May 29, 2018

Bara Dalam Kabut

“...I’ve never been angry to have been born a woman. There have been times I’ve been angry at how the world treats us, but I see being a woman as a challenge I must fight. Like being born under a stormy sky. Some people are lucky enough to be born on a bright summer’s day. Maybe we were born under clouds. No wind. No rain. Just a mountain of clouds we must climb each morning so that we may see the sun...”
- Takeda Yumi -



Saya masih ingat masa-masa ketika saya masih menggandrungi anime Samurai X yang terkenal itu. Jaman esde kalau ndak salah. Kepincut berat sama tokoh-tokohnya sampai hapal sontreknya. Kisah Rurouni Kenshin nan legendaris itu nyatanya menjadi banyak acuan untuk kisah-kisah serupa dalam ranah manga dan anime di masa kini.

Kemarin, saya baru saja menyelesaikan membaca sebuah novel terjemahan karya Renee Ahdieh berjudul FLAME IN THE MIST (BARA DALAM KABUT) yang diterjemahkan oleh Penerbit Kosa. Renee dulu pernah menelurkan dwilogi THE WRATH AND THE DAWN fenomenal yang menjadi retelling berbeda dari kisah 1001 Malam (lalu sibuk fangirling-an sama tokoh-tokohnya).


FLAME IN THE MIST memang juga sukses membuat fangirling. Kisah yang gosipnya seperti kisah Mulan, dimana seorang putri bangsawan menyamar jadi lelaki untuk menyelamatkan keluarganya, mengusung aroma feodalitas kental Jepang masa lalu. Penuh dengan samurai, perang, intrik politik, dan tentunya romansa yang bikin menjerit.

Hattori Mariko adalah putri bangsawan Hattori Kano yang akan dinikahkan dengan putra Kaisar Kerajaan Wa. Mariko adalah gadis aneh dan feminis yang tidak lazim dengan kerasnya budaya Jepang terhadap peremuan di masa feodalitas yang kental. Namun keadaan membuat Mariko terpaksa menyembunyikan identitas wanitanya untuk menyelidiki rombongan Klan Hitam yang dicurigai telah menyabotase perjalanannya menuju ke Kekaisaran untuk menikah.

Nyatanya Mariko berhadapan dengan pimpinan Klan Hitam yang cerdas bernama Takeda Ranmaru dan wakilnya-sang Serigala misterius bernama Okami. Sejarah yang berkelindan dengan pemberontakan, ronin terbuang, shogun, pengkhianatan, aroma sihir dan perebutan kekuasaan, mewarnai kisah yang nyatanya tidak sederhana ini. Masalah jadi pelik karena Mariko harus berhadapan dengan kakaknya sendiri, Hattori Kenshin, sang Naga dari Kai.

Isu feminisme cukup jadi fokus di kisah ini. Bagaimana kefeodalan masa itu menempatkan posisi wanita sebagai barang dagangan. Namun Renee mulai mendobrak kejanggalan ini dengan cara yang manis perih memikat. Masalah yang utama dalam membaca kisah ini adalah terjemahannya yang kurang smooth sehingga mengganggu untuk mendapatkan vibe nya di awal kisah. Sayang sekali.

Edisi terjemahan oleh Penerbit Kosa


Bagi khalayak pembaca wanita, bacaan ini menyegarkan dan membuat merona. Memang level romansanya dewasa yah. Ada adegan anu anu. Tapi selain jumlah cowok yang bisa dijadikan idola cukup banyak (Takeda Ranmaru, Okami, Raiden, Roku, Kenshin,dll), saya tertarik dengan plot politiknya. Aura pengkhianatan dan kelicikan yang samar, muncul bagai kabut pekat. Entahlah kebenaran itu bisa kuat, hanya tampil bagai segenggam kecil bara. Such a nice story.

Semoga terjemahannya dilanjutkan, tapi plis diperbaiki dong ya, biar lebih wow dan menyenangkan untuk dibaca.



“...Be as swift as the wind. As silent as the forest. As fierce as the fire. As unshakable as the mountain. And you can do anything...”
- Renee Ahdieh - 



No comments:

Post a Comment

The Long Conversation With You

  “The worst part of holding the memories is not the pain. It's the loneliness of it..." - Lois Lowry Hi Mas, it's been a while...