pria berlalu, membawa Miss Pauline, tepatnya Andrea Jacques Pauline, kehadapan Mark.

“Hai,” sapa Andrea.

Mark membalas sambil sedikit tersenyum ramah. Lalu mereka berjalan masuk ke aula hotel, sampai di balairung besar tempat acara diadakan. Lantas langsung duduk di kursi dan saling bersebelahan.

Acara dimulai. Namun Mark tidak begitu antusias. Ia hanya memperhatikan tanpa banyak bicara. Bosan, ia melihat ke sekeliling penonton, yang tampaknya terdiri dari kaum elit perfilman yang terkenal. Lalu pandangannya jatuh pada Andrea di sebelahnya.

Tidak memperhatikan acara, malah terkesan melamun. Cantik juga, pikir Mark. Wajah Andrea memiliki karakter kuat dan mempesona. Namun sekilas Mark melihat bekas-bekas sembab di garis matanya, tertutup sedikit oleh riasan yang tipis, seperti habis menangis.

Yang ditatapi tampaknya sadar. Ia menoleh. Mark kaget dan sedikit malu. Hal yang kurang etis, menatap dan membaca garis wajah orang lain.

“Ada apa Mark ?,” tanya Andrea sedikit kaku.

“Tidak, aku hanya melihat sekeliling.”

“Ada yang aneh dengan mukaku ya ? Kau melihatku begitu lama. Seakan mukaku ini seperti wajah alien saja,” lanjutnya.

“Tidak. Aku hanya…”

Tiba-tiba Andrea tertawa. Renyah dan ringan. Namun tidak begitu terbahak-bahak. Hanya pandangannya menatap Mark dengan geli.

“Kenapa tertawa ?,” tanya Mark heran.

“Lucu aja. Melihat wajah Mr.Russel bengong seperti melihat sesuatu yang aneh. Lalu tergugup karena kehabisan kata. Konyol sekali. Seakan kau ini bicara dengan orang penting saja. Padahal kita kan sebaya.”

Mark menatap heran gadis itu. Ia tidak menganggap dirinya penting. Padahal Andrea itu aktris muda berbakat.

“Eh, maaf. Kukira kau akan marah. Habisnya tadi aku melihat ada yang janggal di wajahmu,” lanjut Mark.

“Apa ? Make-up ketebalan atau riasan amburadul ?”

Mark tertawa pelan.

“Bukan, bukan itu. Ada garis sembab di matamu. Kau habis menangis ?,” tanya Mark langsung.

Wajahnya langsung berubah. Tertawa tadi lenyap begitu saja. Digantikan rona sendu gelap dan sedikit berkaca-kaca.

“Itu adalah urusanku Mark. Anggap saja ada eye-shadow gelap di mataku,” nadanya tegas sekali.

“Maaf”

“Tak perlu minta maaf”

Diam. Mark tak punya keinginan lagi untuk bicara lagi serta menatap Andrea. Ia hanya memusatkan kembali pandangannya pada acara yang berlangsung.

Malam merayap pelan. Acara selesai. Mark keluar ruangan, tak sedikitpun bicara. Cuma tersenyum skeptis pada orang-orang yang menyapanya.

Ia lalu menyalakan motornya. Sebelum ia melaju, seseorang menahannya.

“Mark, boleh aku ikut ?”

Ternyata Andrea. Pandangannya lebih bersahabat.

“Ayo naik,” Mark tidak bertanya apa-apa.

Andrea duduk di atas jok motornya, merapatkan pegangan pada Mark. Tiba-tiba ia menyandarkan kepalanya di punggung Mark. Mark merasa bahwa Andrea lelah dan punya beban berat di hatinya. Jadi ia membiarkan saja.

“Kau mau diantar kemana ? Pulang ?”

Ia tidak menjawab. Namun karena hari sudah malam, maka Mark memutuskan mengantar Andrea pulang. Meskipun jaraknya sepuluh kilometer dari rumahnya. Tak apalah, toh ia cowok dengan motor ngebut.

Sampai di bangunan besar berarsitektur modern. Rumah Andrea. Lalu Andrea turun perlahan dengan enggan.

“Thanks Mark. Sampai jumpa,” katanya berlalu.

Mark menatap gadis itu dari kejauhan.Gadis yang aneh. Seakan seperti samudera yang tak bisa ditebak. Tenang, lalu beriak, kemudian senyap.

Mark pulang. Masih memikirkan Andrea dan sikapnya.

š{

“Mark, kau harus ke lokasi syuting sepulang sekolah. Mom akan menjemput. Jangan kemana-mana. Jadwalmu padat sekali sampai akhir bulan depan.”

