August 31, 2019

Pengakuan

“...It is forbidden to kill; therefore all murderers are punished unless they kill in large numbers and to the sound of trumpets...”
- Voltaire -

Confessions (2010)

Sekitar tahun 2012 saat mengisi kekosongan paska menyelesaikan studi profesi, saya mendapatkan asupan hiburan berupa beraneka film dari salah seorang sejawat saya, sebut saja namanya Oca. Nah, Oca adalah penikmat dorama dan film jejepangan yang mumpuni. Oca merekomendasikan saya untuk menonton film berjudul CONFESSIONS (2010) - KOKUHAKU, tanpa menyebut dengan jelas ini tentang apa. Saya lalu menonton tanpa ekspektasi, dan kurang dari dua jam kemudian saya bergidik traumatis. Sinting, film sinting. Thriller psikologis yang benar-benar sakit.

Tanpa saya ketahui, CONFESSIONS adalah film adaptasi dari novel berjudul sama yang ditulis oleh Kanae Minato sekitar tahun 2007-2008. Informasi ini saya peroleh dari laman media sosial Penerbit Haru yang menerjemahkan novel ini ke bahasa Indonesia Agustus 2019 ini. Secara tidak sengaja, novel ini nginap di kosan saya, dan berhasil saya tuntaskan dalam beberapa jam (terima kasih kepada mas mas supersibuk yang nitipin ini karena bawaannya kebanyakan).

Lalu apa yang saya dapatkan setelah membaca novelnya? Mana yang lebih baik dibandingkan dengan film adaptasinya?


Novel bergenre thriller bikinan penulis Jepang yang pernah saya baca memang belum ada yang membuat kecewa. Peringkat top dan belum tergeser saat ini tentunya adalah BATTLE ROYALE (1999) karya Koushun Takami, disusul oleh HOLY MOTHER bikinan Akiyoshi Rikako. CONFESSIONS akhirnya masuk ke dalam daftar ini, dikarenakan kekejian kisahnya mengalir tanpa basa-basi.

Yuko Moriguchi adalah seorang guru sebuah SMP yang baru saja kehilangan anak perempuan satu-satunya yang tewas tenggelam di kolam sekolah. Namun, diketahui kemudian bahwa putri tercinta Moriguchi-sensei sebenarnya dibunuh. Pembunuhan ini direncanakan oleh dua orang murid di kelasnya. Bocah A dan bocah B.

Serius?

Anda mungkin akan mengerutkan kening cukup dalam saat membaca apa yang diungkapkan Moriguchi-sensei pada bagian pertama buku. Dengan tenang dan dingin, Moriguchi-sensei mengungkapkan pengakuan mengerikan, kebenaran, dan meluncurkan balas dendam psikologis kepada dua orang tersangka yang telah membunuh sang putri. Gila-gilaan. Jaw dropping.

Bocah A dan bocah B yang masih berusia tiga belas tahun terlindung oleh Undang Undang yang menyebabkan keduanya tidak dapat memperoleh hukuman 'setimpal' sesuai kejahatan yang telah mereka lakukan. Hal inilah yang mendasari 'balas dendam mental' ala Moriguchi-sensei. Apakah pantas hal ini dilakukan?

Bocah A dan bocah B jelas-jelas 'bermasalah'. Sangat bermasalah. Latar belakang keluarga yang bertolak belakang, monster tersembunyi dalam diri masing-masing jelas-jelas membuat bergidik. Bocah belum dewasa bisa sekeji ini. Dan mau tak mau kita dibuat bingung. Siapa yang jahat, siapa yang baik, di mana batasnya, apa ini memang sekedar bentuk dari kegagalan pembentukan mental seorang anak dalam keluarga? Siapa yang sepatutnya dipersalahkan?

Edisi terjemahan oleh Penerbit Haru

Kekejaman, main hakim sendiri, perundungan verbal dan fisik, kekakuan sistem, obsesi yang tidak sehat, serta lapis kekejian manusia tanpa memandang usia disodorkan Kanae Minato dalam rancang kisah yang apik dan tidak rumit. Bahasa yang sederhana (terjemahan Indonesianya oke cuy) dan gampang cerna mampu membuat saya agak mual serta geleng-geleng kepala. Padahal saya udah nonton film adaptasinya duluan. Tapi tetap saja ampun-ampunan, susah pula ditutup kalau belum selesai.

CONFESSIONS sebagai novel maupun film adaptasi sama-sama kuat dan tidak mengecewakan. Dalam novelnya kita dibawa dalam penceritaan dari Moriguchi-sensei, Bocah A, Bocah B, dan orang-orang lain yang terkait. Di film adaptasinya, pendekatan visual yang suram nyatanya mampu menggambarkan kekejian novelnya dengan nyaris menyeluruh. Akting pemainnya juga oke. Penyesuaian dari buku tidak menghilangkan 'kesakitan dan kepahitan' dari kisah ini. Ketika saya menyelesaikan novel dan filmnya, perasaan 'tidak habis pikir' nempel di kepala. Kenapa sebegininya?

CONFESSIONS menunjukkan perilaku disturbing dalam masyarakat muda saat ini. Kegamblangan yang tidak ditutup-tutupi dipaparkan Kanae Minato dengan ekstrim dan mengganggu pikiran. Sekejam inikah lingkungan sekolah menengah? Predator berkeliaran karena berbagai alasan. Mulai dari bosan hingga ingin mendapatkan pengakuan. Tampaknya aspek kesehatan mental yang menjadi momok tabu coba diusung oleh Minato dalam kisah ini. Bagaimanakah peran kita sebagai orang tua dan guru saat ini? Siapkah kita melindungi anak-anak, bahkan dari diri mereka sendiri?

CONFESSIONS memberikan lebih dari satu pertanyaan untuk direnungi. Terlepas dari kekejian kisahnya, tentu ada pesan moral yang bisa kita ambil. Bibit kejahatan dapat tumbuh di tempat mana saja. Kebencian itu merusak. Obsesi berlebihan dapat membutakan. Bagaimana menjaga kesehatan mental sedari dini adalah pekerjaan rumah yang tidak sepele, dan tentunya kita sebaiknya sudah mulai belajar lebih punya empati.

Saya merekomendasikan novel ini (filmnya boleh kalau kuat, agak gore sedikit) bagi pembaca dewasa muda yang setidaknya punya 'ketahanan mental'. Bukan mau nakutin, tetapi agak traumatis dan terngiang, bisa jadi pelengkap mimpi buruk. Namun, bila dicermati dengan sejumput kebijaksanaan, ditambah segelas minuman dingin serta satu atau dua scoop eskrim paska membacanya, mungkin bisa melihat 'sisi lain' dan mengambil pesan moral dari kisah yang memang 'sakit' ini.

So, mau baca? Terjemahannya oke dan sudah beredar di toko buku kesayangan anda, online pun juga tersedia. Tapi risiko tanggung sendiri yaaa. Carilah teman diskusi yang menyenangkan bila ingin merundingkan kisah ini. Memorable sih pasti. Jelas menjadi salah satu buku jahat yang berkesan.


“...I had all the characteristics of a human being—flesh, blood, skin, hair—but my depersonalization was so intense, had gone so deep, that my normal ability to feel compassion had been eradicated, the victim of a slow, purposeful erasure. I was simply imitating reality, a rough resemblance of a human being, with only a dim corner of my mind functioning...” 
- Bret Easton Ellis -


No comments:

Post a Comment

The Long Conversation With You

  “The worst part of holding the memories is not the pain. It's the loneliness of it..." - Lois Lowry Hi Mas, it's been a while...