July 22, 2016

Bara Api Jingga

Cerpen ini dibuat dalam rangka mengikuti Giveaway Penggemar Novel Fantasi Indonesia bulan Juli 2016


Sabtu, 16.47 WIB
            Ruang rapat mulai kosong. Hiruk pikuk diskusi alot tadi sepertinya sudah menghilang begitu saja, digantikan dengan sisa-sisa kertas dan whiteboard yang penuh coretan. Hanya tinggal Jingga yang masih sibuk dengan laptopnya, mengecek berulang-ulang semua persiapan, rundown, sponsor, perlengkapan, dan segala celah dalam penyelenggaraan Festival Budaya Kampus minggu depan. Jingga, sang Ketua, sedikit perfeksionis, membatin berulang-ulang kalau acara ini harus sukses dan meriah sampai penutupan selesai. Dengan harapan festival ini akan jadi kenangan manis bagi semua yang menyaksikannya.
            “ Mas Jingga, saya duluan ya, permisi.”
            Jingga kaget, dia pikir dia tinggal sendirian. Ternyata Rem barusan pamit.
            Remiza Astria, mahasiswi semester 3 dari Fakultas Psikologi yang sedikit menggugah rasa ingin tahunya. Kacamata, kucir kuda, ransel biru tua, dengan tampilan seperti anak SMA, tak lupa kamera SLR besar yang dibawa kemana-mana. Menarik, pikir Jingga. Tetapi sayang, Rem selalu ditemani Mo, seperti pengawal pribadi, dan akan sulit bagi Jingga untuk mencoba mendekatinya.
            Bukan berarti tidak bisa, batin Jingga.


Senin, 13.19 WIB
            Rem menyeruput jus apel dinginnya, di meja favorit di pojokan kafetaria kampus. Menghela napas panjang memperhatikan hasil jepretannya di layar laptop. Festival Budaya akan dilaksanakan mulai hari Jumat, rasanya persiapan panitia publikasi dan dokumentasi sudah cukup baik, namun Rem masih mengkhawatirkan eksekusi acara puncak hari Sabtu malam.
            “ Harusnya kamu nggak usah ikut, Rem,” kata Mo di sampingnya.
            “ Nanggung Mo, kan seru. Apalagi Malam Puncak. Kembang api. Kalau difoto dengan pencahayaan yang oke, bakal bagus banget lah,” jawab Rem dengan antusias.
            “ Bukan cuma itu yang kamu tunggu, kan !?,” balas Mo dingin.
            Rem langsung mengalihkan pandangannya dari layar.
            “ Apapun yang mau kamu bilang Mo, aku bakal tetap melanjutkan rencanaku.”
            Mo hanya menatap Rem sedih.

Kamis, 20.37 WIB
            “ Aku antar pulang ya Rem.”
            Jingga menjejeri langkah Rem yang baru keluar dari gedung olahraga tempat persiapan pembukaan Festival berlangsung. Ini kesempatan langka, tidak terlihat sosok Mo seharian ini.
            “ Eh, nggak usah Mas. Aku nungguin Kak Shaz, kakakku mau jemput katanya,” tolak Rem halus.
            Jingga kecewa, tapi tidak menyerah.
            “ Ya udah. Aku temenin sampai kakakmu datang. Anyway, panggil Jingga aja. Nggak usah pakai Mas segala.”
            Rem mengangguk tersipu.
            Kemudian terdengar lagu pembuka Doraemon membahana, ternyata nada dering ponsel Rem. Geez, lovely nerd, batin Jingga. Rem buru-buru mengangkat teleponnya.
            “ Satu-dua jam lagi !? Aku lapar nih kak,” kata Rem berbicara pada siapapun di telpon. Kak Shaz sepertinya.
            “ Heuuu, pasien gawat. Yaudah deh, aku naik taksi aja. Bye, Kak,” lanjut Rem menutup pembicaraan.
            Jingga tersenyum.
            “ Yes, rejeki aku. Yuk, ku antar pulang. Daripada naik taksi sendirian. Dan karena kamu lapar, kita makan dulu. Ada nasi angkringan yang enak di seberang kampus,” kata Jingga bersemangat.
            Rem tidak punya alasan menolak.

