September 16, 2015

Anger and Closure



                Seseorang pernah berkata padaku, akan ada saatnya bagimu untuk berhenti.

                Dan mungkin ini saatnya, kataku pada diri sendiri.

                Ceritanya sederhana, sepele malah. Aku seperti biasa masih jadi hamba Tuhan yang kurang bersyukur. Tetapi Sang Maha sepertinya amat sangat menyayangiku dengan menunjukkan sesuatu hal hari itu. Bermula pada suatu sore, saat bangun dari tidur siangku, aku menerima kabar dari layar gadget mini milikku yang suka nge-hang.

                “ Aku sudah disini.”

                Well, selalu dan seenaknya. Dia datang dan tiba-tiba muncul dalam hidupku. Memberitahukan kabar kedatangannya ke kota ini. Aku yang nggak pandai munafik tapi ahli berbohong, lantas mengajaknya untuk bertemu. Nanti, balasku, setelah tanggung jawabku kulaksanakan.

                Aku punya pekerjaan yang biasa. Dengan jam yang santai selepas magrib. Sebagai lajang berhutang dan punya obsesi mengoleksi buku berlebihan (kecepatan membeli tidak sebanding dengan membaca), aku punya kewajiban untuk bekerja keras. Pulang malam bagiku sudah sewajarnya. Meskipun kadang aku sengaja mengabaikan tatapan prihatin dan khawatir kedua orang tuaku tercinta. Bagaimanapun juga, seorang wanita usia produktif layak menikah tidak seharusnya kemana-mana sendirian mengurusi hidupnya. Aku hanya tersenyum menatap kedua orangtuaku tiap mereka memunculkan masalah itu dalam obrolan. Bukannya aku tak ingin, tetapi lelakinya saja yang belum muncul.

                Lantas siapa yang selalu dan seenaknya itu ?

                Sebenarnya aku juga tak paham dia menganggapku apa. Kami berkomunikasi tiap hari. Mulai dari hal-hal remeh seperti sudah makan atau belum, sedang apa dan dimana, atau segala hal klise lainnya, hingga ke masalah dunia yang lebih berat. Kami sudah seperti ini nyaris dua tahun lamanya. Saling perhatian satu sama lain. Kalau kalian melihat history percakapan kami, mungkin kalian akan berasumsi kalau kami ini sepasang sejoli.

                Jalan bersamanya adalah suatu kenyamanan nyaris sempurna. Perlindungan standar yang diharapkan seorang wanita. Tetapi sayangnya, kenyataan tidak berlaku demikian. Friend-zone, bro-zone, mungkin juga betadine-zone, seperti kata adikku. Hanya sekedar menemani saat satu sama lain terluka. Lebih dari itu tidak ada.

                “ Nanti kita ketemu ya. Kabarin tempatnya dimana. ”

                Maka aku menjalani pekerjaanku dengan semangat dan harapan yang berbeda dibanding hari-hari monoton biasanya. Akhirnya aku ketemu dia lagi. Terbayang di kepalaku banyak hal yang bisa aku ocehkan. Dia akan mendengar dengan sabar, lantas menepuk-nepuk kepalaku lembut. Tau sekali bagaimana caranya membuatku addicted dengan keberadaannya.

                Setengah jam sebelum pulang kerja, dia mengabari meeting point kami. Aku pun bersiap-siap. Tak lupa aku mampir ke apotik, karena ingat sebelumnya dia mengeluh hidungnya mampet karena alergi. Belum lagi batuk-batuk akibat asap yang mulai merambah ke kota ini. Dia tak pernah meminta diobati, tetapi aku sudah terbiasa seenaknya. Annoyingly worry, aku memang begitu padanya. Dia tak keberatan. Aku menjaganya tetap sehat, meskipun secara mental aku tak sanggup mengobati kekosongan hatinya.

                He’s like an empty shell.

                Dia tak menginginkan masa depan. Getting sick of life. Tak tau harus seperti apa jadinya dunia. Depresi. Tak punya mimpi, harapan hidup, rencana. Menyia-nyiakan isi kepalanya yang cerdas. Karena alasan chessy masa lalunya. Aku pun tak sepenuhnya paham. Tapi toh mau dikata apa.