Mark yang sedang meneguk jus jeruk cuma mengangguk.

“Mom, aku naik motor saja. Lebih cepat tanpa macet,” saran Mark.

“Oke. Dan jangan lupa hapal naskahnya.”

Nada suara profesional seperti biasa. Mrs.Russel, ibu, manager, stylist dan lengkaplah bagi Mark. Mengatur semua peran untuknya. Termasuk kontrak baru, berperan sebagai anak kota kuper jenius yang berubah menjadi atlet basket muda dan populer karena seorang gadis. Dan peran si gadis, tak lain tak bukan diberikan pada Miss Pauline, atas pertimbangan publisitas dua bintang muda yang naik daun, untuk mendongkrak penghasilan dari film ini nantinya. Tak buruk, pikir Mark. Andrea aktris muda yang hebat. Selain itu Mark ingin tahu lebih jauh mengenai gadis itu, dengan dasar kekaguman dan keheranan atas tindak-tanduk Andrea Jacques Pauline yang tak terprediksikan.

Pulang sekolah dengan malas, Mark memutuskan langsung ke lokasi. Ramai, para kru bolak-balik. Dan si sutradara tigapuluhan sibuk mengatur persiapan.

Mark mencari kamar ganti. Memakai kostum yang disediakan, pergi ke lokasi, dirias, lalu mulai pengambilan adegan. Andrea berakting maksimal seperti biasa, tak terlihat kesedihan seperti tempo hari.

Syuting berlanjut sampai malam. Sekitar pukul sembilan lewat, semua diakhiri. Mark kembali ke kamar ganti. Lalu keluar menuju motornya. Tapi Mark melihat hal lain, luput dari keramaian para kru yang beres-beres, Andrea, duduk di belakang kamar ganti sendirian. Gelap dan senyap.

Mark berjalan ke arahnya. Andrea tak menyadari langkah-langkah kedatangan Mark. Tetap melamun, dengan mata memancarkan tetesan air mata bening.

“Hei, kau menangis. Ada apa ?,” tanya Mark.

Andrea kaget. Langsung menghapus air matanya.

“Tidak. Aku tidak apa-apa,” kilahnya.

“Oh, ya sudah. Tapi satu hal yang kuharap, aku tak ingin kau cuma menganggapku sebagai lawan main. Anggap aku sebagai teman, karena kurasa kau butuh teman, lebih dari apapun yang kau inginkan,” kata Mark bijak.

Andrea diam. Mulai menangis lagi.

“Sebenarnya apa yang terjadi padamu ?,” tanya Mark bersimpati.

“Kau akan tahu nanti,” balas Andrea pendek.

Aneh, benar-benar aneh. Bagaimana Mark bisa tau apa yang terjadi kalau Andrea tidak bercerita ?

“Mau kuantar pulang ?,” Mark menawarkan prihatin melihat Andrea yang masih berurai air mata.

Andrea mengangguk. Membersihkan matanya, lalu mengikuti langkah Mark menuju motornya.

Seperti biasa, Andrea bungkam. Mark tak mau menanyakan sesuatu lagi. Tampaknya beban pikiran Andrea terlalu berat. Mungkin ia butuh ketenangan.

Sampai di halaman depan rumah Andrea yang besar, Mark berhenti. Lalu ia melihat seorang pria dewasa berjalan linglung menuju rumah Andrea. Dengan tas kerja di tangan kiri dan botol berisi cairan bening yang tinggal seperempat di tangan kanan.

“Itu ayahku. Alkoholik parah,” bisik Andrea lirih.

Mark bengong. Andrea melesat menyambar si ayah yang hampir tersungkur. Mamapah pria itu ke dalam rumah. Si pria tersenyum aneh. Ekspresi tak jelas sambil menyebut nama anak gadisnya. Dari dalam, pintu di buka oleh seorang pelayan. Beberapa saat kemudian, terdengar suara pertengkaran hebat, dentingan keramik pecah, dan suara teriakan bercampur tangis Andrea.

Mark tak tau harus berbuat apa. Jadi inilah penyebab anehnya sikap Andrea. Menyedihkan sekali. Aktris cemerlang dan ceria, tinggal dalam kemelut masalah keluarga.

Pulang dengan pikiran penuh, Mark melajukan motornya. Tak tau harus bersikap apa. Cuma satu kesimpulan di benaknya, ia harus membantu Andrea, apapun bentuknya. Ia tau bahwa Andrea butuh seseorang, seseorang yang bisa dipercaya dan bisa memberinya dukungan moril. Dan Mark berpikiran bahwa dialah yang harus jadi orang pertama untuk membantu Andrea.

