September 10, 2015

Festival Budaya ke-9

Cerpen ini dibuat dalam rangka mengikuti suatu lomba menulis cerita pendek bertema horor/misteri/fantasi yang diselenggarakan oleh sebuah penerbit lokal. Selamat membaca.



Festival Budaya ke-9

19.06 Sabtu
            “ Rem, kamu beneran nggak apa nggak ikut festival ?”
            “ Iya, nggak apa-apa, Ma. Jarang-jarang kita bisa kumpul lengkap satu keluarga besar. Lagian, kak Shaz bisa ngamuk kalau aku nggak ada.”
            “ Baiklah. Cepat ganti baju sana. Mama bangunin Abangmu dulu.”
            Rem mengangguk, tidak memandang Mamanya, lalu melihat jam tangan penguin di pergelangannya. Seharusnya dia ada di festival budaya sekolah hari ini. Malam puncak. Ada kembang api. Momo, sahabatnya, pasti bakal mengembar-gemborkan betapa serunya festival itu esok pagi di sekolah. Tetapi, Shaz, kakaknya yang luar biasa sibuk dan jarang pulang, meminta acara kumpul keluarga untuk mengenalkan kekasih barunya. Serius kali ini.

19.47 Sabtu
            “ Rem, kamu dimana ?”
            “ Maaf banget Mo. Lagi acara keluarga nih.”
            “ Ah Rem, sayang banget. Ini kembang api gede keren. Sukses lah festival budaya tahun ini. Ah kamu. Harusnya ada disini.”
            “ Iya Mo, maaf. Eh, kamu masih flu ?”
            “ Udah nggak Rem. Manjur obat dari kak Shaz.”
            “ Syukurlah. Bye Mo. Udah di restoran nih.”
            “ Ya deh. Besok ketemu pagi di sekolah ya. Acara bersih-bersih. Nggak boleh absen pokoknya. Full report  buat kamu. Bye Rem.”


11.45 Senin, dua bulan sebelumnya
            “ Festival Budaya Sekolah tahun ke-9 akan berlangsung selama tiga hari, di minggu keempat bulan Juli. Teman-teman sekalian, kelas kita diminta untuk mempersiapkan acara puncak festival di hari Sabtu-nya. Atraksi seni dan kembang api.”
            Terdengar bisik-bisik seru di seluruh kelas. Momo menyikut Rem yang setengah mengantuk dan bosan. Setelah pengumuman ketua kelas barusan, sepertinya seisi kelas Rem langsung bersemangat untuk mengikuti festival budaya ini. Mereka langsung membentuk formasi diskusi untuk menentukan teknis acara puncak. Momo langsung ambil bagian tak mau kalah.
            “ Rem, ikutan yok nyiapin.”
            “ Nggak deh Mo. Aku kayak biasa aja ya,” tolak Rem sambil mengeluarkan kamera besar dari dalam tasnya.
            Momo mendesah sebal.
            “ Ya udah. Tapi tolong tanyain ke bang Arka ya Rem. Soal teknik pasang lampu sama kabel-kabel. Biar meriah.”
            “ Ke rumah aja Mo. Aku nggak ngerti yang begituan. Abangku ada di rumah kok. Sibuk cuti skripsi.”
            “ Oke deh. Pulang sekolah ini aku ke rumahmu ya, sama anak-anak yang lain.”
            Rem mengangguk. Sepertinya Mama mesti bikin cemilan tambahan untuk sore ini.

21.39 Sabtu
            “..terjadi kebakaran besar yang menghanguskan sebuah SMA di kota S satu jam yang lalu. Saat ini petugas pemadam kebakaran masih berusaha memadamkan api. Sejumlah siswa-siswi sekolah masih terlihat berlarian keluar dari gedung sekolah. Hari ini adalah malam puncak Festival Budaya ke-9 di SMA ini. Masih belum bisa dipastikan jumlah korban jiwa pada peristiwa ini. Sementara itu..”
            Papa melongo melihat berita di TV yang baru dinyalakannya setelah sampai di rumah.
            “ Rem. Ini sekolah kamu.”
            Rem kaget. Menjatuhkan kantung berisi apel yang dibeli Mama dalam perjalanan pulang dari restoran. Rem buru-buru memencet handphone. Tak ada jawaban. Tak ada apapun. Rem mencoba berkali-kali.
            “ Pa. Momo nggak jawab telponnya.”
            Rem menangis. Kak Shaz langsung memeluknya. Bang Arka lantas refleks mengambil kunci motor dan meluncur keluar.
            “ Ma, Pa. Arka cek ke sekolahnya Rem dulu.”
            “ Hati-hati,” kata Mama. Papa hanya mengangguk.
            Rem melepaskan pelukan kakaknya.
            “ Bang, aku ikut.”
            “ Tapi Rem, bahaya.”
            “ Aku ikut.”
            Bang Arka menatap mata adiknya. Lalu meminta persetujuan Mama dan Papa. Orangtuanya mengangguk cemas. Kak Shaz lalu mengulurkan jaket dan masker untuk mereka berdua.
            “ Nanti kakak nyusul. Pakai mobil pasti macet kesana.”
            Rem dan Bang Arka mengangguk serempak. Lalu segera berlari ke luar rumah.

