“...In the parallel universe the laws of physics are suspended. What goes up does not necessarily come down, a body at rest does not tend to stay at rest and not every action can be counted on to provoke an equal and opposite reaction. Time, 'too, is different. It may run in circles, flow backward, skip about from now to then. The very arrangement of molecules is fluid: Tables can be clocks, faces, flowers...”
- Susanna Kaysen -
connecting dots, connected universes |
Saya adalah satu di antara sekian banyak pembaca nyinyir yang suka suuzon sama karya bikinan anak bangsa. Tidak dapat saya pungkiri, dari awal bisa membaca saja saya lebih dulu kenal kepada silsilah kehidupan keluarga besar Donal Bebek bikinan Walt Disney yang jelas-jelas impor. Pengalaman dengan karya lokal yang sesuai selera tentunya adalah karya jadul novelis angkatan Pujangga Baru dan Lupus. Untuk genre besar bacaan favorit saya, yakni fantasi, saya berkiblat ke novel terjemahan maupun berbahasa asing. Maka dari itulah, amat sulit bersikap objektif terhadap novel fantasi bikinan penulis lokal. Bisa pada beberapa kasus misalnya seri PENJELAJAH ANTARIKSA-nya eyang Djokolelono atau seri SUPERNOVA-nya mbak Dee Lestari yang berada pada ranah fiksi ilmiah (ini dan ini curhatannya).
Salah seorang partner in crime saya, sebut saja namanya Ray/Rayi/Panda/Gondrong/Gendut adalah pecinta sastra Indonesia yang baik. Beliau mengidolakan penulis yang cukup aktif baik dalam berkarya maupun bersosial media (lengkap dengan kontroversinya) bernama Darwis Tere Liye. Saya tidak tertarik dengan karya-karya beliau, meskipun si Panda pernah merekomendasikan beberapa. Hingga akhirnya om Tere menyerempet ke ranah fantasi dengan menelurkan novel berjudul BUMI, beberapa tahun silam.