September 4, 2019

Pembaca Awam di Festival Literasi (Curhatan LitBeat 2019)

“...For me, literacy means freedom...For the individual and for society...”
- LeVar Burton -



Salah satu kebahagiaan terbesar yang diperoleh sebagai anggota grup Penggemar Novel Fantasi Indonesia adalah kemudahan akses. Akses aktivitas perbukuan menjadi lebih terbuka lebar, tentunya ditunjang domisili sementara saya yang saat ini berada di Jakarta. Berbagai aktivitas terkait hobi membaca ini mendapat ruang begitu beragam dan sayang untuk dilewatkan. Ditambah lagi konspirasi semesta dan pihak Fakultas tempat saya sekolah yang belum memberikan jadwal kuliah bagi mahasiswi hobi prokrastinasinya ini.

Tersedianya undangan gratis bagi 20 anggota PNFI untuk hadir dalam LITERACTION FESTIVAL 2019 yang diadakan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia tanggal 02-03 September 2019 tentunya menjadi kesempatan terkece bagi saya untuk bertandang. LITERACTION FESTIVAL ini mengambil nama gaul/nama singkat sebagai LITBEAT 2019, berisikan puluhan kelas talkshow interaktif mengenai buku-buku dan dunia literasi Indonesia. Jakarta memang sedang rajin-rajinnya. Kurang dari 2 minggu sebelum LITBEAT, ada JAKARTA INTERNATIONAL LITERARY FESTIVAL (JILF) yang dilaksanakan di kompleks Taman Ismail Marzuki, hampir seminggu penuh, dengan konten acara yang menarik plus bazar buku diskon oleh Patjar Merah.



Sebagai pembaca, saya memang cukup ingin tahu sejauh mana kondisi industri penerbitan dan tantangan dunia literasi tanah air. Negara kita katanya punya minat baca rendah, tetapi tampaknya tidak juga. Minat baca yang mana? Minat baca dalam konteks apa? Nah, di LITBEAT 2019 ini, saya sebagai awam remah peradaban cukup tercerahkan dengan mengikuti lima kelas yang saya pilih begitu saja sebagai asupan pengetahuan. Dibuka dengan apik oleh bapak Anies Rasyid Baswedan,PhD (yang bikin saya sempat starstruck -iye norak gw mah), LITBEAT 2019 resmi dilaksanakan.

Kelas pertama yang saya ikuti adalah kelas berbahasa Inggris dengan judul INDONESIAN RIGHTS ABROAD. Dipandu oleh oom bule John McGlynn yang lumayan bisa juga berbahasa Indonesia, kelas ini menghadirkan Anton Kurnia, Ratih Kumala, Andy Fuller (Australia), dan Jerome Bouchaud (Prancis)-ganteng coy. Pembicara yang saya kudet sekali mereka ini siapa. Namun, konten diskusinya yang membuat saya dan -sebut saja- Ratna mengangguk ngeh-oh gitu, bahwa betapa sulitnya buku bikinan penulis Indonesia menembus pasar luar negeri dan diterjemahkan ke bahasa asing. Padahal, buku terjemahan Indonesia dari bahasa asing kayaknya melenggang indah dan santai aja masuk ke negara kita.

Saya dan Ratna selalu duduk di depan jadi dapat fotonya begini


Dipaparkan bahwa memang genre sastra lah yang mampu menembus pasar asing, memperebutkan 3% peminat dan bersaing bersama negara lain. Bukunya Pramoedya Ananta Toer, Eka Kurniawan, Ayu Utami, Andrea Hirata, dan lainnya (sori ga hapal) yang pernah mendapat kesempatan diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Hadirnya yayasan yang mampu menjembatani proses translasi ini terbukti cukup membantu mempertahankan kemunculan sastra Indonesia di peta sastra dunia, meskipun masih berupa titik. Nah, bagaimana dengan fantasi lokal? oh maaf belum itu.

