"...Perempuan datang atas nama cinta
Bunda pergi karna cinta
Digenangi air racun jingga adalah wajahmu
Seperti bulan lelap tidur di hatimu
yang berdinding kelam dan kedinginan..."
- Rako Prijanto -
Beberapa bulan lalu, saya sempat berjanji dengan salah satu teman ghibah buku (sebut saja namanya Iqi, kayaknya jomblo, gesrek, dan hobi memancing keributan dengan topik sensitip) untuk menonton beraneka pilem buatan anak negeri yang award winning atau award considering. Sebagai individu julid, nonton pilem lokal di bioskop adalah hal yang jarang saya lakukan. Upaya menghindari kelakuan over critics dan misuh-misuh entah karena naskah atau akting pelakon. Sombong? Mungkin. Tapi ya selera dan pilihan saya begitulah modelnya. Hasil paparan bertahun-tahun terhadap tontonan dari negeri lain nan asing.
YUNI yang merupakan film lokal dengan bahasa daerah ini sudah menjadi incaran kami selain judul-judul lain. Akhirnya kemarin sore bisa menontonnya dengan cukup tenang paska keributan harian. Lantas bagaimana kesan dan pesannya?
Saya terkesan. Pilem berbahasa Jawa (eh Sunda ya, beda kan ya, maafkan) ini memang pantas mendapatkan beraneka tanggapan positif dari beraneka kejuaraan perfilman yang diikuti. Topiknya sederhana tapi kompleks. Tentang perempuan SMA bernama Yuni yang galau masa depan setelah kelar sekolah. Mau kuliah setengah hati, mau bermusik kok ya bingung, lantas disuruh nikah aja (sampai dilamar 3 kali oleh 3 jenis makhluk berbeda). Siapa sih yang ga bingung soal masa depan? Di usia belasan, kita bingung, sekarang pun bingung. Fase itu mungkin sama-sama kita lalui. Bedanya mungkin masing-masing kita punya privilese yang berbeda. Ada yang berakhir seperti Yuni dan teman-temannya, atau mungkin punya perbedaan jalan kehidupan. YUNI mencoba merepresentasikan kemungkinan-kemungkinan itu di beraneka tokoh yang kesemuanya perempuan.
Menjadi manusia tidaklah mudah. Menjadi perempuan tentunya jadi nambah tidak mudahnya. YUNI menggambarkan kemudahan menjadikan perempuan sebagai aspek properti semata ketika si perempuan belum mampu menentukan pilihan. Kesempatan eksplorasi diberangus, pun kesempatan bersuara. Siapa yang salah? Oh jangan ditanya. Kita semua turut andil dalam urusan ini. Bagaimanapun juga, budaya/tradisi/pandangan dan segala macam standar sosial itu terbentuk secara struktural di masyarakat, dipengaruhi pendidikan dan pengalaman.
Di YUNI, kita disuguhkan ragam jenis perempuan. Yuni yang pintar dan hobi berantem, teman-teman Yuni yang bucin, nikah dini, janda, korban perkosaan; Bu Guru yang ingin meraih mimpi, nenek yang pusing, ibu-ibu pengajian, segala macam. Pilem ini menyuguhkan tampilan beraneka warna perempuan yang umum ditemukan di dunia nyata di mana populasi terbesar republik ini berada, bukan yang manis manja inspiratif ideal di media sosial. Kisah Yuni yang berkelindan dengan para perempuan ini menjadi semacam refleksi yang bikin saya panjang lebar diskusi dengan Iqi. Bahwa saya punya privilese yang tidak dimiliki beraneka karakter perempuan dalam YUNI. Every one deal with their own battle every day. Tidak untuk dengan gampang dikecilkan hanya karena tidak sesuai dengan ukuran gelasmu.
