June 28, 2020

Strategi Coping dan Sinema Sinting


"..The oldest and strongest emotion of mankind is fear, and the oldest and strongest kind of fear is fear of the unknown..."

- Howard Philips Lovecraft -


Image courtesy: ma2ereki on tumblr


Menghadapi tekanan mental di masa pandemi bukanlah hal yang biasa saja. Ya kita tau bahwa tiap-tiap individu sedang berjuang dengan caranya sendiri untuk bertahan dalam entah apa saja namanya yang dihadapi setiap hari di tahun 2020 yang sesuatu banget ini. Strategi coping adalah sebutan keren untuk upaya menghadapi masalah ini. Strategi ini terbagi tiga, emotion-focused coping (menghindari masalah dengan menjauhi masalah itu), problem-focused coping (memilih mendayagunakan segala upaya untuk menghadapi si masalah tanpa menyalahkan siapapun), atau gabungan keduanya.

Lalu apa yang saya pilih?

Dengan tidak mencurhatkan masalahnya, saya memilih salah satu strategi coping ala saya dengan mencari dukungan moril kesana kemari dari orang-orang yang saya anggap penting. Nah dalam periode bersama orang-orang ini, saya diajak (mungkin setengah dipersuasi/dimanipulasi/dipaksa) untuk menonton jenis sinema yang selalu saya bilang OGAH karena alasan klasik. Takut coy. Meskipun saya adalah butjin oom Stephen King yang novelnya yassalam sesuatu disturbing dan ngerinya, saya oke oke aja membacanya. Tapi kalau diajak nonton pilem horor atau thriller atau sebangsanya, mikirnya banyak, skip aja. Saya masih ingat pengalaman jaman SMP (eak tahun brapa itu) diajak nonton TUSUK JELANGKUNG bikinan Dimas Djay yang sukses membuat saya takut ke kamar mandi sendirian lebih dua mingguan.

Jadi sinema alias pilem apa aja itu?

Kita mulai dari yang jadi gambar pembuka ini. MIDSOMMAR (2019), bikinan Ari Aster. Pilem ini gak ada setannya, gak ada jurig segala macem bentuk. Yang ada adalah momen-momen disturbing yang bikin 'uuughhh', 'iyuuuhhh', trus istighfar berkali-kali. Jenis pilem memualkan dan 'amat mengganggu'. MIDSOMMAR adalah semacam pilem thriller yang mengusung 'kegilaan berjamaah' dari sekelompok penganut kepercayaan sejenis Paganisme di suatu daerah terpencil di Swedia. Latarnya terang benderang warna-warni. Cerah ceria. Tapi ya itu. Mual. Saya ga hapal banget tokoh-tokohnya. Tapi emang nampol kegilaannya. Mengingatkan saya terhadap suatu momen kontroversial dalam THE DAVINCI CODE nya Dan Brown (kalau yang baca bukunya pasti ngeh), CHILDREN OF THE CORN (cerpen singkat dalam kumcer THE NIGHT SHIFT bikinan Stephen King), dan IN THE TALL GRASS (2019).


Pelem yang menuai beragam respon 'sesuatu' di mana-mana ini melibatkan kisah serombongan turis liburan yang ujung-ujungnya terlibat dalam ritual Paganisme di pedalaman terang-benderang. Ritual Paganismenya bikin kening berkerut dan lambung terpilin. Huek cuy. Harus saya akui, akting semua orang di pelem ini mengesankan. Bukannya mau sok pintar, tapi delusi massal yang digambarkan dalam kisah ini beneran joss. Ngerinya beda gitu. Something wrong with everyone here! Ya konklusi kisahnya pun, ya begitu. Bukan pelem biasa, sinting gitu ya. Kalau mau nonton ini disarankan jangan sambil ngemil.

Up next. THE LODGE (2019) bikinan Veronika Franz dan Severin Fiala yang katanya noticeable juga di kalangan penikmat pelem. THE LODGE ini adalah sejenis pelem thriller psikologis yang diawali dengan emak-emak bunuh diri di tengah hari. Dor! Gitu aja, bikin pala sakit nontonnya. Lalu si tokoh perempuan utama yang mantan anggota sekte apa gitu, terjebak sama anak-anak dan suami si emak yang bunuh diri ini di sebuah villa musim dingin. Mulai deh kegilaan terjadi. Sematjam cabin fever kali yak. Nah anak-anak ini yang awalnya bikin masalah, terus ya gitu deh.


Terlepas dari respon umum yang wara-wiri di internet soal pelem ini, entah kenapa saya ga klik gitu. Emang ngagetin, creepy lah sikit, tapi ya udah ya. Gitu aja. Malah ngantuk gitu. Emang ga ada wujud-wujud astral di pelem ini. Namun ya kesannya gitu aja, ga nancep. Mungkin masalah selera. Yang jelas, saya juga heran, ngapain sih orang-orang ni hobi liburan jauh-jauh ke tempat dingin dan terpencil. Apa ga ngeri ya?


