January 16, 2019

Kura-Kura Melawan Raja

"...Kura-Kura Berjanggut, kisah tentang seekor kura-kura tua yang merasa dirinya paling pintar dan bijaksana, tapi ditipu oleh seekor unta pengelana yang dikutuk Nabi Sulaiman..."
- Sultan Nuruddin -

Kapal Inggris yang mendarat di Kerajaan Lamuri

Beberapa waktu lalu, saat saya berpartisipasi dalam diskusi hangat tentang sebuah novel fantasi terjemahan yang disponsori penerbit, saya dan seorang publisis penerbit tersebut membicarakan topik di luar bahan diskusi hari itu. Sebuah novel lokal berjudul KURA-KURA BERJANGGUT, karya Azhari Aiyub yang ternyata terbit April 2018 dan memenangkan Kusala Sastra Khatulistiwa 2018. Novel ini menjadi semacam perbincangan hangat di komunitas di luar zona nyaman saya yang sebagian besar berkutat pada novel fantasi terjemahan.

KURA-KURA BERJANGGUT dapat dikategorikan sebagai semacam fiksi sejarah. Ditulis dengan rinci dan meyakinkan, novel setebal 960 halaman ini menjadi sebuah karya yang 'berani' untuk penulis Indonesia. Mengapa saya sebut demikian? Karena menulis dan menerbitkan novel setebal ini pertaruhannya tidak main-main, harga produksi saja sudah bikin pusing. Lantas, apakah layak dengan ketebalan begini?
Saya cukup biasa membaca novel-novel tebal (ciyee, sombong). Dalam ranah fantasi terjemahan, tebal berarti lebih asik. Ambil saja contohnya Harry Potter dan Orde Phoenix dengan tebal edisi terjemahan sekitar 1200 halaman dan IT setebal 1376 halaman dalam edisi internasional. Dua novel tersebut jelas memuaskan dalam ketebalannya. Namun saya penasaran akan keberanian seorang penulis dalam negeri yang mampu menelurkan karya setebal ini, menang penghargaan pula. Karya tebal lokal terakhir yang saya baca itu memiliki tebal sekitar 800 halaman lebih, yakni Intelegensia Embun Pagi-nya Dee Lestari, karena itu fantasi-fiksi ilmiah.

KURA-KURA BERJANGGUT mengambil kisah di Kesultanan/Kerajaan Lamuri, sebuah kesultanan yang berlokasi di sekitar Sumatera Utara dan NAD saat ini. Kesultanan Lamuri ini tidak seterkenal Kerajaan Islam Samudera Pasai, sejarahnya pun masih simpang siur hingga kini. Saya sempat tanya mbah G (Google-lah), tentang profil kesultanan ini, yang singkat dan belum banyak dieksplor. Yang jelas, Kesultanan Lamuri merupakan penghasil rempah-rempah terutama merica dan menguasai perkapalan.

Novel ini terbagi dalam tiga bagian. Bagian pertama dan paling tebal (sekitar 600 halaman lebih), berjudul Buku Si Ujud. Dalam bagian pertama ini kita akan dibawa dalam alur bolak balik di abad ke-16 mulai dari Kesultanan Lamuri sampai Jazirah Arab, Eropa, dan Afrika di masa itu. Kita dibawa pada urusan balas dendam dari seorang pria yang ingin membunuh Sultan Nuruddin, karena orang tuanya dibinasakan sang Sultan saat baru berkuasa. Buku Si Ujud menyusun perincian dendam, peperangan, perebutan kekuasaan, aspek religius dan kepercayaan, serta kebrutalan zaman. Butuh usaha untuk bisa memahami beberapa istilah lama yang digunakan dalam buku ini, selain harus sering cek glosarium di halaman akhir buku. 

Lantas urusannya apa dengan janggut kura-kura?
Sebuah organisasi rahasia yang menamakan diri sebagai Kura-Kura Berjanggut bersumpah akan membunuh Sultan Nuruddin dengan segala daya dan upaya. Kura-Kura Berjanggut seperti kabut, misterius, memiliki jaringan luas yang sulit dilacak, dan seperti punya sumber daya tidak terbatas. Hal ini membuat Sultan Nuruddin mati-matian berusaha melindungi dirinya, sambil memperluas kekuasaan Kesultanan Lamuri dengan cara brutal. Semua dimodali oleh merica yang berlimpah. Motif Kura-Kura Berjanggut ini pun bervariasi, mulai dari dendam sampai kekuasaan. Dalam kekacauan ini, si pria yang menamakan diri si Ujud, terlibat dan terombang-ambing sambil tidak melupakan dendamnya sendiri. 