Ditampilkan dengan pencahayaan enak, dialog enak (padahal bahasanya asing bagi saya, tapi tidak mengganggu), akting mantap (ukuran mantap di saya tuh simpel, kalau saya nonton fokus ke plot n jalannya cerita tanpa nyinyirin aktingnya, berarti oke berat), dan tampilan para tokoh begitulah adanya (tidak dijelek-jelekkan, tidak dipoles berlebihan seperti filter instagram, jujur saja, mendekati naturalnya perempuan sesuai dengan beraneka aktivitas hariannya). Familiar dan terasa dekat. Dengan akhir kisah multitafsir plus penggalan-penggalan puisi mendiang Sapardi Djoko Damono, saya rasa memang YUNI berhasil. Jelas meninggalkan renungan-renungan selama menonton dan setelah menuntaskannya. Bahwa hitam putih absolut pastinya tidak bisa. Semua orang tidak sepenuhnya baik, manipulatif itu mungkin, kejam itu mungkin, dan jahat itu juga pasti mungkin. Gelasnya, konteksnya, pandangannya. Beda-beda. Menuju kebaikan yang mana? Pribadi tentunya. Ukurannya pun masing-masing.
Perspektif personal terkait pilem YUNI ini mendorong saya untuk melakukan refleksi betapa tidak adilnya saya bersikap selama ini. Sebagai salah satu perempuan yang memiliki banyak kesempatan jauh lebih baik dibandingkan perempuan lain di negeri ini, saya suka kurang ajar menghakimi kaum saya berlebihan meskipun hanya dalam pikiran. Privilese yang saya punya dalam wujud orang tua suportif (meskipun sering adu kepala), pendidikan terbaik, pekerjaan oke, hobi menyenangkan, kemampuan berpikir kritis, akses informasi, inner circle mencerahkan, dan sebagainya; malah sering menempatkan saya sebagai individu prejudis yang gampang bener menilai sesama kaum hawa terkait nasib dan pilihan masing-masing. YUNI mengajak saya melihat kembali betapa rendahnya kadar empati saya terhadap sesama perempuan. Saya sering tidak bersyukur soal privilese saya. Harusnya memang sering banyak-banyak berkaca.
Bagaimana dengan para lelaki di YUNI? Yang brengsek ada, yang bodoh ada, yang manusia juga ada. Meskipun tidak banyak digali, tetapi cukup menyadarkan juga bahwa laki-laki perlu edukasi terkait kemanusiaan. Kita semua perlu. Laki-laki juga manusia rentan. Tidak semua bisa sepengasih ayahnya Yuni. Setidaknya saya juga harus adil melihat ini, meskipun agak ketohok juga sama sesuatu hal yang diungkapkan dalam cerita. Apa ya itu? Mungkin coba deh tonton sendiri.
Menonton YUNI sifatnya personal. Kontennya memang 17+. Tumben lulus sensor. Mengapa personal? Karena memang ada keping-keping pengalaman yang akan ditafsirkan berbeda bagi penontonnya. Membuka pikiran tentunya. Tapi ya kembali lagi, kalau tidak cocok ya tidak apa. Tidak perlu juga merendahkan yang belum berminat menontonnya. Mungkin edukasi kemanusiaan terkait perempuan dan haknya bisa hadir dalam bentuk selain YUNI. Tetapi jelas, YUNI adalah salah satu upaya keras dan lugas yang patut diapresiasi. Bahwa memang kita serba kurang, kurang menjadi manusia.
Terlepas dari gambaran perempuan dalam YUNI, tentunya pilem ini akan memantik keributan. Isu gender, seksualitas, standar sosial masyarakat, dan lainnya mungkin bisa dituding miring. Kalau saya sih mikirnya, dari pada menuding, mending nonton sendiri. Kalau tidak minat nonton, ya mingkem aja. Ga usah repot tuduh sana sini. Meskipun memang sulit sekali tampaknya menjadi manusia berempati di jaman ini.
Tidak ada yang sempurna dari sebuah karya, tapi jelas ada karya yang berani bersuara lebih keras dan lebih tepat sasaran. YUNI adalah salah satunya.
Mau nonton? Silakan. Sebelum turun layar. Tapi pastikan anda cukup umur dan tidak doyan menuduh.
"...mungkin perempuan tidak ditakdirkan untuk menjawab semua tantangan, tapi jelas dia dihadirkan tidak untuk lenyap begitu saja dalam kebisingan..."
No comments:
Post a Comment