Selanjutnya adalah pilem yang gak nyangka kalau sinting juga. GRETA (2018) yang disutradarai oleh Neil Jordan awalnya saya pikir adalah pilem drama keluarga standar. Ikutan nonton ini karena diputar di HBO GO-nya Dedek yang naksir si Chloe, yang main pelem ini. Taunya oemji. Jadi dikisahkan si Chloe ini balikin tas ibuk-ibuk yang ketinggalan di kereta, mampirlah ke rumah si ibuk. Janda tua bernama Greta nan baik hati, kesepian paska ditinggal mati anak n suami. Ternyata oh ternyata, si janda ini psiko gitu. Modus operandinya menarik gadis muda dengan alasan balikin tas buat dikurung di rumahnya, dijadiin anak gitu. Secara paksa.

GRETA ini memang pilem thriller yang bikin deg-deg-an. Lebih karena pelakunya adalah 'orang biasa-biasa aja'. Si janda ini ekspresinya horor bat. Bikin kaget, nguntit obsesif. Amit-amit gitu jangan sampailah ketemu yang model begini. Meskipun eksekusi pelemnya gitu aja, tapi ya cukup berkesan. Saya terkecoh juga, kirain pilem apa gitu. Ternyata sarap begini.


Nah, pelem sinting selanjutnya adalah pilem Korea. Tumben-tumbenan banget nonton pilem dari negeri ginseng. Pilem ini saya bilang sinting bukan karena horor atau thriller atau psiko, tapi sinting karena ide kisahnya yang nggak biasa sih menurut saya. ALONG WITH THE GODS: THE TWO WORLDS (2017) dan ALONG WITH THE GODS: THE LAST 49 DAYS (2018) adalah dua pilem berkelanjutan besutan Yong-hwa Kim yang mengusung mengenai kehidupan setelah mati ala mitologi dan kepercayaan Korea.

Pilem ini mengisahkan perjalanan orang yang 'mati syahid' (istilah gampangnya begitu) supaya memperoleh izin untuk reinkarnasi dari sang Dewa utama. Nah, roh individu nan mati syahid ini didampingi oleh tiga orang 'pengacara alam baka' yang bertugas membuktikan amal baik si roh selama di dunia. Amal baik ini, lengkap dengan sejarahnya akan dibuktikan oleh para pengacara ini selama berhadapan dengan Jaksa Penuntut Umum dan sekian banyak Dewa-Dewi di alam baka dalam mitologi Korea.

Pilem pertama


Pilem kedua


Seri ALONG WITH THE GODS ini menghadirkan tiga sosok pengacara alam baka sebagai tokoh utamanya. Di pilem pertama kita diajak melihat perjalanan semasa hidup seorang pemadam kebakaran yang tewas jatuh dari gedung paska menyelamatkan korban kebakaran. Pilem pertama ini cukup mengharukan sih, family matters banget lah. Dan di sini mulai muncul roh 'jahat' sampingan yang akan mengganggu proses izin reinkarnasi si roh pemadam kebakaran. Pada pilem kedua, kita mulai diajak mengungkap lebih jauh masa lalu si tiga pengacara yang ternyata saling berkelindan dan cukup pelik. Tapi lebih lucu dan menghibur. Seri ALONG WITH THE GODS ini menarik karena ternyata pilemnya fantasi (high fantasy malah) dan banyak pesan moralnya. Rekomen sih bagi penggemar film, baik pecinta oppa dan eonie atau hanya penikmat sinema semata tanpa embel-embel apapun.

Secara keseluruhan, apakah strategi coping dengan sinema sinting ini berhasil?

Mungkin untuk menjadi bagian dari emotion-focused coping mayan lah ya. Saya cukup terhibur (dan terganggu) dengan ritual menonton yang tidak biasa ini. Kinda grip with everything I got to make me continue the fire inside (lebai). Yang jelas pilem-pilem ini adalah pilem sinting yang ditujukan bagi individu dewasa yang agak 'open minded' lah. Beberapa sodoran ide, kisah, eksekusi, maupun elemen mikro dan makro dari pilem-pilem ini mungkin akan mengganggu pemikiran. Kalau saya sih simpel aja, kalau mau nonton ya nonton aja, gak mau ya udah, gak usah diributkan.


Terima kasih spesial untuk kedua adek saya, Jujun dan Dedek yang menemani menonton pilem-pilem ini dan pasrah diteriaki (dicubit plus ditabok juga) selama menonton. Emang saya agak sinting juga kali ya memaksa diri menonton sinema di luar zona nyaman tontonan yang biasanya. Namun yah, apa sih yang gak 'gila' di situasi saat ini. Bertahan dengan segala daya dan upaya adalah pilihan yang tak dapat dihindari.

Kapok nonton pilem sinting?

Nggak deh kayaknya, mungkin next time akan dicoba lagi. Jelas ga mau nonton sendirian sih intinya.


“...But as, in ethics, evil is a consequence of good, so, in fact, out of joy is sorrow born. Either the memory of past bliss is the anguish of today, or the agonies which are have their origin in the ecstasies which might have been...”

- Edgar Allan Poe -


No comments:

Post a Comment

The Long Conversation With You

  “The worst part of holding the memories is not the pain. It's the loneliness of it..." - Lois Lowry Hi Mas, it's been a while...