May 30, 2021

Perempuan, Identitas, Kebodohan (Ronggeng Dukuh Paruk - Ahmad Tohari)

 “… kehidupan tidak maju ke depan dalam lintasan lurus, melainkan maju sambil mengayun ke kiri dan ke kanan dengan jarak yang sama jauhnya. Padahal nurani kehidupan tak pernah sekali pun bergeser dari kedudukannya di tengah. Apabila ayunan ke kanan bercorak hitam misalnya maka ayunan ke kiri dalam banyak hal adalah kebalikannya, putih...” 

- Ki Sakarya -


image courtesy: collectie tropenmuseum

Minggu lalu, dalam rangka hari kelahiran, adik saya, Jun, meminta saya memilih satu buku sebagai hadiah saat kami memberanikan diri melongok ke toko buku setempat. Tanpa basa-basi, saya memilih edisi terbaru RONGGENG DUKUH PARUK, karya Ahmad Tohari, yang versi awalnya terbit tahun 1982. Saya sudah penasaran sejak lama dengan buku ini, mengingat pada diskusi-diskusi saya di beraneka komunitas perbukuan yang sering menyebut buku ini sebagai bagian dari sastra Indonesia yang cukup bersejarah. Tidak seperti kebiasaan belanja buku saya yang didominasi novel terjemahan atau buku impor, saya kembali menikmati tulisan anak negeri.

Setelah menuntaskan bukunya beberapa menit yang lalu, saya mengerti alasan rekan-rekan perbukuan merekomendasikan buku ini di berbagai kesempatan.

RONGGENG DUKUH PARUK mengambil latar di sebuah pedusunan terpencil di pedalaman Jawa Tengah bernama Dukuh Paruk di tahun 1960-1970an. Dekat dengan masa genting peristiwa G30S yang bikin negara ini terombang-ambing. Ahmad Tohari mengambil sisi kemanusiaan, perwujudan kebodohan rakyat jelata yang tak mengecap aksara, dan tentunya urusan perempuan.

Adalah Srintil, kembang dukuh yang didaulat menjadi seorang penari ronggeng, membangkitkan nyala di dukuh miskin ini, dan menerima takdirnya sebagai penari/perlambang birahi/pembuktian keperkasaan lelaki di sekitar dan di luar dukuh. Srintil menerima perannya dengan bangga, dituntun oleh segenap warga dukuh yang mengelu-elukan kehadiran kembali seorang ronggeng yang akan memberikan kebahagiaan. Dan Rasus, anak lelaki yatim piatu patah hati, memilih meninggalkan dukuh dan menjadi tentara karena dikecewakan dengan sikap warga yang 'mengorbankan' Srintil menjadi perlambang nafsu duniawi. Meskipun pada akhirnya, takdir Rasus kembali pada Dukuh Paruk yang kecil, kelam, ternistakan, dan hanya menjadi korban pelampiasan politik.

RONGGENG DUKUH PARUK cukup membuka mata saya dalam beberapa hal. Pertama: soal kesenjangan dan kemiskinan. Saya bergidik pedih membaca nasib harian para penghuni dukuh dalam tempurung kesengsaraan yang mereka terima dengan lapang dada. Kesenjangan ini rasanya terlalu tidak nyata bagi saya, anak Sumatra tulen yang dibesarkan dengan cukup nasi dan lauk pauk, serta atap untuk bernaung. Kalau ingat cerita-cerita papa dan mama yang kelahiran 1950-1960, saya rasanya tidak pernah mendengar mereka kekurangan nasi, meskipun hidup di jaman itu juga sulit kalau dipakai kaca mata saya sebagai anak kota mental perantauan yang tidak punya ingatan soal kepayahan mencari beras. Kesulitan kehidupan yang saya alami bersama keluarga dulu juga tidak pernah semiris ini. Saya makin yakin soal ketimpangan distribusi kesejahteraan di negeri ini. Pun soal G30S yang kata papa, rasanya lebih heboh urusan PRRI di Sumatra ini. Yah, sejarah pun timpang.

