August 22, 2015

Drachenreiter, Unicorn-Rider, dan Nasi Angkringan



Banyak yang mesti disyukuri dalam hidup, ini salah satu contohnya.           

Jadi saya kembali menulis, curhat sih sebenarnya. Soal perjalanan singkat saya dalam rangka misi mengantar adik saya ke kota di seberang pulau. Tidak naik unicorn kali ini. Saya baru setahun kurang mengendarai unicorn sendiri, nggak punya stamina buat sejauh itu, belum lagi jadwal dunia nyata saya yang tidak bisa lama-lama ditinggal. Maka dengan titah dan dukungan material dari kedua bos besar di rumah, saya dan si adik ababil berangkat.

Standar ya, burung besi delay sejam lebih. Nah, kebodohan saya dan si adik, sebut saja namanya Rem, kami menonaktifkan alat komunikasi segera setelah masuk ruang tunggu, karena nggak bawa cadangan baterai dan lupa mengisi baterai perangkat telekomunikasi tersebut. Walhasil, kedua orangtua bocah-bocah labil ini panik. Dan begitu sampai di ibukota, saya dimarahi. Saya tau, ini marahnya kekhawatiran, karena dua anak gadis kece ke kota besar seberang samudra, trus penerbangannya kok lama banget, menimbulkan asumsi di kepala mama saya. Yang jelas-jelas mewariskan sifat cerewet, dan too much worrying things-nya pada saya. Yah, mungkin seharusnya saya naik naga saja. Tetapi saya nggak bakat, nggak punya naga, dan kebetulan si Rem nggetokin kepala saya (adik durhaka) menyuruh saya berhenti berkhayal.

Setelah mengisi perut superkilat, ditambah dengan lari-larian mengejar bison biru bermerk DAMRI dengan jurusan ke kota calon kampusnya Rem (jangan dibayangkan nyeret-nyeret bawaannya yang banyak, menyedihkan dan menggelikan kalau dilihat), akhirnya dalam perjalanan berdurasi sekitar dua jam kurang sedikit (yang dihabiskan dengan tidur), kami sampai di kota yang terkenal dengan talasnya tersebut.

Kesan pertama, MACET. Setelah berganti dengan menumpang sebuah sedan James Bond, yang kebetulan supirnya setara kemampuannya seperti Dominic Toretto (ayolah, sedikit banyak pernah ngintip Fast and Furious kan ya), tapi tidak botak, kami dibawa melewati jalur-jalur tak biasa menghindari kemacetan. Meskipun akhirnya tetap terjebak macet juga. Si supir bilang, ini efek weekend, kunjungan presiden, dan karena pendatang baru dan rombongan sejenis Rem mulai bermunculan.

Sampai di penginapan di dalam kampus, istirahat singkat, saya dan Rem memutuskan jalan-jalan melihat kampus barunya. Nah, saya suka, adem, banyak pohonnya (semoga nggak banyak setannya), dan enak buat jalan kaki. Rem udah excited banget. Sedangkan saya lebih excited lagi karena saya bakal liburan mendadak ke kota selanjutnya segera setelah urusan bocah ini kelar.
Ini dia adik saya, agak manis sedikit, lebih manis saya pastinya



Cukup satu setengah hari, beres. Rem bisa ditinggal, dengan teman barunya sebangsa kaum otaku pecinta cowok-cowok dua dimensi dan lagu-lagu berbahasa asing non Inggris yang saya tak paham artinya. Baiklah, she will be fine, kata saya. Khawatir, masih, tapi saya yakin Rem akan bertahan. Dia sudah level Anbu, murid Koro-Sensei, dan paham matematika jauh lebih baik dari saya.

Jadi saya kemana ?

Mengunjungi kota satu lagi, yang semakin manis di bawah pimpinan Lord yang baru. Di sini, saya udah disambut oleh sang Drachenreiter (penunggang naga, Bahasa Jermannya gitu, ngutip dari bukunya madam Cornelia Funke). Beliau ini teman baru tapi lama saya (lain lagi ceritanya, kebetulan dia sudah saya bikin jadi cerpen sendiri). Dengan setengah hati, dia menyeret tas besar saya, trus mengajak saya naik bison biru lagi,yang nyaman dan gede. Kenapa nggak naik naga aja ? Nah, nanti kita akan tau kenapa (nggak ada yang nanya juga kaliiii..)

Berhubung sudah sore dan ini hari kerja, jalanan ramai. Jadi kami menghabiskan waktu lama di bison. Ngobrol, lihat-lihat kota, trus saya merengek (literally) karena lapar. Memang saya punya badan cuma semeter kotor, kecil dan gampang diinjak, tetapi makannya banyak, sebanding dengan celoteh saya yang juga banyak. Sang Drachenreiter, singkatnya Drac (kepanjangan, capek ngetiknya), minta saya bersabar, nanti kita akan cari makan (iya, semangkuk mie goreng cumi enak). Tak lupa saya merengek lagi mau nonton bioskop, berhubung di tempat asal saya bioskop yang ada hanya sekedar ajang gelap-gelapan.

Dia manut (mungkin dengan alasan nggak tahan saya cerewetin terus), setelah menaruh barang di warnet kenalannya yang dipunggawai oleh seorang bersosok kurus gondrong rambut shampoo muka datar, saya pun diajak cari makan dan nonton.

