May 31, 2021

Questioning the Lessons (21 Lessons for the 21st Century - Yuval Noah Harari)

“...We should never underestimate human stupidity. Both on the personal and on the collective level, humans are prone to engage in self-destructive activities...”

 

Image courtesy: personal collection

Butuh waktu cukup lama bagi saya untuk menuntaskan buku non fiksi anyar bikinan Yuval Noah Harari yang berjudul 21 LESSONS FOR THE 21ST CENTURY ini. Tak seperti SAPIENS dan HOMO DEUS, edisi yang saya baca ini adalah edisi berbahasa Inggris yang saya peroleh dari hasil berburu diskonan di toko buku daring langganan tahun lalu. Boleh jadi saya sedikit terlambat dari tahun rilisnya (2018) yang jelas-jelas penulisannya belum dipengaruhi hantaman disrupsi si COVID-19.

Jadi apa yang dapat ditangkap dari buku ribut ini?

Overwhelming, informatif, tendensius.

Tiga kata ini saya jadikan representasi utama dari kesan setelah menyelesaikan edisi melahap esai Harari dalam narasi yang cukup enak namun jelas tidak mudah ini. Sebelum saya membahas satu persatu kesan, saya ingatkan kembali, membaca bukunya Harari tidak otomatis menjadikan anda keren di mata lawan jenis/gebetan. Cmon', don't be that kind of human.

Overwhelming merupakan perasaan yang cukup mengguncang saya selama dan sesudah membaca uraian Harari. Beliau menyajikan lima bagian utama 'pelajaran'-nya secara rinci. Bagian pertama: The Technological Challenge memaparkan perubahan-perubahan terkait teknologi yang digunakan umat manusia saat ini, termasuk yang sedang hangat-hangatnya diperbincangkan, yakni urusan Big Data. Saya yang kudet dan agak lemot ini baru ngeh soal Big Data saat menempuh semester pertama di pendidikan strata dua saya sekitar dua tahun lalu. Harari memaparkan kemampuan kita sebagai manusia dalam penciptaan teknologi sekaligus kebodohan kita dalam memandang sisi baik buruknya (termasuk mengendalikan segala hasil penemuan kita). Seperti kalimat pembuka tulisan ini, kebodohan dan keangkuhan kita masih infinite. Dan ini dilanjutkan lagi di bagian kedua: The Political Challenge, di mana kita diajak memandang politik dalam konteks gambar besar, termasuk urusan agama, nasionalisme, dan segala debat/perang ideologi yang tak kunjung usai. Pihak mana yang paling diuntungkan dalam suatu aliran, untuk siapa keributan kekuasaan dipertaruhkan, dan di mana posisi rakyat sejatinya berada.

Pada bagian ketiga, Despair and Hope, kita diajak melongok ke urusan perang, terorisme, ketuhanan, perang atas nama Tuhan, dan tentunya perubahan ideologi serta kepercayaan yang dihadapi manusia. Kapitalisme, liberalisme, hampir semua isme-isme itu yang bikin pusing tapi nyata adanya. Keributan ini dilanjutkan dengan Truth, bagian yang mencoba mencari definisi kebenaran, hoaks, mitos, hingga apa itu keadilan di mata manusia yang jumlahnya banyak dengan isi kepala tak seragam ini. Di bagian terakhir, Resilience, kita diajak melihat upaya manusia untuk bertahan terhadap segala perubahan, melalui pendidikan dan menemukan tujuan hidup.

Informatif tentunya menjadi bagian tak terpisahkan dari esai Harari yang menyajikan beberapa fakta yang dapat ditelusuri. Harari menyediakan sitasi yang cukup, sesi tanya jawab di akhir buku, dan ke semuanya bisa kita cek sendiri bila ragu. Harari dengan latar belakang doktoral sejarah tentunya tidak main-main dalam menuliskan buku yang pastinya bersumber pada riset yang tidak asal jadi.

Namun, tendensius jadi kesan ketiga yang saya tangkap. Bagi yang sudah pernah membaca buku-bukunya Harari pasti tidak asing dengan kalimat-kalimat sinis skeptik namun rasional yang memantik pemikiran terkait sejarah kehidupan kita. Ala Harari lah ya. Di 21 LESSONS FOR 21ST CENTURY, kesan tendensius Harari mencuat lebih kuat dari biasanya. Harari membabat semua agama, ritual, politik, dan pandangan umum yang bisa jadi akan membuat pembaca yang tidak biasa emosi berat dengan pernyataan kontroversialnya. Ketendensiusan Harari ini boleh jadi buah pemikiran dan pembelajaran yang dia gali sendiri selama ini. Tendensius kemana? ya ke pemahaman dia pribadi dan tentunya pengetahuan yang dia peroleh. Di sinilah kita perlu menggunakan critical thinking lebih dalam, tidak menelan mentah-mentah, mengambil apa yang baik diambil, dan mengakui kebenaran yang perlu diakui, terutama terkait kebodohan manusia, perubahan iklim, dan tentunya bencana teknologi.