                Aku pasrah saja bersamanya. Tak menuntut apa-apa. Cuma ingin dia bertahan hidup saja. Keberadaannya penting dengan cara yang aneh. Mungkin semacam pelajaran buatku. Aku tak tau, sampai kapan. Dia sudah menyerah, katanya. Aku tidak, jawabku. Dengan sombongnya aku bilang kalau akan terus mendoakannya. Tuhan tau itu, Dia sering mendengar pengaduanku soal ini.

                “ Kerjaan udah siap nih. Aku berangkat ya.”

                Aku mengetik pesan singkat sebelum menyalakan mesin mobil.

                Pernah dengar yang namanya firasat ?

                Kadang itu adalah cara-Nya untuk memberi peringatan pada kita sebelum melukai diri sendiri meskipun kita cenderung mengabaikannya.

                Sepanjang perjalanan, aku sekilas melirik smartphone yang tergeletak di kursi sampingku. Tak ada bunyi pesan masuk. Tak ada tanda-tanda jawaban apapun.

                Akhirnya aku sampai di jalan yang dijanjikan. Masih ramai orang-orang sekitar berkeliaran. Aku memutuskan parkir di pinggiran, mencoba meneleponnya. Berkali-kali. Tak diangkat. Puluhan pesan kukirimkan. Tak dijawab.

                Dan aku panik. Berpikir kalau dia mulai kehilangan kewarasannya. Ngalor-ngidul kesana kemari tak tentu arah. Vagabondage tanpa tujuan. Sendirian. Langit gelap, tanpa bintang. Bagaimana kalau hujan ? Yang kutau, dia sendirian kesini dan tak punya niat bertemu siapapun selain aku. Apakah aku salah ?

                Maka aku kembali memacu gas mobil, berkeliling nyaris satu jam. Berusaha melihat sepanjang pinggiran jalan. Pelan-pelan sembari terus berusaha menghubunginya lewat telepon. Nihil. Tak terjawab sama sekali. Akhirnya, nyaris putus asa, tidak bisa berpikir jernih, aku memutar ke gerai fastfood ternama, masih berharap siapa tau ada dia disana. Karena dia pernah menghabiskan malam sendirian di kedai 24 jam itu. Nyatanya tak ada tanda-tanda keberadaan dia di antara terang benderang lampu kedai. Aku menahan sedih dan amarah yang mulai menyesakkan dada. Lantas membeli eskrim favoritku, memakannya dalam diam untuk menstabilkan mood kembali.

                Dan aku memutuskan untuk pulang ke rumah.


                “ Udah di rumah ?”

                Dia bertanya dengan nada merasa bersalah. Aku nyaris mengabaikan panggilan via teleponnya yang muncul setelah aku merebahkan diri di tempat tidur. Tapi aku tak tega, seperti biasa. Meskipun amarah dan rasa kecewaku bangkit seketika.

                “ Iya. Kamu dimana ?”

                Dia menjawab seadanya. Sedikit hatiku lega, tapi amarah itu masih dalam level tertinggi.

                “ Marah ya ? Maafin aku,” katanya memelas.

                “ Iya. Udahlah, aku capek. Mau tidur. Lagi gak pengen ngobrol. Bye.”

                Dia terdiam di seberang sana. Lantas meng-oke-kan permintaanku dan memutuskan sambungan.

                Aku tak sanggup mendengarkan kata-katanya. Pertahananku pasti luluh. Maka aku memutuskan untuk tidur saja. Setidaknya dalam mimpi hidupku jauh lebih tenang. Mungkin saja.

                Dan setelah malam itu, dia menghilang. Satu pesan singkat berisi permintaan maaf hadir di ponselku. Selanjutnya tidak ada apapun. Mungkin kemarahanku berujung keputusan ini. Baginya dan bagiku. Mungkin ini saatnya. Saat untuk tak lagi bergelut dalam kepenatan perasaan macam ini.

                Yang kurasakan kini hanya kosong. Ruang yang ditinggalkannya tak mungkin diganti. Aku tak sekejam itu berharap ada orang yang akan mengisi ruang kosong itu. Biarlah. Biarlah jadi memori. Pelengkap cerita masa tuaku nanti. Dan aku tau, Sang Maha masih punya rencana baik untukku di masa mendatang. Dia akan jadi cerita, dan aku berterima kasih. Untuk semuanya. Untuk segala suka duka.



No comments:

Post a Comment

The Long Conversation With You

  “The worst part of holding the memories is not the pain. It's the loneliness of it..." - Lois Lowry Hi Mas, it's been a while...