06.42 Minggu
            Rem menatap bangunan sekolah di depannya. Sisa bangunan tepatnya, puing-puing yang menghitam dan masih berasap. Titik-titik air mulai berjatuhan dari langit.
            “ Rem. Yuk pulang. Mulai gerimis nih.”
            “ Ke rumah sakit aja kak. Momo.”
            Kak Shaz mengangguk sedih. Memang tidak ada korban jiwa dalam peristiwa kebakaran semalam. Akan tetapi, Momo luka bakar hebat. Kritis. Sementara puluhan siswa-siswi lain juga menderita luka-luka, tetapi tidak separah Momo.
            Kabel listrik bersinggungan dengan kembang api. Teori itu yang diungkapkan petugas pemadam kebakaran, dini hari tadi saat api berhasil dipadamkan. Rem masih melihat dengan jelas, api besar menghanguskan sekolahnya. Dia menolak pulang sampai api dipadamkan. Akhirnya Rem tertidur dalam mobil Kak Shaz, sementara Bang Arka menunggu. Begitu bangun subuhnya, Rem hanya terpaku memandangi puing-puing bangunan sekolahnya. Menekan lensa kameranya ke mata, dan mengambil beberapa gambar.
            “ Mo, maafkan aku,” bisiknya lirih pada udara kosong.

22.37 Kamis, dua minggu kemudian
            “ Kenapa Rem ?”
            Rem menatap Momo. Tersenyum dan sedikit iba. Momo terlihat begitu pucat, tipis, transparan, berdiri di hadapannya yang sedang membersihkan kamera. Kedua kaki Momo tidak menginjak lantai.
            “ Aku bosan Mo.”
            “ Kenapa harus aku, Rem?”
            “ Siapapun boleh Mo. Siapapun mungkin. Tetapi malam itu, kau yang memilih menyalakan kembang apinya. Kau yang memilih mengatur panel listrik. Mungkin kebetulan kabelnya korslet. Dan kau mengantuk Mo. Kau tidak menyadarinya. Itu kecelakaan. Kecelakaan yang tertata apik,” jawab Rem berpuas diri.
            “ Tapi kau merencanakannya berminggu-minggu Rem. Berminggu-minggu kau menulis, membuat plot, hingga sketsa. Memanfaatkan kakak dan abangmu. Mungkin juga aku. Kenapa Rem ? Kenapa ??”
            “ Aku bosan Mo. Sesederhana itu. Sekolah. Orang-orangnya. Kemunafikannya. Kau tau kan. Betapa bobroknya kelakuan orang-orang itu. Aku melihatnya Mo. Aku mengabadikannya. Aku bosan. Bosan karena tidak bisa berbuat apa-apa.”
            Momo menatap Rem pedih.
            “ Kau tau aku takkan pergi kan Rem ?”
            “ Iya. It’s okay. More than okay, truly. Sahabatku. Saksi abadi mahakarya ini.”
            Rem tersenyum penuh arti pada siluet Mo yang melayang sedih.

15.17 Senin, tiga tahun kemudian
            “ Festival Budaya Kampus ke-9 akan diadakan tiga bulan lagi. Bagi rekan-rekan yang ingin berpartisipasi, silakan mendaftarkan namanya ke Sekretariat Klub Seni. Ditunggu sampai Senin minggu depan.”
            Rem nyengir setelah mendengar pengumuman komting angkatan, lantas berjalan ke luar ruang kuliah.
            “ Rem, please.”
            Momo berkata lirih di atas kepalanya. Pantas Rem merasa dingin. Ada Momo ternyata.
            Just relax and watch Mr. Mohica Ardiza. Kau akan hangat karenanya.”
            Sambil bersenandung kecil, mengepit kamera besarnya, Rem melangkah menuju ruang Klub Seni. Momo berusaha meraih lengan Rem,tapi nihil. Mo hanya bisa menatap jemari transparannya menembus lengan Rem. Tak ada yang bisa dia lakukan untuk menghentikan Rem.
            “ Remiza Astria. Jurusan Psikologi. Bidang yang diinginkan : Publikasi Dokumentasi”
            Rem menulis dengan rapi di daftar panitia, disaksikan si sekretaris Klub
            “ Kira-kira malam penutupan festival apa ya acaranya ?”
            “ Hmm. Api unggun. Bonfire gitu sih istilahnya. Kembang api juga. Live music. Semacam itulah. Tradisi tahunan sih.” Jawab si sekretaris klub Seni dengan acuh tak acuh.
            Bonefire”, bisik Rem nyaris tak terdengar siapapun, kecuali Momo.       
Rem tersenyum lebar. Lantas pamit dan berbalik, diiringi Momo yang berteriak-teriak memohon, tidak dipedulikan Rem. Momo menggapai tanpa harapan. Sementara Rem terus berjalan pulang dengan sketsa imajinasi dalam kepalanya yang cerdas dan mematikan.


- END -

No comments:

Post a Comment

The Long Conversation With You

  “The worst part of holding the memories is not the pain. It's the loneliness of it..." - Lois Lowry Hi Mas, it's been a while...