š{

Andrea tidak muncul pada syuting hari-hari berikutnya. Menurut si sutradara, Andrea memutuskan kontrak, mengembalikan semua uang muka, dan hilang entah kemana. Perannya digantikan gadis lain yang cukup baik aktingnya, tetapi tidak berkesan bagi Mark. Si sutradara sendiri sempat kalang kabut karena sikap Andrea, tapi demi berjalannya produksi, ia harus ambil langkah baru.

Mark bingung atas peristiwa ini. Bahkan, saking khawatirnya, Mark menyempatkan diri untuk lewat di depan rumah Andrea. Namun nihil, tak terlihat keberadaan Miss Pauline. Yang ada hanya pelayan yang keluar masuk atau sesekali sosok Mr.Jacques Pauline dalam tubuh sempoyongan, tetap dengan minuman keras di tangan.

Lebih dari seminggu, Mark tidak bertemu Andrea. Jangankan bertemu, kabarnya saja tak ada. Bahkan, para paparazzi yang biasanya tau segala hal, cuma memberitahukan bahwa pemeran gadis di film sebagai lawan main Mark, digantikan oleh aktris muda lain. Para kuli disket itu juga bilang bahwa Andrea Jacques Pauline sedang pergi jauh untuk urusan penting mendadak.

Mark menyerah begitu membuka halaman terakhir majalah. Andrea dimana kau ? Pikirnya putus asa.

Namun malam itu, Mark mendapat kejutan. Begitu ia sampai di kamarnya dan bersiap memakai piyama, ponselnya berdering. Datang dari Andrea. Nomor yang ia peroleh saat bertukar alamat pada awal syuting film sebelumnya tak mungkin salah. Ia mengangkatnya dan mendengar suara Andrea sesenggukan.

“Andrea, kau kemana saja ? Kami cemas. Apa yang…”

“Mark, jemput aku di rumah. Pergilah ke jendela belakang. Cepat Mark. Aku sudah tak sanggup lagi,” kata Andrea lirih dan sendu.

“Tapi, kau kenapa ?,” tanya Mark cemas.

Sambungan terputus.

Tanpa banyak bicara. Mark menyambar lagi jaketnya. Mengambil kunci motor. Melesat turun dan keluar rumah. Lalu melaju ke rumah Andrea.

Gelap dan remang, ketika Mark sampai ke rumah Andrea. Memutuskan untuk mengikuti kata-kata Andrea, Mark beringsut masuk melalui pagar yang setengah terbuka, lalu berjalan tanpa suara menuju belakang rumah. Terdengar suara pertengkaran lagi dari dalam.

Konyol sekali, seperti pencuri, pikir Mark. Kalau bukan karena rasa penasaran dan cemas yang meluap-luap, ia tak akan melakukan hal ini.

Sampai di jendela belakang, Mark menemukan Andrea sedang membuka jendela.

“Bantu aku turun,” pintanya.

Mark membantunya turun. Andrea tak bicara apa-apa sampai motor Mark membawanya laju membelah malam.

“Bawa aku ke tempat yang tenang, Mark.”

Mark menurut. Dengan masih bingung tentunya, plus tanda tanya besar di benaknya. Lalu Mark memutuskan membawa Andrea ke teluk kecil di pinggir kota.

Andrea turun. Duduk di dermaga tua sepi, dan mulai menangis.

Mark duduk di sampingnya, heran dan bingung.

“Kau kenapa ?,” kata Mark menggenggam bahu Andrea.

Andrea menoleh. Berurai air mata, lantas memeluk Mark dan menangis sejadi-jadinya. Mark hanya bisa menepuk pundak Andrea, dan memberikan simpatinya. Mark merasakan lengan dan bahu jaketnya basah oleh air mata.

“Kau kenapa Andrea, apa masalahmu ? Ceritakanlah padaku,” bujuk Mark menenangkan.

Andrea tetap menangis, masih mencengkeram lengan Mark, seperti orang yang mengalami kesedihan mendalam.

“Menangislah Andrea. Apapun masalahmu. Berbagilah denganku. Kukira kau tak sanggup menahannya sendiri,” lanjut Mark.

Andrea mengurai pelukannya, lalu menghapus air mata yang telah mengacaukan wajahnya. Mark menatap Andrea. Gadis itu begitu pucat, tak berwarna, sendu dan gelap, penuh kesedihan.

