July 21, 2019

War is Power

“...Many of the Nazis were convicted after the war, but they were not convicted for being 'unreasonable'. They were convicted for being gruesome murderers...”
- Jostein Gaarder -
Courtesy: gizmodo.com
Mari kita melipir ke sejarah sejenak. Bacaan saya bulan ini memang sedang melipir ke topik-topik menarik di luar zona nyaman.

Ingat Perang Dunia II yang berlangsung dari tahun 1939-1945? Perang Dunia II ini menjadi pertarungan besar-besaran tanpa ampun antara blok Axis (Jerman-Italia-Jepang-Hungaria-Rumania-Bulgaria) melawan blok Sekutu/Allies (Amerika Serikat, Inggris, Prancis, USSR, Australia, Belgia, Brazil, Kanada, China, Denmark, Yunani, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Polandia, Afrika Selatan, Yugoslavia). Perang Dunia II resmi berakhir tahun 1945 dengan kemenangan pihak Sekutu, sekaligus menjadi kesempatan emas terwujudnya kemerdekaan NKRI.

Tapi, pernah membayangkan kalau blok Axis yang menang?

THE MAN IN THE HIGH CASTLE adalah novel klasik-distopia karya Philip K Dick (penulis novel DO ANDROIDS DREAM ELECTRIC SHEEP? yang menginspirasi film Blade Runner), yang rilis tahun 1962. Novel ini mengisahkan realitas alternatif dimana Perang Dunia II dimenangkan oleh blok Axis. Presiden AS saat itu, Franklin D Roosevelt berhasil dibunuh, Adolf Hitler sukses, Winston Churchill (PM Inggris) tumbang. Jerman dan Jepang membagi dua kekuasaan atas dunia, menyingkirkan Italia yang tertunduk lesu, dan menerapkan aturan totalitarian tanpa celah. Zona netral di suatu gurun di Amerika Serikat menjadi tempat kesepakatan untuk membagi kekuasaan tanpa perlu peperangan lanjutan.

Nazi berkuasa. Ras Arya yang dibanggakan menjulang tanpa halangan. 17 tahun setelah perang berakhir, kemajuan dialami daerah yang dikuasai Jerman. Jerman sudah melanglang buana sampai ke Bulan, Mars, dan Venus. Namun kekejamannya masih tiada ampun. Populasi Afrika dihabisi, sumber dayanya dikeruk, Yahudi habis, dan sisa rakyat negara-negara Sekutu dijadikan pekerja kelas rendahan. Sementara wilayah yang dikuasai Jepang mengalami kemunduran intelektual. Para petinggi Jepang hingga rakyat kebanyakan menjadi semakin terbiasa menggunakan ramalan, ahli nujum, dan segala bentuk mitos mengalahkan kekuatan data dan statistik.

Lantas apakah mereka puas?
Tentu tidak. Jerman berniat me-Nazi-kan seluruh wilayah Bumi. Jepang ingin hidup tenang namun tak ingin Jerman ikut campur dalam kehidupan bernegara mereka. Nah, konflik ini dibumbui oleh munculnya sebuah novel fiksi karya seorang penulis misterius yang tinggal di High Castle. Novel berjudul The Grasshopper Lies Heavy (Belalang Tergolek Kepayahan) yang mengisahkan seandainya pihak Sekutu yang menang, beserta keuntungan dan kegembiraan yang terjadi menjadi viral secara diam-diam di masyarakat. Novel tersebut dilarang beredar di wilayah kekuasaan Jerman. Tetapi beredar dengan riang di wilayah kekuasaan Jepang. Si penulis kemudian menjadi sasaran perburuan pihak Jerman.