Kelas kedua, MENGGELAR TIKAR DI SOCIAL MEDIA, menghadirkan Salman Faridi (Penerbit Bentang), Leo Tigor Sidabutar (Komik Micah), dan mas Ote (Tahilalats). Kelas ini membahas disruptive era dalam dunia konten buku akibat media sosial serta bagaimana menghadapinya. Kesimpulan yang saya dapat adalah perusahaan yang bisa sukses adalah yang mampu beradaptasi. Proses kreatif dan pemunculan konten itu ternyata tidak sederhana dan selera pasar tidak segampang itu diprediksi seperti harga daging menjelang Lebaran. Belum lagi masalah originalitas dan plagiarisme yang mesti pol-polan juga ngeceknya. Peran komunitas dalam mendukung keberlangsungan suatu penerbitan karya dan nasib penerbit itu sendiri juga tidak kalah pentingnya. Kita berurusan dengan high traffic of data era revolusi Industri 4.0 (Jepang menuju 5.0 gosipnya) yang bikin pelaku usaha kreatif mesti ketar-ketir meras otak.

Pembicaranya belum nongol

Buku adalah salah satu produk industri kreatif yang masih menjadi komoditi pasar. Namun pemilihan konten seperti apa yang mesti dihadirkan bagi pembaca jaman now ini merupakan hal yang tidak mudah. Pihak penerbit juga harus mau berinteraksi lebih dengan calon pembacanya, di semua platform media sosial yang tersedia. Yah, tidak heran juga sih sekarang udah ada bookstagrammer, booktuber, endorsement untuk buku, dan bookblogger yang semakin dieksplor, pun diajak bareng sama penerbit untuk kepentingan promo. Di ranah novel fantasi gimana? Ada sih ya, tetapi tidak spesifik untuk genre fantasi saja (kata saya yang nulis tulisan di blog aja nunggu mood, sungguh amatir).

Kelas ketiga yang saya ikuti adalah kelas ter-passionate dan paling bikin semangat. PAVING THE STREETS WITH BOOKS, menghadirkan Nguyen Mahn Hung (Vietnam), Shake Faisal (Malaysia), Trasvin Jittidecharak (Malaysia), dan Karina Bolasco (Filipina). Keempat pembicara ini mengungkapkan pentingnya kebijakan politik dalam pembangunan budaya literasi. Bagaimana meminta rakyat rajin membaca sementara politisi dan pemimpinnya nggak mau membaca. Isu pelarangan buku, pajak buku, mahalnya ini itu dalam urusan penerbitan, berkontribusi terhadap bagaimana wajah literasi suatu kota dan negara terbentuk.

kami kerajinan, lagi-lagi pembicara belom nongol

Isu menarik yang diangkat selain kebijakan politik adalah mimpi Jakarta untuk masuk menjadi World Literacy Capital yang akan didaftarkan tahun 2022 nanti. Oleh karena itu, tidak heran pak Gub muncul di sesi ini, nyempil tiba-tiba di belakang, dan mendengarkan diskusi hangat para pembicara. Ibukota silakan pindah, tetapi Jakarta tampaknya punya tekad menjadi ibukota yang lain, dan saya tentunya amat bahagia dengan memilih menjadi kota literasi dunia. Namun, tentunya tidak mudah. Diungkapkan dengan berapi-api oleh para pembicara, industri penerbitan buku dan komunitas mesti sangat kreatif bahkan licik dan licin untuk meyakinkan politisi atau berkelit dan segala macam usaha untuk mengubah suatu kota menjadi kota yang ramah bagi para pembaca, apapun genre bacaan yang diinginkannya. Sungguh suatu keindahan yang menyenangkan ketika melihat tayangan di layar saat dipaparkan kondisi jalanan perbukuan di Vietnam yang bikin iri.

JAMUR DI MUSIM HUJAN-FESTIVAL SASTRA DALAM NEGERI, adalah kelas keempat yang saya ikuti (sayangnya lupa difoto bannernya). Menghadirkan om Yusi Avianto Pareanom (kreator JILF), Lily Yulianti Farid (Makassar Writers Festival), dan Saraswati R (Ubud Writer's Festival), sesi ini menyoroti festival sastra dan penulisan yang ada di dalam negeri. Poin menarik dalam sesi ini adalah karakter masing-masing festival yang berbeda dengan tujuan saling melengkapi. Pentingnya 'dampak' bagi masyarakat sekitar haruslah menjadi pemikiran penyelenggara festival literasi dalam mengusung acara. Akses literasi yang tidak merata di Indonesia juga menjadi highlight yang penting. Saya di Jakarta keknya gampang aja kalau ingin buku tertentu (duitnya sih yang ga gampang). Akan tetapi bagaimana dengan penduduk Indonesia di kawasan terpencil entah di mana yang mungkin listrik saja belum sepenuhnya tersedia?

