November 28, 2017

Melipat Jarak, Mengayun Langkah

“Acquire knowledge, it enables its professor to distinguish right from wrong; it lights the way to heaven. It is our friend in the desert, our company in solitude and companion when friendless. It guides us to happiness, it sustains us in misery, it is an ornament amongst friends and an armour against enemies.”

Suatu siang di kebun kurma, Madinah

Sebagai bagian dari sekitar 7,2 milyar populasi manusia di bumi, tentunya kadang saya suka bertanya, buat apa sih kita ini menuh-menuhin planet biru ? Apa tujuan kita diciptakan ? Apa kegunaan kita ? Rasanya sih kalau dipikir-pikir, lumut kerak aja lebih banyak gunanya. Melembutkan tanah yang keras, bikin oksigen sendiri, ga menuh-menuhin tempat, ga sibuk saling menyalahkan, woles adem ga pake urat. Nah, dalam berbagai turun naik fase keimanan dalam hidup, pertanyaan ini tentunya juga muncul dalam kepala saya yang tidak jelas ini.
Kata orang sih, jalan-jalan sono biar ga cranky kurang piknik. Maka jadilah saya yang disponsori bos besar alias papah, bisa jalan-jalan agak jauh ke tempat yang rasa-rasanya mimpi pun saya masih tidak menyangka. Maka dari itu disinilah saya curhat. Maaf ga maksud nyinggung atau pamer atau apalah. Saya kebetulan ekstro tukang cerita, daripada saya pusing baca berita, mending menulis saja.

Kewajiban berhaji adalah poin rukun islam yang dilaksanakan bagi yang mampu. Antrian haji di negara kita itu luar biasa, daftar sekarang bisa 17 tahun lagi baru berangkat. Maka saya mengiyakan saja diajak pergi umroh, alhamdulillah sekali. Beberapa tahun menjalani kehidupan 'manusia dewasa' membuat saya jadi makin getir emosian dan terlalu banyak memiliki pertanyaan dan harapan yang tidak jelas jawabnya. Saya pikir, Sang Maha tentunya punya cara untuk berurusan dengan saya yang remeh ini.

Bertekad untuk mengabaikan segala hitungan pahala, karena sejatinya itu urusan Dia, saya berharap diberi ampunan dan kejelasan apa jalan dan langkah saya selanjutnya. Well, this is serious indeed. Tapi percayalah, begitu sampai di tempat suci tersebut, anda akan mengerti sendiri kenapa banyak orang ingin kembali. Kenapa banyak orang berbondong-bondong mengadu kesana.

Penerbangan sekitar 9 jam bisa ditempuh dengan bahagia. Maskapai yang saya tumpangi itu menyediakan makanan yang enak (jelas ini rakus). Begitu sampai di King Abdul Aziz International Airport, baru deh berurusan dengan imigrasi sebelum nginjakin kaki di negeri orang. Disiplin mereka, jelas perlu dicontoh. Sementara banyak di antara kita yang berangkat untuk beribadah, malah tidak menjalankan disiplin sebagai bentuk ibadah kecil tapi bernilai besar. Kealpaan kita fokus pada sesuatu yang besar membuat kita lupa memperhatikan kelakuan-kelakuan kita yang kecil. Sebut saja tidak menghabiskan makanan di hotel, buang sampah sembarangan, lupa bilang terima kasih sama petugas yang bekerja memastikan kebutuhan harian kita, atau sibuk jadi ahlul phone. Saya sungguh merasa malu. Betapa negara kita yang notabene memiliki jumlah sarjana paling banyak, ngakunya terdidik, namun tidak mampu menerapkan bentuk kebaikan kecil pada orang lain. Apakah kemampuan kita untuk pergi beribadah ke tanah suci telah membuat kita merasa lebih jumawa dari orang lain ?

Saya tidak mau sok menilai. Cukup menjadi pertimbangan diri sendiri saja. Jikalau saya diberi kesempatan lagi untuk kembali, saya harus memperhatikan ini. Percuma pergi berkali-kali tapi antri di imigrasi aja masih ogah. Malu sekali rasanya. Melihat wajah-wajah lelah para petugas yang sepertinya diberi kesabaran luar biasa menghadapi rombongan manusia pendatang yang ngakunya beriman ini.

Masjid Nabawi, Madinah

Jadi apa yang didapat ?

Madinah adalah kota yang tenang. Memang selalu didatangi ribuan umat dari seluruh dunia, tapi Madinah berasa seperti rumah. Cuaca bersahabat, bahkan ada hujan dini hari yang bikin dingin tapi tetap menenangkan. Jarang hujan namun berkesempatan ketemu hujan. See, Tuhan memang Maha Seru. Ribuan orang tumpah ruah, abaikan warna kulit, abaikan bahasa. Tujuannya satu, beribadah. Merinding memang. Nggak ada yang ribut masalah rasisme disini. Tenang, damai, berasa bahwa kita hanya remah dan kecil, dan tidak perlu ribut akan kehidupan dunia yang jelas cuma sementara.