“Kau tampak tak sehat Andrea. Apa yang sebenarnya terjadi padamu ?”

Andrea mulai bersuara.

“Kau tau Mark, aku begini karena keadaan. Keadaan menempatkanku sebagai gadis malang dalam keluarga berantakan.”

Mark mendengarkan dengan prihatin.

“Aku mulai mempercayaimu sejak ada acara TV itu. Kau begitu perhatian. Bahkan kau menawarkan dirimu sebagai teman. Maka aku putuskan bercerita padamu,” lanjut Andrea.

“Pernahkah kau berada di negeri yang seperti neraka ? Itulah rumahku Mark. Tanpa kedamaian. Padahal kedua orang tuaku adalah manusia berpendidikan tinggi yang mengenyam dari A sampai Z semua aturan moral,” kata Andrea lirih.

“Memangnya apa yang terjadi ?,”tanya Mark.

“Ayah dan ibuku adalah pasangan ambisius dan pekerja keras. Saat aku delapan tahun, aku bangga sekali pada mereka. Betapa kerasnya usaha mereka untuk sukses dan membahagiakan aku, anak tunggal ini. Hingga saat aku berusia sepuluh tahun, mereka mulai mengenyam hasil dari jerih payah selama ini. Ibuku jadi akuntan profesional yang punya perusahaan sendiri. Sementara ayah, jadi direktur perusahaan penyedia sarana telekomunikasi terkemuka. Kami punya rumah, bisa jalan-jalan ke luar negeri setiap musim panas, dan aku bisa bertemu praktisi film terkenal sampai aku jadi seperti ini.”

“Tapi aktingmu bagus sekali. Bukan cuma kebetulan,” puji Mark.

“Itu bakat turunan Mark. Aku punya bibi seorang aktris teater,” kata Andrea.

“Selanjutnya masalah apa yang sebenarnya menimpa keluargamu ?,” kata Mark penasaran.

“Aku sangat bahagia karena punya orangtua makmur dan memberiku kasih saying penuh. Tapi dua tahun lalu, semua mulai berubah. Ayah yang biasanya sibuk tapi masih sempat bersamaku, kini berubah. Sejak terjadi upaya pencucian uang di kantornya, ia harus menghadapi banyak masalah beruntun. Ia menjadi pemarah, mulai mengkonsumsi alkohol, dan tidak mengacuhkanku. Sementara ibu, yang dulu begitu sabar, kini berbalik egois, karena profesi akuntannya yang menjanjikan keuntungan besar bila ia mau me-merger perusahaannya dengan perusahaan finansial ternama. Ia begitu sibuk, sampai ayahku yang butuh support beralih ke alkohol. Tiap hari bertengkar tanpa ujung. Puncaknya, malam ini ayah pulang bersama wanita muda dan bertemu ibuku yang sedang bicara dengan teman lamanya, seorang pria seumuran ayah. Mereka saling salah paham, melontarkan tudingan tajam, dan keluarlah keputusan mengakhiri hubungan keluarga. Bercerai,” Andrea tertunduk setelah bercerita panjang.

Mark menatap Andrea yang mulai berkaca-kaca lagi.

“Pernahkah mereka memikirkan aku ? Tidak, Mark. Mereka cuma punya ego masing-masing. Tak memikirkan perasaan aku, buah hati mereka yang tiap hari tersiksa mendengar mereka saling mengumpat dan menyakiti satu sama lain,” Andrea terisak dan menangis.

Mark merengkuh gadis itu dan ganti mendekapnya. Andrea tak bicara. Menangis.

“Kau harus tenang Andrea. Kita bisa pikirkan jalan keluarnya bersama,” bujuk Mark.

“Aku tak tau Mark. Segalanya suram. Aku tak ingin tinggal dengan orang tua yang terpisah,” isak Andrea.

“Sudahlah Andrea. Tenangkan dirimu dulu. Kau harus berpikir jernih. Siapa tau ada cara untuk menyatukan kedua orang tuamu lagi.”

“Tak mungkin Mark. Tak ada harapan,” kata Andrea putus asa.

“Jangan berpikir seperti itu, kau harus yakin. Aku ada disini dan akan selalu membantumu.”

Andrea menatap Mark dalam-dalam.

“Mark, terima kasih. Terima kasih.”

“Sudahlah. Itu artinya teman yang baik,” kata Mark menenangkan.

“Sekarang kau harus pulang Andrea. Sudah hamper tengah malam,” ajak Mark.

“Apa besok kita bisa ketemu lagi, Mark ?,” tanya Andrea penuh harap.

