June 24, 2021

Refleksi Perempuan Rantau (Burung-Burung Rantau - YB Mangunwijaya)

 “Perempuan adalah bumi, yang menumbuhkan padi dan singkong, tetapi juga yang akhirnya memeluk jenazah-jenazah manusia yang pernah dikandungnya dan disusuinya.” 

 

Image courtesy: personal collection

Apakah saya sudah mentasbihkan diri menjadi feminis dalam beraneka curhatan perbukuan akhir-akhir ini? Oh sayangnya tidak. Saya masih meraba-raba jalur menuju humanis. Istilah yang saya rasa lebih cocok dengan kecondongan pandang diri saat ini.

Dihadiahi buku sebagai perayaan hari lahir adalah sesuatu yang sangat membahagiakan bagi saya yang udah kadung cinta dengan dunia ini sejak sudah mampu membaca. Maka, sebuah edisi BURUNG-BURUNG RANTAU karya mendiang romo YB Mangunwijaya, dikirimkan langsung dari Yogyakarta atas titah si nyonya, salah satu perempuan aneh yang entah kenapa mengenal saya.

BURUNG-BURUNG RANTAU yang terbit edisi pertama di tahun 1992 (yang saya punya ini edisi tahun 2016), mengisahkan pandangan dunia dari kacamata seorang perempuan terpelajar masa kini bernama Marineti Dianwidhi. Neti, panggilannya, adalah putri terakhir dari seorang purnawirawan yang sudah hidup damai menikmati masa pensiun bersama istri. Neti yang berusia 20an memiliki dua kakak lelaki dan satu kakak perempuan: Candra, pilot pesawat tempur canggih; Bowo, seorang doktor ahli fisika nuklir-astrofisika yang mengabdikan diri di Swedia; dan si sulung Anggraini, janda kaya raya pedagang antar negara. Adik satu-satunya, Edi, sudah berpulang lebih dahulu karena jeratan NAPZA.

Neti boleh dibilang 'bandel' secara perilaku dan pemikiran. Sebagai sarjana antropologi yang mau melanjutkan ke strata dua, Neti dianggap sang ibu tidak seperti perempuan pada umumnya: sekolah-bekerja-menikah-punya anak. Neti malah memilih mencemplungkan diri sebagai pekerja sosial yang membantu anak-anak pinggiran ibukota untuk berbagi ilmu dan perhatian.

BURUNG-BURUNG RANTAU bukanlah novel yang memiliki kisah kronologis dengan konflik khas seperti novel lain buah karya mendiang romo YB yang sudah pernah saya baca sebelumnya (BURUNG-BURUNG MANYAR, TRILOGI RARA MENDUT). Novel ini hadir seperti semacam esai lintas topik yang mengusung urusan perut rakyat, astrofisika, partikel kuantum, bisnis, politik, bioteknologi, sampai filsafat. Yah, filsafat. Masing-masing tokoh, tidak hanya Neti, berdiri dalam pandangan masing-masing berdasarkan pengalaman dan pemahaman terhadap bidang mereka yang berbeda jauh, namun nyatanya masih punya irisan: manusia, pencarian, dan ketuhanan.

Neti memiliki semacam 'privilese' dalam artian pendidikan-dukungan keluarga-ekonomi-status sosial. Dan tentunya kebahagiaan untuk memilih dan menjalani pilihan itu. Hal yang mungkin berat bagi kebanyakan perempuan, pun manusia pada umumnya. Neti juga memperoleh beraneka kesempatan menjelajah berbagai negara, mulai dari Inggris sampai India. Dan di beraneka negara tersebut, Neti menemukan pengalaman yang menghasilkan refleksi tersendiri dalam cara pandangnya terhadap hidup, sebagai manusia di luar batas-batas jargon nasionalisme dan keilmuan. Pedihnya, Neti masih tidak bisa menjawab pertanyaan sederhana yang dilontarkan mantan pelacur miskin yang kehilangan satu-satunya anak yang dikasihi. Kontemplasi Neti dan kumpulan pengetahuan eksak sampai filosofis dalam buku ini menghadirkan pemahaman betapa dalamnya jurang antara pendidikan terstruktur dan kepentingan kaum jelata.

Lantas bagaimana refleksi saya sendiri sebagai pembaca?

Beberapa waktu lalu saat menerima ucapan hari lahir, seorang kenalan perbukuan menanyakan pandangan pribadi terkait kehidupan perempuan di usia dekade tiga. Wah, pertanyaan berat. Nah, entah kebetulan atau apa, sesi membaca BURUNG-BURUNG RANTAU hadir. Saya rasa inilah mungkin pemantik tuturan yang bisa saya ukir.