Pembaca bisa jadi terkaget-kaget dengan keterbukaan yang diusung Harari terutama masalah gender, seksualitas, agama, dan nilai yang berlaku di masyarakat global. Oh jelas ini akan mengundang kontroversi. Namun, seperti di paragraf sebelumnya, kita bisa mengambil mana yang menjadi poin kebenaran yang kita rasa related dengan kondisi kita saat ini. Jelas soal disrupsi teknologi dan media sosial itu nyata adanya. Bahkan konflik Palestina-Israel pun juga nyata. Harari yang berkebangsaan Israel pun tak sungkan mengkritik negaranya terang-terangan, pun semua agama termasuk Yahudi. Jadi semua dapat kritikan. Tanpa basa-basi. Bahkan ada yang bikin saya ketawa, entah karena memang miris saja, tidak setuju, atau ngerasa bodoh seperti biasa.

Menuntaskan buku ini membuat saya mempertanyakan banyak hal. Apalagi ketika pandemi sudah memasuki tahun kedua, poin terkait teknologi, politik, nasionalisme, dan ketahanan umat manusia jadi semakin relevan. Harari pasti kaget sendiri, bakal sebanyak apa perubahan yang akan dia tulis nantinya terkait disrupsi global yang sebelumnya tidak pernah terprediksi. Dan jelas saya masih berniat untuk membaca tulisannya.

21 LESSONS FOR 21ST CENTURY bukanlah bacaan yang dapat disadur secara mentah dengan interpretasi tunggal. Bacaan yang menyenangkan? Oh tentu saja. Jenis buku yang mengajak brainstorming sejak halaman pertama. Semacam senam otak dan menyediakan bahan diskusi tiada habis. Makanya saya tidak setuju kalau dibaca cuma buat keren aja. Kasian waktu dan energi yang terbuang. Buku ini menguras si otak dan memang penanda CAUTION harus dipajang besar-besar. Mau dijadikan buku terlarang? oh tentu tidak, sayang sekali kalau demikian. Ada beraneka kebenaran di dalamnya, dan tentunya pelajaran baik buruk yang memantik kita untuk mau bertanya. Jadi nambah kerjaan si otak berpikir pastinya. Ya dari pada dipakai cuma buat nyinyirin kehidupan pribadi orang lain, mending dipakai untuk refleksi diri, boleh dimulai dari berbagai isu yang disodorkan oleh buku ini.

Apakah saya merekomendasikan buku ini?

Bisa iya bisa tidak. Kalau soal bahasa, enak sih bahasa Inggrisnya. Bahasanya standar dan bisa digugling. Edisi bahasa Indonesia entah sudah ada atau belum, saya kudet. Bagi yang sudah membaca buku bikinan Harari sebelumnya, ya tentu sayang kalau tidak membaca buku ini. Bagi pembaca awam, hmm, mungkin 21+ lah ya. Bukan karena porno atau gimana gimana, tapi saya rasa kontennya butuh kebijaksanaan dalam membaca. Pertanyaan selanjutnya, apakah usia menjamin kebijaksanaan? Tentu tidak. Ahahaha, repot ya. Emang. Yah kalau mau (atau kepo), setelah membaca racauan panjang ini, boleh tanya saya lewat jalur pribadi terkait buku ini. Mau nulis lebih panjang lagi takut dianggap sok tahu. Latar belakang saya sebagai dokter-peneliti junior-tukang racun buku yang ribut, saya rasa belum cukuplah mampu mengkritisi lebih jauh. Tapi jelas ini bacaan yang terlalu menarik untuk dilewatkan begitu saja. Dan tentu boleh melipir ke buku-buku lain yang bernuansa sejarah, politik, ekonomi, lingkungan. Kalau kuat. Saya sih kayaknya balik ke fiksi lagi abis ini.

Well, we may start to see the big picture or happily ignore everything and life goes on.

 

“...One potential remedy for human stupidity is a dose of humility. National, religious and cultural tensions are made worse by the grandiose feeling that my nation, my religion and my culture are the most important in the world – hence my interests should come before the interests of anyone else, or of humankind as a whole. How can we make nations, religions and cultures a bit more realistic and modest about their true place in the world...?”

- Yuval Noah Harari -

 


No comments:

Post a Comment

The Long Conversation With You

  “The worst part of holding the memories is not the pain. It's the loneliness of it..." - Lois Lowry Hi Mas, it's been a while...