Mekah adalah kota yang sibuk. Digdaya, ramai, megah. Namun kemegahan itu akan berhenti bila suara azan berkumandang. Saya masih ingat, ketika terlambat masuk ke masjidil Haram untuk sholat magrib, terpaksa sholat di emperan toko bersama entah berapa banyak orang lain. Semua berhenti, semua sujud menghadap Ka'bah menyambut panggilan. Tidak ada kerepotan, tidak ada kerempongan. Sholat bisa di jalan. Jalannya dijaga bersih oleh ratusan pekerja. Nggak mesti pakai mukena artis. Ga mesti pakai sajadah impor, sholat ya sholat. Dipimpin langsung oleh imam masjidil Haram yang suaranya dikeraskan lewat kemampuan mumpuni teknologi kota Mekah sehingga berkumandang sama di seluruh penjuru kota. Subhanallah.

Sanctuary. Itu yang rasanya tak terganti. Melipat jarak ribuan kilometer ke tempat ini, rasanya amat sepadan dengan ketenangan yang didapat. Tidak perlu memikirkan besok mau makan apa, besok ada jadwal kerja, urusan dunia fana berasa tidak ada apa-apanya dengan usaha mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Sungguh suatu momen yang pantas diperjuangkan untuk diulangi di kemudian hari.

Selanjutnya syukur. Banyak sekali hal-hal kecil yang bikin hati hangat disini. Mulai dari ketika haus tetiba ada gadis asal India yang nyodorin air zamzam. Lagi duduk natapin Ka'bah, tetiba ada anak kecil yang bagi-bagiin kurma. Ada aja cara orang berbagi kebaikan di tempat ini. Mulai dari nunjukin jalan ke tempat wudhu, berbagi sajadah, jagain tempat sholat, dan banyak hal yang yang kadang lupa kita syukuri di masa penuh amarah ini. Saya ingin kembali kesini.

Terakhir adalah pengalaman. Melihat dan mengamati. Melihat bagaimana warga belahan bumi lain bersikap, bagaimana kita bersikap. Menyimak obrolan insinyur Pakistan berkewarganergaraan Amerika tentang kehidupan muslim disana sejak Donald Trump berkuasa. Mendapat saran langsung dari wanita 38 tahun asal Pakistan (lagi) yang sudah punya enam orang anak dan menikah di usia muda. Dan berbincang dengan dokter ahli akupunktur dari Turki tentang kurs dollar di negara masing-masing. Lucu memang. Tidak ada yang bisa disangka dalam langkah yang panjang ini. Dan jelas saya harus amat bersyukur karenanya.

Kembali ke tanah air adalah salah satu kewajiban yang tidak bisa dihindari. Ingin rasanya bertahan disana. Namun jelas, masing-masing kita bukanlah milik kita sendiri. Tidak bisa seegois itu untuk tidak kembali. 

Doa apa yang saya minta ?
Saking banyaknya saya malu mengulang. Sebagai kumpulan atom karbon organik dengan jumlah kromosom yang berbeda hanya dua buah dari gorilla, saya tak pantas mempertanyakan lagi berapa besar kebaikan dan pengampunan yang telah dan akan saya terima. Ada baiknya saya kembali menata diri ini, biar ga bikin repot lagi dan jadi jauh lebih berguna.

Well, curhatan yang serius. Maunya bercanda sih. Kek menahan hati untuk gak fangirlingan petugas imigrasi Arab Saudi yang ganteng-ganteng tidak terjangkau. Atau betapa makanan selama di negeri orang ini dibikin cocok sama selera saya, membuat niat ngilangin lipatan lemak hanya jadi ilusi. Saya bersyukur alergi tidak kumat, bisa makan eskrim, dan banyak karunia karunia lain yang tidak tau mau mulai darimana bila dituliskan.

Dan saya berharap anda semua punya kesempatan yang sama. Pergi untuk belajar. Belajar bahwa kita bukanlah apa apa tanpa kuasa Sang Maha.

Yo hooman.. what'z up !?


“Faith is walking face-first and full-speed into the dark. If we truly knew all the answers in advance as to the meaning of life and the nature of God and the destiny of our souls, our belief would not be a leap of faith and it would not be a courageous act of humanity; it would just be... a prudent insurance policy.” 
- Elizabeth Gilbert -

No comments:

Post a Comment

The Long Conversation With You

  “The worst part of holding the memories is not the pain. It's the loneliness of it..." - Lois Lowry Hi Mas, it's been a while...