Buku Si Ujud mengupas lapis demi lapis riwayat si Ujud yang memiliki banyak nama samaran, Sultan Nuruddin dan asal muasal kehidupan dan kebijakannya, dan beberapa tokoh penting yang terlibat dalam usaha balas dendam ini. Akhir bagian ini cukup miris, dan semua berurusan dengan takdir.

Bagian kedua, Buku Harian Tobias Fuller, mengambil kisah seorang dokter Belanda yang berkunjung ke Lamuri pada awal tahun 1900an. Dokter ini diutus untuk melihat kondisi kejiwaan para pembunuh orang kulit putih yang merebak dalam beberapa bulan terakhir di Lamuri. Pembunuhan acak, dilakukan oleh orang-orang berbeda, yang tidak melarikan diri, mengaku mendapatkan 'perintah membunuh' dari wangsit yang muncul di kitab Hikayat Kura-Kura Berjanggut. Bertekad menemukan kebenaran, Tobias Fuller mencari ragam informasi kesana kemari, berurusan dengan batas kabur realitas dan imajinasi.

Bagian ketiga, Lubang Cacing, merupakan penggalan-penggalan keterangan dari beberapa tokoh dari beberapa zona waktu terkait dengan Kura-Kura Berjanggut. Semua petikan-petikan narasi ini mengesankan fakta yang tersusun dengan nukilan-nukilan informasi yang kecil namun berkaitan. Bagian ketiga ini membuat saya bertanya-tanya, apakah novel ini memang fiksi semata.

Diterbitkan oleh Penerbit BaNana

Lalu bagaimana saya menyimpulkan kesannya?
Erm, mixed review. Saya tidak bisa bilang suka sepenuhnya atau tidak suka. Novel ini jelas merupakan terobosan berani dalam dunia literasi Indonesia. Penulis terbukti melakukan riset dan menghabiskan waktu cukup lama untuk menelurkan urusan carut-marut Kesultanan Lamuri dalam labirin dendam dan kekuasaan. Memang diketahui bahwa butuh waktu 12 tahun sampai akhirnya novel ini berada di tangan pembaca, dan perlu tangan om Yusi Avianto Pareanom (yang bikin Raden Mandasia itu lho), untuk menjadi editornya.
 
Apakah ada nilai-nilai yang bisa diambil? Ini saya bingung terus terang. Novel ini secara gamblang menampilkan sifat buruk manusia, tidak tau siapa yang baik dan jahat dalam kisah ini. Tidak ada kesimpulan standar. Sedih pun tidak, lebih ke terperangah ya. Novel ini menantang. Dan seperti dituturkan apa adanya, tidak seperti sejarah semata yang kebanyakan ditulis oleh sang pemenang peristiwa.

Recommended?
Nah, bagi yang ingin menjelajah khasanah berbeda dalam penceritaan, novel ini cukup menarik untuk digeluti sampai tuntas. Namun, ini adalah novel dewasa yang perlu kebijakan juga dalam membacanya. Bahasa lama, bahasa kasar, unsur seksualitas, kebrutalan yang tidak ditutup-tutupi, tidak sebaiknya diberikan bagi pembaca muda. Kalau bisa dibaca 21 tahun ke atas, karena memang butuh usaha juga untuk memahami beberapa istilah. Sangat disayangkan tidak ada catatan kaki, kita harus rajin cek glosarium dan tanya ke mbah G. 

Bacaan tidak biasa di tahun 2019. KURA-KURA BERJANGGUT ini amat menarik didiskusikan di ruang terbuka, entah dari aspek sejarah maupun aspek sastranya sendiri. Apakah menyerempet ranah fantasi? Tidak banyak dan tidak utama, tetapi mungkin ada sedikit bagian. Berat? Mungkin. Tetapi setidaknya lapisan-lapisan yang banyak dari novel tebal ini membuat saya agak mengerti mengapa layak diberi penghargaan. Belum lagi berhasil membuat saya ragu apakah ini benar-benar sejarah yang terjadi di masa silam atau buah kepiawaian imajinasi. Jelas bukan karya yang cari aman.

PS: saya membayangkan hawa Pirates of the Carribean dalam beberapa hal, tapi tidak lucu dan tidak ada tokoh macam Jack Sparrow.


"...Kura-Kura Berjanggut telah dibasmi sebagiannya oleh baginda Raja, tetapi sulit. Karena sisanya ada di dalam istana. Mereka adalah orang-orang kepercayaan baginda sendiri yang selama bertahun-tahun ikut membasmi gerakan tersebut. Mengenakan jubah tidak menjadikan dirimu seorang pendeta..."
- Pemandu Misterius -


No comments:

Post a Comment

The Long Conversation With You

  “The worst part of holding the memories is not the pain. It's the loneliness of it..." - Lois Lowry Hi Mas, it's been a while...