Saya merasa terpinggirkan dengan kekuatan pikiran orang-orang ini. Sebegitu inginnya mereka berbagi, ingin sekali tampaknya merelakan waktu dan tenaga untuk menjadi bagian dalam usaha meningkatkan minat baca. Tidak melulu menyalahkan pemerintah, tetapi mulai ambil aksi semampunya. Inisiatif dan keinginan ini yang mungkin tidak banyak kita temukan, karena tampaknya kita lebih sibuk dengan diri sendiri. Sibuk mengeluh ini itu akan ketidak adilan dunia pada kita sampai lupa bersyukur.

Kelas terakhir yang saya ikuti adalah IN AN INDEPENDENT BOOK WORLD. Kelas ini menghadirkan Ronny Agustinus (Penerbit Marjin Kiri), Teddy WK (Post Santa - belom jadi kesana nih dari kapan), Aldo Zircov (Pustakawan), dan mas Turki gondrong bernama Emre Can Petek. Di sesi ini dibahas mengenai definisi penerbit indie, kondisinya di Indonesia dan Turki, serta melipir juga ke tema terkait seperti self publishing.

ini ada snacknya (penting)

Marjin Kiri dan Post Santa menerbitkan karya indie dengan kriteria yang sesuai dengan visi dan misi penerbit mereka (ini tidak dijelaskan lebih lanjut). Tetapi, Post Santa menekankan bahwa mereka menerbitkan karya yang mereka sukai, dan secara jujur dapat mereka rekomendasikan kepada pembaca, bukan karena alasan komersil. Punggawa penerbit independen ini memilih untuk melakukan kurasi yang baik terhadap karya yang mereka akan terbitkan, bukan hanya terbit begitu saja seperti kebanyak self publishing yang sering minim proses editing. Menariknya, industri perbukuan indie ini justru sering memenangkan penghargaan sastra bergengsi, sebut saja Raden Mandasia dan Si Pencuri Daging Sapi (2016) dan Kura-Kura Berjanggut (2018) yang dua-duanya besutan penerbit BaNana.

So, kesimpulannya apa bagi saya yang awam ini?

Tantangan dunia literasi Indonesia saat ini bukan hanya terbatas pada urusan minat baca, tetapi juga terkait urusan konten, penerbitan, komersialisasi, isu global, dan banyak hal lain yang sebelumnya nggak pernah saya pikirkan. Yang saya tau, saya baca, saya bahagia. Tetapi untuk membuat sebuah buku yang bikin bahagia itu, prosesnya tidak sesederhana beli di Gramedia. Ada usaha besar dan rantai berkesinambungan dibaliknya, serta mimpi dan harapan orang-orang baik di industri ini.

Bonus menyenangkan acara ini adalah bertemu teman-teman sekufu, ghibah gokil bersama eyang DjokoLelono, dan sesi ketawa karena kebahagiaan sederhana. Dengan ini saya menyatakan diri semakin bangga dicap kutubuku. Really I'm a proud booknerd. Saya merasa terberkahi dengan memilih membaca sebagai bagian dari kehidupan saya yang singkat. Tapi, kalau diingat-ingat, bukankah ayat pertama yang diturunkan pada Rasullullah SAW itu berbunyi Iqra'? Bacalah...

Editor Haru, Editor Mizan, dan anak papa
Pakai kamera eyang yang tjerah sangat

eyang aku padamu

Ekspresi Bundes setelah dipalak preman

Iklan kopi kaleng

Terima kasih bagi PNFI tercinta (terutama nenek Jilansy yang repot-repot mendata peserta dari PNFI) dan tentunya khalayak perbukuan yang bertemu di lokasi. Saya senang bisa ikut serta. Dan jelas berharap tahun depan ada kesempatan lagi. Pesan moral: semakin banyak membaca, semakin banyak yang anda tidak ketahui tentang bagaimana cara dunia bekerja.

Sekian...^^

PS: Jadi, baca buku apa anda hari ini?


...Frederick Douglass taught that literacy is the path from slavery to freedom. There are many kinds of slavery and many kinds of freedom, but reading is still the path...” 
- Carl Sagan -

No comments:

Post a Comment

The Long Conversation With You

  “The worst part of holding the memories is not the pain. It's the loneliness of it..." - Lois Lowry Hi Mas, it's been a while...