Tidak ada tokoh utama dalam THE MAN IN THE HIGH CASTLE ini. Novel klasik setebal 360an halaman untuk versi terjemahan Indonesia-nya ini mengusung berbagai potongan sudut pandang dari bermacam tokoh. Pembunuh, pedagang barang antik, jenderal, duta besar, pemilik perusahaan, kepala kepolisian, dan tokoh-tokoh lain yang tidak secara langsung berkaitan dengan tampuk kekuasaan. Konflik penuh adrenalin bukanlah suguhan dalam kisah ini. Tetapi kengeriannya cukup membuat bergidik. Membayangkan rancang bangun situasi bila Perang Dunia II memang dimenangkan oleh Nazi dan rekanannya.

Edisi terjemahan oleh Penerbit KPG

Diterjemahkan dengan apik oleh Reni Indardini, novel ini berhasil membuat pusing dan berpikir lebih dalam. Ketidakpuasan dan kesombongan manusia memang tiada habisnya. Perang menjadi pilihan jalan damai. Mengusung apa yang sebelumnya dibawa oleh George Orwell dalam 1984, sistem kengerian dalam bentuk totalitarian ini sepertinya tidak mampu dibayangkan oleh benak saya tanpa mengerutkan kening saking tak inginnya. Saat ini kita seolah memiliki kebebasan berlimpah yang tentunya tidak akan bisa kita peroleh dalam situasi seperti di novel ini.

Kesulitan membaca novel ini adalah pengetahuan sejarah saya yang pas-pasan (untungnya ada mbah G), dan mungkin ada beberapa istilah dalam bahasa Jerman yang mesti kita cari sendiri padanan katanya. Namun, saya ingatkan kembali, novel klasik (yang saat ini sudah diadaptasi menjadi serial oleh Amazon) ini tidak mengusung plot dan kemeriahan yang biasa kita temui dalam distopia modern. Tidak ada awal yang 'jelas' dan tentunya tidak ada akhir yang 'gemilang'. Kita dibiarkan mengambang, merenung, tenggelam dalam perenungan sejarah, selain merasakan sisi ironis dan getir yang agak sulit dijelaskan. Philip K Dick amat berani berbuat begini. Apakah memang seburuk itu? Sekejam itu?

Mau tidak mau kita akan membandingkan situasi kita saat ini sebagai hasil kemenangan pihak Sekutu dengan kondisi kemenangan pihak Axis dalam THE MAN IN THE HIGH CASTLE. Nyatanya saat ini Jepang malah masih menjadi salah satu pionir teknologi, dan Jerman mungkin lebih garang dalam Piala Dunia. Perang Dunia III mungkin malah lebih cenderung dipicu oleh negara yang menang, yakni Amerika Serikat. Demi alasan menjaga perdamaian kah? Atau memang kekuasaan yang memabukkan?

THE MAN IN THE HIGH CASTLE saya rekomendasikan bagi pembaca dewasa yang memiliki rasa ingin tahu terhadap sejarah kekejaman manusia paska memenangkan perang. Novel ini tidak gamblang dan tentunya tidak ringan meskipun jelas jumlah halamannya tidak terlalu banyak. Namun, untuk memperkaya khasanah perenungan, boleh dicoba untuk dijajaki. Pada kenyataannya kita tahu, sejarah memang ditulis oleh pemenang.

PS: Selain THE MAN IN THE HIGH CASTLE ada baiknya juga mencoba untuk membaca buku sejarah populer yang berkaitan dengan perang dan umat manusia, seperti SAPIENS karya Yuval Noah Harari, dan tentunya novel distopia klasik 1984 karya George Orwell.


“...They want to be the agents, not the victims, of history. They identify with God's power and believe they are godlike. That is their basic madness. They are overcome by some archtype; their egos have expanded psychotically so that they cannot tell where they begin and the godhead leaves off. It is not hubris, not pride; it is inflation of the ego to its ultimate — confusion between him who worships and that which is worshipped. Man has not eaten God; God has eaten man...”
- Philip K Dick - 

 

2 comments:

The Long Conversation With You

  “The worst part of holding the memories is not the pain. It's the loneliness of it..." - Lois Lowry Hi Mas, it's been a while...