September 3, 2015

The Turing Machine

“..we are all pretending to be something..imitating something..someone..and we are no more, and no less, than what we can convince other people that we are..”

Seperti biasa, saya selalu telat dalam hal yang disebut sebagai menonton film bagus. Bukan apa-apa, di kota saya, nggak ada bioskop yang relevan. Jadi setelah sekian lama, saya baru bisa nonton film ini. Film yang sejak akhir tahun lalu (sekitar November 2014) menuai pujian dan nominasi. Alasan saya nonton bukan itu, saya kebetulan suka sama sebut saja babang Ben a.k.a Benedict Cumberbatch, si ganteng kharismatik yang bikin saya fangirling selama marathon seri Sherlock BBC. Selain itu film ini juga direkomendasikan oleh seseorang yang kebetulan minggu ini berhasil menguras pertahanan mental saya.

Jadi apa ceritanya ?
Tentang seorang matematikawan jenius (Alan Turing, babang Ben memerankan tokoh ini), yang berhasil memecahkan suatu ENIGMA dalam World War II. Enigma ini dipakai oleh negara saingan buat berkomunikasi. Memang, sejatinya otak saya ini gak paham-paham banget masalah coding, binary, encrypted , dan semacamnya. Tapi, buat saya, banyak hal-hal manusiawi di film ini yang membuat kemanusiaan kita dipertanyakan.
ini dia babang Benedict Cumberbatch yang jadi Prof.Turing (brain is the new sexy - serial tv yang lain, nik)


Alan Turing ini orangnya nggak biasa, selain identitas homoseksualnya (buat saya sih itu urusan dia), dia juga sulit berkomunikasi dengan orang lain. Khas nerd, geek, seperti itulah. Tapi, kayak kata tokoh pendamping dia, Joan (Kiera Knightley) : I know it isn’t ordinary, but whoever loved ordinary ?
Yes. Film ini berhasil bikin saya menangis sakit hati. Selain kata-kata yang nancep (quotes gitu istilahnya), masalah moral, kekejaman perang, dan jahatnya manusia, ditonjolkan dengan pas disini. Saya udah me-list daftar hal-hal yang bikin saya meringis ironis teriris. Nih dia..


  1. Alan Turing ini jenius, pinter banget, tapi karena ‘berbeda’..dia di bully. Sejak di masa sekolah. Kadang saya mikir, manusia kok suka gitu ya. Suka banget menghakimi sesama, padahal kita ini apalah ya. Kalau Tuhan mau, udah menguap ditelan badai matahari (abaikan, kepikiran dystopia sejenak)
  2. Ketika sudah berhasil memecahkan misteri Enigma, Prof.Turing harus mengambil keputusan untuk mengorbankan beberapa nyawa demi banyak nyawa lain (for the greater good). Kekejaman perang.
  3. Dia dihakimi karena orientasi seksualnya, dipaksa menghapus semua bukti kerja kerasnya (yang menjadi cikal bakal computer masa kini), dan pemerintah negara tersebut baru minta maaf 50 tahun kemudian, setelah dia udah nggak ada. Damn shit !
  4. He committed suicide. Merasa hampa. Dan nggak ada yang bisa nolongin dia. Dia sendirian. Benar-benar sendirian. Setelah apa yang dia lakukan buat orang banyak. Sediiihhhh.

Sebenarnya masih banyak lagi yang bikin saya merasa tersudut secara mental, tetapi sudahlah. Saya tau, mungkin saya sama jahatnya dengan siapapun dalam hal ini. Hanya saja, melihat pahitnya kebenaran, kekuatan ilmu pengetahuan, dan kejamnya penghakiman oleh manusia itu sendiri, membuat saya menitikkan air mata sakit hati selama menonton film ini. Good job. Mau menang penghargaan atau nggak, buat saya udah ada high appreciation tersendiri.
Terakhir, seperti biasa, film ini mengingatkan saya pada seseorang. Yang mungkin sedang sendirian menghadapi perang stagnasi di kepalanya. Saya tau, saya sudah mengulurkan tangan, tetapi mungkin itu tak cukup. Sekarang saya hanya mengembalikan pada Sang Mahadaya buat yang paling baik bagi dia. Semoga saja saya tidak kehilangan harapan...

No comments:

Post a Comment

The Long Conversation With You

  “The worst part of holding the memories is not the pain. It's the loneliness of it..." - Lois Lowry Hi Mas, it's been a while...