“Kurasa bisa. Begini saja, besok aku libur sekolah dan libur syuting. Kau siap-siap di depan rumahmu jam setengah delapan. Kukira kau perlu semacam refreshing,” saran Mark.

Andrea mengangguk senang.

š{

Pagi itu Mark bersiap dengan motornya. Mengisi bensin penuh, kemudian memakai pakaian kasual santai dengan jins dan sepatu kets.

“Mau kemana Mark ?,” tanya ibunya yang sedang menyiapkan sarapan.

“Ada deh Mom. Urusan lelaki,” jawab Mark jail.

Ibunya tersenyum. Itulah remaja, ada hal-hal tertentu dimana orang tua harus memberi kebebasan dan membiarkan anknya punya aktivitas sendiri, selama itu tidak membahayakan. Sudah seharusnya pula orang tua percaya pada anaknya.

Maka Mark menyalakan motornya dan bersama hangatnya pagi melaju ke rumah Andrea. Sampai disana, ia heran, karena tidak melihat Andrea.

Mrs.Pauline berjalan terburu-buru menuju mobilnya, lalu menyapa Mark dengan cepat.

“Oh, Anda Mark Prince Russel bukan !? Ada perlu apa Anda kemari, apa ada yang penting ?,” katanya.

“Saya ada urusan sedikit dengan putri Anda, Mrs.Pauline.”

“Baiklah kalau begitu. Maaf saya buru-buru.”

Mrs.Pauline masuk mobil dan melaju.

“Sudah bertemu ibuku rupanya, Mark.”

Mark menoleh. Rupanya Andrea, dalam balutan blus krem dengan aksen kerut serta rok lebar berbunga-bunga kecil dalam warna senada. Tampak manis dan santai.

“Ayo berangkat,” kata Andrea.

“Tunggu dulu, sebaiknya kau harus pakai topi yang lebar untuk menutupi wajahmu,” saran Mark.

“Kenapa begitu ?”

“Kita akan jalan-jalan ke tempat yang ramai di pinggir kota. Aku tak ingin diganggu oleh kerumunan orang yang berteriak seperti ini : ‘Mark, ayo kesini !’ ‘Mark, minta tanda tangan dong !’ atau kerumunan gadis-gadis yang histeris. Bukannya aku nggak menghargai mereka, tapi aku ingin bebas sehari saja. Maka, kusarankan kau memakai topi lebar dan aku pakai topi pet saja,” jelas Mark.

Andrea mengangguk tersenyum. Lalu berbalik ke rumah mengambil topi. Sebentar kemudian ia kembali, lantas melaju bersama Mark ke pinggir kota.

Hari itu begitu menyenangkan bagi mereka berdua. Mark sendiri memperhatikan kesedihan semalam di wajah Andrea lenyap, digantikan keceriaan. Mereka membeli pernak-pernik di pasar barang antik, jalan- jalan di seputar pertokoan sederhana, melihat-lihat pasar hewan, dan mulai makan siang di sebuah coffeeshop unik di ujung pasar. Menikmati makanan yang berbeda sambil memperhatikan anak-anak kecil berlari dan bermain.

“Kau tau tempat ini dari siapa, Mark ?”

“Dari kakek. Tiap aku libur, kami selalu kesini. Menghindari bisingnya kota dan mencari keceriaan di tempat ini. Termasuk ke teluk yang semalam kita datangi,” kata Mark sambil meminum es jeruknya.

“Kita ke teluk lagi yuk !?,” pinta Andrea.

Mark mengiyakan. Setelah membayar semuanya, mereka beranjak pergi dan memacu motor ke teluk.

Teluk kecil itu terlihat berkilauan oleh hangatnya mentari. Andrea berlari ke pasir pantai, melepas sepatunya dan membiarkan rambutnya tertiup angin.

“Bagaimana kalau kita adu teriak ?,” usul Mark.

“Maksudnya ?”

“Ya berteriak. Lepaskan semua belenggu di hati. Luapkan sekencang-kencangnya. Toh tak ada yang mesti terganggu,” kata Mark menjelaskan dengan bersemangat.

Andrea mengangguk tertarik. Dalam hitungan ketiga, mereka berteriak melawan ombak. Andrea tampak puas, dan berteriak berkali-kali sampai serak. Mark menatapnya geli. Seperti melihat gadis kecil yang kegirangan karena mendapat hadiah,

Mereka bermain air, membuat istana pasir, dan saling tertawa. Matahari mulai memerah. Lembayung mulai tampak. Dan memerahnya langit, membuat mereka merasa harus pulang.