Jumat, 06.48 WIB
            Rem mendadak terbangun. Astaga, dia pasti bakal terlambat. Buru-buru, Rem siap-siap. Rem begitu sibuk membereskan kamera dan perlengkapannya, sementara Mo sudah hadir dan duduk di ujung tempat tidurnya.
            “ Mo, kemana aja kamu ?,” tanya Rem berbasa-basi.
            “ Menjenguk Mama. Aku kangen,” jawab Mo lirih.
            Rem tertegun.
            “ Maafin aku ya Mo,” kata Rem, meskipun maaf itu tidak terlihat di kedua mata cokelatnya.
            Mo bergeming.
            “ Kamu dideketin Jingga ?”
            “ Err..kayaknya sih Mo,” kata Rem, agak jengah.
            “ Hati-hati Rem. Jingga bukan cowok biasa,” kata Mo menegaskan suaranya.
            Rem terkekeh pelan.
            “ Santai Mo. Jangan paranoid gitu. Jingga baik kok. Dan tenang. Dia nggak bakal bikin aku hilang fokus buat festival ini.”
            “ Justru aku berharap kamu berhenti dengan rencana kamu.”
            Rem lagi-lagi tertawa dingin. Lantas menyeret ransel dan buru-buru keluar dari kamarnya menuju kampus.

Jumat, 18.21 WIB
            Pembukaan Festival Budaya Kampus ke-9 berlangsung meriah. Sejak pagi, kampus ramai dan acara berlangsung aman terkendali. Jingga mengangguk puas pada seluruh panitia yang telah bekerja keras selama berminggu-minggu untuk menyukseskan acara ini. Briefing terakhir sebelum acara puncak esok hari pun telah usai. Api unggun dan kembang api sesuai tradisi akan dilaksanakan esok malam dan dijamin akan membuat semua pengunjung serta panitia bergembira.
            Jingga menatap Rem di ujung meja. Masih mengecek foto-foto dalam kameranya, sementara rombongan panitia yang lain telah berangsur-angsur meninggalkan ruangan. Jingga beranjak mendekati Rem.
            “ Bagus dong ya foto-fotonya ,” tanya Jingga.
            Rem tersenyum.
            “ Lumayan, tapi kayaknya belum bakal bisa ikut kontes di National Geographic,” jawab Rem sekenanya.
            “ Masukin aja. Siapa tau beruntung. Akhir bulan ini kan deadline-nya ,” kata Jingga sok tahu.
            “ We’ll see. Foto besok bakal bagus banget kayaknya.”
            Jingga tersenyum.
            “ Semoga sesuai rencana deh besok. Biar jadi Festival Budaya yang paling memorable. Anyway, kamu nggak pulang ?,” tanya Jingga lagi.
            “ Bentar lagi. Kak Shaz masih on the way dari klinik.”
            Mereka tinggal berdua saja di ruang rapat. Situasi berubah jadi keheningan yang canggung. Jingga kehabisan kata-kata. Rem pun sama. Jingga mulai merapatkan duduknya. Jingga mulai bisa mencium wangi stroberi, parfum Rem sepertinya.
            Lalu Rem tiba-tiba berdiri.
            “ Sorry Jingga. Aku lupa. Ada yang ketinggalan di gudang belakang. Duluan ya,” kata Rem sambil mulai berlari meninggalkan Jingga sendirian. Jingga hanya termangu.
            Misterius, sulit, tapi hari esok akan merubah segalanya, kata Jingga pada diri sendiri.