Sebagai perempuan rantau, saya lahir di salah satu daerah kabupaten di Sumatra Barat sana. Minang tulen lah (kedua orang tua saya memang Minang juga). Namun, saya besar di propinsi tetangga, Jambi, untuk kemudian kuliah kembali di Padang, menjelajah kerja di Riau (masih propinsi tetangga), kemudian lanjut pendidikan strata dua di ibukota. Dan akhirnya saya masih di Jakarta, paska studi sekaligus melanjutkan langkah menjadi akademisi dari nol, memberi jeda sementara pada profesi saya yang lain, yang dulu ditetapkan dengan Sumpah Hipokrates.

Perjalanan saya tidak sejauh Neti. Namun, ada beberapa kesamaan pandangan yang membuat saya mungkin merasa terhubung dengan karakter ini. Tidak secara keseluruhan. Tetapi, refleksi perempuan rantau saya mungkin cukup terpantik. Saya kebetulan adalah bagian dari generasi milenial (gen Y) yang memegang populasi terbesar saat ini berdampingan dengan generasi Z yang canggih itu. Sementara Neti jelas sekali adalah pentolan generasi X yang penuh kembang api. Pentingkah membahas generasi ini? Penting tidak penting, terkait dengan bagaimana cara memandang hidup secara umum mungkin. Ditambah variasi tantangan dan tuntutan harian tentunya.

Sebagai pemimpi yang jengah aturan, pandangan saya di usia tigapuluhan adalah hasil bentukan semua pengalaman pribadi saya yang tidak bisa digeneralisir mentah untuk mewakili kaum yang kromosom kelaminnya sama di usia serupa. Saya masih melajang, patuh pada urusan akademik, masih heboh fangirling beraneka musisi, buku, film, dan tentunya masih hidup lebih banyak untuk saya sendiri. Di usia yang harusnya mungkin sudah beranak tiga sambil mengabdi pada suami atau negara, saya malah masih betah mengumpulkan kepingan informasi mengenai tujuan penghidupan yang hakiki sampai urusan rohani. Terjebak aliran pemikir filosofis? Entah, saya malah bukan peminat filsafat kelas berat. Masih lebih suka melihat realitas, meskipun diskusi ke arah asal usul segala sesuatu ini merupakan topik menarik bermagnet kuat.

Namun, tidak bisa saya pungkiri, saya merasa masih hijau dan belum 'pakem' dalam mengatur diri. Akan tetapi, pelan-pelan, perasaan 'tidak ngoyo', 'tidak ngotot', 'ah sudahlah', itu mulai memasuki diri saya. Saya boleh dibilang sudah menurunkan ketegangan ambisi yang membakar diri saya sejak masa sekolah. Saya tidak pernah percaya diri untuk tampilan fisik, tetapi saya sangat mati-matian dulu dalam hal akademik. Namun, entah dihantam pandemi, kenyataan, atau kepingan kesadaran, saya merasakan kepentingan untuk selalu jadi juara bukanlah hal yang utama.

Pandangan Neti dan saya bersinggungan dalam hal isu sosial dan pemikiran. Di usia ini, saya boleh jujur sudah tidak takut lagi soal pasangan, saya memilih di jalur pasrah. Hal ini tidak sama dengan pandangan saya saat periode krisis seperempat abad dulu, yang rasanya gimana gitu. Sekarang, saya jadi lebih sering melihat ke dalam, mencoba mengutuhkan diri sendiri, sambil berpikir ke arah finalitas episode di planet bumi. Dan satu hal yang paling mengganggu saya saat ini, seberapa bermanfaatkah keberadaan saya di dunia yang singkat ini?

BURUNG-BURUNG RANTAU memantik perenungan mendalam terkait humanisme dalam beraneka sudut pandang keilmuan dan isi kepala. Perempuan, laki-laki, ayah, ibu, beraneka profesi. Buku ini bukan prosa romansa. Kalau saya boleh sok tau, mendiang romo YB lebih menekankan kepada masalah kemanusiaan dari mata kasta akademisi. Sejauh mana keilmuan kita masing-masing memberi dampak pada kehidupan orang lain. Atau, sejauh mana pendidikan kita membentuk pandangan kita. Tentunya dicampur baur dengan budaya, agama, dan entah apa lagi yang menjejali isi kepala sejak kita lahir, diberi identitas, dan diajarkan dengan dunia sekitar. Nasionalisme dan segala isme-isme itu, apakah akan memberikan dampak baik bagi kelangsungan manusia? Atau hanya sekadar alasan perang semata?

Well, tidak salah memang si nyonya memberikan buku ini pada saya. Semakin tenggelamlah saya ke dalam rawa-rawa pemikiran yang selalu berdansa kesana kemari. Ribut sekali. Dan jelas, saya bersyukur masih punya kesadaran untuk tidak menutup pintu pemikiran di dekade tiga kehidupan. Masih jauh, masih luas.


“...Jangan didramatisasi. Setiap angkatan punya medan juang dan pahlawan mereka sendiri...”

- YB Mangunwijaya - 

No comments:

Post a Comment

The Long Conversation With You

  “The worst part of holding the memories is not the pain. It's the loneliness of it..." - Lois Lowry Hi Mas, it's been a while...