Andrea tak hentinya bicara sepanjang perjalanan pulang. Mark sampai lelah sendiri. Tapi setidaknya ia bisa membantu Andrea menemukan keceriaan kembali.

Sampai di gerbang yang luas dari bagian rumah Andrea, Mark menghentikan motornya. Andrea turun, dan meminta Mark ikut turun juga. Mark pikir Andrea akan mengajaknya masuk, tapi bukan itu yang terjadi. Andrea malah memeluknya erat penuh rasa terima kasih. Tanpa bicara apa-apa, Andrea mengecup pipi kiri Mark dan berlalu menghilang ke dalam rumah.

Bengong. Mark meraba pipinya. Seumur-umur yang melakukan ini padanya cuma Mrs.Russel, tak pernah ada yang lain. Bahkan di usia 16 tahun ini, baru kali ini ia dicium cewek.

Pulang dengan jantung berdebar tak karuan. Apakah perasaan persahabatan selama ini akan berubah ? Mark tak tau. Tapi ia merasa ada yang lain tersimpan di sudut hatinya. Sesuatu yang tak bisa digambarkan, untuk Andrea.

š{

“Mark, jadi ini ya yang namanya urusan lelaki !?,” tanya ibunya sambil tersenyum simpul, menyodorkan halaman tengah sebuah majalah remaja.

Mark melihat majalah itu, mencari tau apa maksud perkataan ibunya. Lalu ia melihat foto dirinya dan Andrea sedang makan di coffeshop, jalan-jalan di pasar, dan main di teluk. Bahkan ditulis judul besar : RUSSEL DAN PAULINE, APA YANG TERJADI DI ANTARA MEREKA ?

“Paparazzi sialan !,” umpat Mark sambil melempar majalah.

“Sejak kapan kau punya cewek, Mark ? Aktris muda lagi,” tanya Mom.

“Mom, ini tak seperti yang dibayangkan. Kami hanya bersahabat. Cuma itu,” bantah Mark.

“Sahabat !? Awal yang bagus,” bisik Mom sambil berlalu ke dapur.

Mark malas menanggapi berita di majalah, terserahlah apa yang akan dipikirkan orang. Yang penting mereka cuma sahabat yang saling membantu, tak lebih.

Tapi hanya sebatas itukah yang diinginkan Mark ? Cuma sahabat ? Tidak, jauh di relung-relung terdalam perasaannya bersorak-sorak mewartakan rasa aneh yang tumbuh menderu setiap saat. Mark sendiri tak mengerti apa yang sedang berkecamuk di hati dan pikirannya.

Tak ada telepon untuk Mark hari itu. Ia mencoba menghubungi Andrea, nihil, telepon rumah tak diangkat, ponsel dimatikan. Yang ada malah telepon iseng dari paparazzi  yang tak henti mengganggu Mark. Maka, dengan sebal, Mark menon-aktifkan ponselnya.

Mark harus ke lokasi hari itu. Masih malas tentunya, Mark memacu lagi motornya yang setia. Mendung bergulung di langit. Aneh sekali, awal musim panas dengan langit menghitam, bukannya cerah.

Benar saja. Sekilometer dari rumah, Mark mulai merasakan titik-titik hujan menyerang pandangannya. Bukan hanya itu, tiba-tiba persimpangan tiga jalan macet. Karena pakai motor, Mark muda saja menyelip. Heran kenapa ada kemacetan di hujan-hujan begini ?

Ada ribut-ribut di ujung jalan. Mungkin ada perkelahian atau kecelakaan. Mengabaikan rasa penasarannya, Mark memutuskan tidak ikut melihat apa yang terjadi. Ia mulai memacu motor perlahan, takut telat. Lagipula hujan sekarang mulai garang.

“Hei lihat, dia kan artis cewek yang ada di majalah,” terdengar suara seorang gadis dengan desibel tinggi melengking.

Mark tersentak. Perasaannya langsung tak enak. Ia lalu berbalik, memarkir motor di trotoar, lalu setengah berlari menuju kerumunan. Sedikit mendorong-dorong, ia menyelinap masuk ke tengah. Ada sosok gadis muda dengan tangan dan kaki luka, kepala berlumuran darah yang mulai terhapus hujan, namun tertelungkup. Rok birunya terkena bercak darah, serta kemeja putihnya.

Mark membuka helmnya. Tak ada yang memperhatikan wajah Mark. Perhatian semuanya terpusat pada si korban kecelakaan. Ragu, masih menyebabkan gemetarnya tangan Mark ketika memberanikan diri membalik tubuh lunglai itu.