Minggu, 05.54 WIB
            Gerimis hujan turun membasahi bumi. Asap mengepul kehitaman sedikit-sedikit mulai berkurang. Para petugas berseragam oranye masih mondar-mandir di area lapangan di belakang kampus. Bangunan gudang yang terbakar sudah mulai kelihatan puing-puingnya.
            “ Kebakaran besar telah menghanguskan gudang Universitas Pranatama tadi malam. Kebakaran diduga dipicu oleh arus pendek listrik yang terlambat diketahui karena sedang ada api unggun dan festival kembang api di sekitar tempat kejadian. Belum dipastikan ada atau tidaknya korban jiwa dalam kejadian ini,” kata si penyiar TV swasta yang berdiri beberapa meter jauhnya di depan lapangan. Sejurus kemudian, tampak petugas berlarian ke gudang karena menemukan sesuatu yang menggemparkan.
            Mo menghela napas. Rem menunduk di sebelahnya. Menatap nanar pada puing-puing gudang yang terbakar.
            “ Ternyata sakit ya, Mo,” bisiknya pada Mo.
            Mo hanya diam menatap sedih pada Rem.
            “ Jingga mungkin menyimpan kameramu.”
            “ Hasil karyaku Mo. Karya terakhirku.”

Senin, 11.27 WIB. Dua minggu kemudian.
            Jingga menatap foto-foto yang berserakan di meja kamarnya. Memang foto-foto yang bagus. Cahaya api yang menari-nari terlihat seakan hidup kembali. Jingga puas. Foto-foto dari kamera Rem. Usahanya berakhir sukses. Meskipun sayang sekali, dia harus kehilangan Rem.
            But it’s worth it, batinnya sambil menyentuh sisa luka bakar kecil di tangan kanannya.
            Rem melayang bersama Mo dari balik jendela kamar Jingga. Jingga tertegun, lantas menghadap ke jendela dan menatap langsung pada Rem dan Mo.
            “ Ah, Rem. Mo. Sudah kuduga. Yuk, masuk. Aku nggak perlu buka jendela kan !?, ” kata Jingga tertawa, dingin dan menusuk.
            Rem dan Mo masuk perlahan. Lantas tertegun menatap dinding kamar Jingga. Foto-foto cahaya api dari berbagai sisi terpampang memenuhi dinding. Dan di tengahnya, foto siluet manusia terbakar yang dengan geliat ketakutan, sakit, dan mengenaskan terbingkai sempurna.
            “ Mahakarya,” bisik Rem lirih.
            Jingga tertawa gembira.
            “ Terima kasih untuk pengorbananmu Rem,” kata Jingga sambil menyentuh pipi transparan Rem.
            Mengabaikan dingin yang menjilati jemarinya, Jingga lantas berbicara pada Mo.
            “ Dulu Rem yang melakukan ini padamu kan ?”
            “ Itu bukan urusanmu,” jawab Mo ketus.
            Jingga tertawa lagi.
            “ Setidaknya kau mesti berterima kasih padaku, Mo. Aku sukses menyatukan kalian kembali di alam yang sama,” kata Jingga gamblang.
            “ Bukan hak mu,” balas Mo sengit.
            Jingga hanya tersenyum.
            “ Sederhana saja. Aku hanya bosan. Ada api, ada gudang, ada listrik. Plus rencana cerdas bonefire kamu, Rem. Yah,aku perlu foto bagus sih. Sayang banget ya Rem, harusnya kita ikut kontes National Geographic bareng,” kata Jingga santai.
            Kecewa dan pedih, Rem dan Mo lantas menghilang, meninggalkan Jingga yang mulai tertawa keras dengan kepuasan abnormal.
            Lalu gerimis mulai hadir menghapus bau jejak dan kepulan asap.

---end--            

No comments:

Post a Comment

The Long Conversation With You

  “The worst part of holding the memories is not the pain. It's the loneliness of it..." - Lois Lowry Hi Mas, it's been a while...