Kedua: lagi-lagi soal kebodohan terstruktur. Warga Dukuh Paruk berdiam dalam kenyamanan semu yang mereka kenal, lengkap dengan hal-hal yang lebih baik mereka tidak tahu. Ketika akhirnya kebodohan mereka dimanfaatkan dengan keji oleh segelintir orang yang lebih pintar sehingga dukuh mereka dicap pengkhianat negara, dibakar, dan dianggap berdosa selamanya, siapakah yang benar-benar bersalah? Warga tidak mengerti sama sekali urusan ideologi, dan entah kenapa, saya yakin, di tahun di mana mata uang digital bergerilya ini, masih ada ketidakpahaman serupa. Lagipula gunanya apa paham begituan? Tidak ada efeknya untuk perut yang lapar. 

Ketiga: identitas perempuan. Perjalanan penemuan diri Srintil yang berangkat dari kebanggaan sebagai pusat perhatian, penyedia layanan seksual dan gembira ria, hingga jadi tahanan politik, ingin jadi ibu, dan pada akhirnya kehilangan identitas total sebagai manusia. Pedih sekali. Pengisahan kehidupan Srintil dan beraneka pria yang bersamanya, termasuk Rasus, membeberkan betapa perempuan juga tetap bergelut dengan perjalanan terseok-seok penuh penghakiman yang tampaknya tak kunjung usai. Entah itu soal jasmani, entah itu soal harapan untuk dianggap sebagai manusia utuh yang berhak dicintai dengan ketulusan.

Terbitan Gramedia Pustaka Utama

RONGGENG DUKUH PARUK hadir dalam penuturan yang cukup deskriptif dan rinci, kadang terasa seperti belajar biologi hewan dan tumbuhan. Beberapa syair nyanyian/dendang/pantun berbahasa Jawa muncul di dalam buku, yang tidak diartikan oleh penulis. Atmosfir dukuh kecil miskin terbangun dengan baik dan kita dapat memperoleh gambaran yang terasa nyata saat membacanya. Konflik terkait G30S yang dihadirkan memang adalah sisi di mana serombongan manusia berada di 'tempat yang salah, waktu yang salah' akibat kebodohan dan keluguan yang dengan mudah dijadikan alat bagi peramu kepentingan. Saya tidak tahu seberapa banyak pelanggaran hak asasi manusia terjadi di masa itu. Kekejian manusia yang didasarkan perang ideologi dan upaya makar berbuntut pada pelabelan nyaris permanen yang merenggut keadilan bagi banyak keluarga. Namun, bagaimanakah cara membedakan kaum prokomunis dan antikomunis di masa itu dengan adil? Mencerabutnya saja seperti membakar sepetak ladang gulma tanpa melakukan seleksi terkait makhluk di dalamnya bersalah atau tidak sepertinya jauh lebih mudah.

Novel ini mungkin 'berat' bagi pembaca yang belum terbiasa. RONGGENG DUKUH PARUK tampaknya hadir sebagai kegelisahan penulis terhadap dosa kolektif kemanusiaan yang selama ini luput dari pandangan. Srintil dan Rasus mungkin mewakili wajah-wajah terlupakan dalam titik berdarah di satu periode sejarah negeri ini. Dan tentu, tak ada yang pernah menginginkan kepedihan model ini terulang. 

Saya merekomendasikan novel ini bagi penikmat novel lokal yang terutama ingin menjelajahi fiksi sejarah. Rawa-rawa spekulasi yang gelap tampaknya dapat menjadi lahan kisah penggugah pemahaman kemanusiaan akan sejarah berdarah negeri yang tentunya multiwajah. Tidak pernah ada satu sisi dalam setiap kisah. Dan mungkin, narasi fiksi Ahmad Tohari mampu mengantarkan jalan bagi kita untuk meluaskan pandangan, terutama tentang kemanusiaan.

 

“Mereka mengira dengan melampiaskan dendam maka urusannya selesai. Nah, mereka keliru. Dengan cara itu bahkan mereka memulai urusan baru yang panjang dan lebih genting. Di dunia ini, Nak, tidak ada sesuatu yang berdiri sendiri. Tak suatu upaya apa pun yang bisa bebas dari akibat. Upaya baik berakibat baik, upaya buruk berakibat buruk.”

- Ahmad Tohari -


No comments:

Post a Comment

The Long Conversation With You

  “The worst part of holding the memories is not the pain. It's the loneliness of it..." - Lois Lowry Hi Mas, it's been a while...