“ANDREA !!,” pekik Mark.

Napasnya terasa terbang. Tak percaya menatap gadis di pangkuannya. Sesaat kemudian, ia langsung menggendong Andrea dan membawanya berlari ke tempat terlindung. Mark menarik ponselnya yang terlindung di sakunya. Basah, tapi berfungsi, Mark mengaktifkan, dengan masih memeluk Andrea, ia menelepon rumah sakit.

Jaketnya penuh darah sekarang. Begitu ambulans datang, ia langsung membawa Andrea masuk dan ikut bersama petugas rumah sakit, melupakan motornya di trotoar, dan helmnya yang tergeletak basah di jalan. Sementara itu, orang-orang sekitar tersadar bahwa yang tadi menggendong gadis itu adalah Mark Prince Russel, si aktor muda.

Mark tak sanggup bicara apapun, bahkan ketika Andrea dibawa masuk ruang operasi. Ia berusaha menghubungi Mrs.Pauline, yang ada Cuma telepon sibuk. Sementara Mr.Pauline, tidak diangkat.

Setelah memberi tau sutradara dan ibunya perihal Andrea, Mark hanya bisa menunggu sendiri di kursi rumah sakit. Berdoa sebisanya. Waktu berjalan lambat sekali, hingga darah di jaket mengering. Andrea dioperasi, ia tau itu, meskipun hanya atas izin dan kebijaksanaan mendadak dari tim medis, mengingat nyawa gadis itu yang berada di ujung tanduk. Berusaha menghubungi Mrs.Pauline lagi, untungnya tidak sibuk. Buru-buru, dengan cemas, Mark memberi tau apa yang terjadi. Mrs.Pauline tersentak, dan langsung bergegas.

Dua jam lebih. Mark masih menatap pintu ruang operasi. Lalu pintu menjeblak terbuka. Tim medis mendorong tempat tidur Andrea beserta infuse, memindahkannya ke ruang baru. Artinya Andrea sudah selesai di operasi, dengan perban di kepala, tangan, dan kaki.

Mark masuk ke tempat Andrea dipindahkan. Menunggu di samping tempat tidur Andrea. Melihat cemas ke kepalanya yang disangga, serta bantuan pernafasan yang baru dipasang.

Pintu kamar menjeblak terbuka. Dokter disusul Mrs.Pauline yang ketakutan menubruk dan menangisi Andrea.

“Apa yang terjadi Mark ?,” tanya Mrs.Pauline sesenggukan.

“Kecelakaan. Andrea ditabrak seseorang. Saya juga tidak tau kronologisnya.”

Mark balik bertanya pada dokter.

“Apa dia akan baik-baik saja ?,” katanya cemas.

“Kami belum bisa memastikan. Tapi jika ia bisa segera siuman, itu jauh lebih baik. Ada pendarahan di belakang kepalanya. Sudah kami atasi. Tapi ia lebih butuh dukungan psikologis daripada sekedar bantuan medis.”

Tim dokter berlalu pergi.

“Mark. Bisakah kau menjaga Andrea disini ? Tante akan mencari si Jacques itu. Entah dimana dia kini. Mungkin sibuk bersama puluhan perempuan dan bergalon-galon alkohol.”

Nada suaranya getir. Bisa-bisanya berpikiran seperti itu ketika anaknya terbujur tak berdaya disini. Heran sekali, Mark menatap wanita yang seumur ibunya itu pergi keluar tergesa-gesa.

Andrea, bangunlah. Cuma itu yang kuinginkan, bisik Mark.

š{

Mark menatap sendu ke sekitarnya, merasakan hangatnya cuaca di akhir musim panas sore itu. Masih berjalan pelan, menyusuri deretan makam marmer yang tampak damai. Ia terus berjalan, menenteng seikat bunga berwarna putih sampai akhirnya berdiri terpaku di makam berpualam biru-hijau yang masih baru. Sesaat kemudian, Mark mendekat ke pinggir makam, lalu menggumamkan beberapa kata.

“Aku belum sempat  jujur padamu, tapi yang terjadi, kau sudah jauh dari jangkauanku. Kuharap di masa yang lain, kita bisa bertemu, lebih dari sekedar sahabat. Percayalah padaku, ku yakin, kita akan bertemu lagi.”

Tepat di akhir katanya, Mark menyentuh nama yang terukir indah di nisan makam. Lalu ia berbalik, melangkah pergi.

“CUT !”

š{

Mark melangkah menyusuri karpet merah panjang. Penuh kilat lampu blitz, teriakan histeris, dan poster-poster besar. Wawancara sekilas dengan beberapa wartawan TV dan majalah, setelah itu Mark masuk ke aula gedung glamour dan besar, duduk di deretan depan sambil sedikit menyapa beberapa undangan.

Selama acara berlangsung, Mark diam saja. Ia memperhatikan acara, tapi ia tak begitu antusias. Selang beberapa jam kemudian, acara selesai. Mark keluar, sekali lagi dikerubungi wartawan sekitar setengah jam. Bosan, ia melangkah ke belakang gedung, tempat motornya yang setia menunggu di sudut gelap lampu jalan redup.

Ia mendekap helm motornya. Slide-slide kenangan berkelebat di benak Mark. Lain dengan acara pemutaran film terbarunya, slide-slide ini mengingatkannya pada gadis cemerlang yang dulu dikenalnya, Andrea.

Ia tak pernah tau lagi kabar maupun sekedar omongan publik mengenai Andrea. Sejak kecelakaan itu, Andrea benar-benar pergi darinya. Andrea sudah hilang, dibawa oleh vonis dokter yang menyebutkan hampir semua memori dalam benak Andrea sudah terhapus, akibat dari pengangkatan gumpalan darah beku sisa operasi di otak kecilnya. Sedangkan orang tua Andrea yang hampir berpisah, harus mengesampingkan masalah mereka demi kesembuhan Andrea. Mereka memutuskan untuk membawa Andrea keliling seantero benua mencari ketenangan demi terapi psikologi Andrea.

Mark sendiri tidak yakin, apakah Andrea masih ingat padanya atau nama Mark benar-benar sudah lenyap tak berbekas dari dirinya. Mark tidak tau, tapi hati kecilnya masih berharap.

Tersadar dari lamunannya, Mark memakai helm, mulai menyalakan motor. Terdengar suara langkah-langkah lembut di belakangnya. Mark sempat tercenung, tapi memutuskan untuk mengabaikannya.

“Mark, boleh aku ikut ?”

Mesin motor langsung mati. Mark tersentak. Suara yang sama, yang sudah lama tidak didengarnya, kini terngiang di jalan itu. Masih tidak percaya, Mark merasionalkan diri, menganggap itu sekedar halusinasi.

Ketika mulai men-starter lagi, ia merasakan tangan lembut menyentuh lengannya. Berbalik, ia melihat dengan samar, sosok seorang gadis di depannya. Membuka helm, dan Mark ternganga.

Andrea, tidak salah lagi, berdiri dihadapannya. Mark tidak bisa bicara apa-apa.

“Mark, boleh aku ikut ?,” suara lembutnya sekali lagi terdengar.

“Andrea…ini kau…benar, ini…”

Andrea tidak menjawab. Hanya mendekat dan merangkul Mark erat. Lalu, setelah mengurai rangkulannya, Andrea bertanya lagi.

“Percaya kan !? Ini memang aku.”

Akhirnya Mark menyadarinya dengan bahagia.

“Kupikir amnesia-mu, bikin aku sudah tidak ada lagi dalam ingatanmu, Andrea. Lagipula tak ada kabar tentangmu membuatku berpikir bahwa kau sudah lupa padaku.”

Andrea tersenyum.

“Hampir semua yang kuingat hilang Mark. Tapi ingatanku masih seperti foto tentang kamu. Dan, yang membuatku sadar dari pingsanku itu, adalah kau. Kata-katamu bahwa aku harus percaya padamu. Percaya bahwa kamu selalu ada untuk memberiku dukungan dan kebahagiaan.”

Mark tak bicara lagi. Ia menggenggam tangan gadis itu.

“So, sekarang kita mau kemana ?,” tanya Mark.

Andrea masih tersenyum manis.

“Kita ke teluk, yuk !? Sudah lama aku tidak kesana. Enam bulan tidak tau apa-apa bukan masa yang menyenangkan lho,” katanya menjelaskan.

“Wah, sejak kapan kamu jadi sedikit bawel kayak gini ?,” kata Mark senyum jail.

Andrea tertawa. Lalu tanpa banyak kata, Mark menyalakan motornya, dan pergi bersama Andrea. Berbeda kali ini, karena tanpa kesedihan, tanpa tangis, yang ada, cuma rasa percaya kan kebahagiaan nyata yang mereka jalani, lebih dari sekedar sahabat.

šthe end


10 July-27 October

2005

           

No comments:

Post a Comment

The Long Conversation With You

  “The worst part of holding the memories is not the pain. It's the loneliness of it..." - Lois Lowry Hi Mas, it's been a while...