Yang saya sukai dari kota ini adalah, bisa jalan kaki dan naik transportasi publik dengan tenang. Tidak seperti di kota saya yang hot in here, belum lagi saya yang manja, dan tidak banyak area yang nyaman buat pejalan kaki. Well, this is gonna be fun. Maka setelah makan banyak dan ngelapor sama Sang Pencipta, kami sampai di bioskop.

“ Kita nonton apa, Nek ?”

Saya melihat daftar filmnya. Ada film lokal yang lagi happening tentang poligami dan ada film Hollywood tentang agen rahasia (ada muka Tom Cruise dkk). Tom Cruise menang, alasannya, film lokal tersebut dari reviewnya yang sudah saya intip, pasti bakal bikin saya mewek jijay, dan saya sedang dehidrasi, sebaiknya tidak mewek.
Ini filmnya, si akang Tom Cruise gak pakai helm n naik moge


Karena masih ada sekitar sejam lagi, Drac mengajak saya jalan-jalan dulu. Ke tempat favorit kami dimanapun kotanya, yaitu tempat yang banyak bukunya. Dan serius ini suliiiitt, saya mesti susah payah menahan diri, karena sebulan ini saya sudah menimbun buku terlalu banyak. Maka kami kembali ke bioskop setelah saya ngos-ngos-an kelelahan. Duduk manis, lampu dimatikan, mulai menonton.

Lalu, di tengah action yang merajalela di layar lebar, saya tertidur.

Penjelasannya, ketika anda tertidur saat nonton film laga kelas ekstrim dengan pemain om-om lumayan ganteng ini, disebabkan oleh beberapa hal, yakni sebagai berikut : filmnya membosankan (sepertinya demikian, diselamatkan oleh tokoh bernama Benji, supporting character), anda berada dalam posisi duduk nyaman (kaki ditekuk, nyender seenaknya di bantal terdekat, tidak memperdulikan penonton tak dikenal lain), dan anda dalam kondisi capek sangat sekali. Sepertinya kombinasi ketiganya, dan saya akui, saya kelelahan. 
Setelah kepala saya diketok beberapa kali, saya terbangun, melanjutkan menonton, kemudian menghubungi sahabat saya satu lagi, sebut saja namanya Ebun, Peneliti Junior dan Penyembuh di sebuah Rumah Sakit di kota ini. Saya nebeng gratis di kos Ebun, sementara Drac kembali ke liang persembunyiannya. Me-recharge energi untuk menemani saya jalan-jalan di hari esok.
Pagi berikutnya, saya telat bangun. Saya dan Ebun ngobrol indah penuh skandal sampai dini hari. Makanya saya terlelap begitu hebat hingga tak sadar telah ditinggalkan Ebun yang mesti bekerja. Setelah beres-beres diri, saya menghubungi kembali Drac via telepati elektronik untuk bertemu di meeting point yang telah dijanjikan. Berdoa semoga saya nggak nyasar, saya sampai lebih duluan, sementara cowok ini datang beberapa periode kemudian dengan muka tidak bersalah karena telah membuat seorang wanita menunggu (astagah..).
Setelah memenuhi kebutuhan kalori dengan sarapan enak, kami memutuskan untuk berangkat ke tujuan selanjutnya. Saya sih pengennya ke suatu jalan yang nge-hits gitu di kota ini, sekalian alun-alun kebanggaannya. Tapi saya pasrah saja sama rancangan destinasinya Drac, katanya sih let's get lost together. Baiklah, asal saya dikasih makan (wanita macam apa).
Ternyata kami ke Museum Geologi, suatu bangunan glommy abu-abu dengan banyak batu, tulang, dan bola dunia di dalamnya. Oke, ini pertama kalinya saya kesini. Dan pertanyaan saya terjawab, ternyata naga si Drac menghilang, hanya puing-puing leluhurnya yang ada disini. Makanya kadang dia suka sedih, penunggang tanpa naga soalnya (asumsi saya saja, boleh diabaikan).


Tinggal tulang belulang, sepertinya sang Drachenreiter sedang mencoba berkomunikasi meminta petunjuk
Nah saya, yang sudah dicuekin secara magis oleh dinosaurus, memilih untuk muterin bola dunia dan melihat fosil-fosil prasejarah lain. Dan akhirnya, setelah kelelahan, saya memilih duduk berpose dengan tengkorak (katanya) leluhur manusia. Dilanjutkan dengan muter-muter di museum termasuk melihat turis domestik, mengisi kuesioner Night At The Museum (pihak museum mau bikin acara keren ini di akhir tahun, butuh support moril, saya suka banget, meskipun ntah bisa kesini lagi akhir tahun atau tidak), lihat berbagai jenis batu, nonton video tata surya, dsb dll. Lalu saya lapar lagi, pengen eskrim, dan mau kupat tahu. Akhirnya Drac mengajak saya meninggalkan museum, dan mulai petualangan kuliner kami.


Pitechanthropus erectus, abaikan penampakan endut gondrong di belakang tokoh utama
Berawal dari es cendol jualan seorang Aki yang manis enak murah di sekitar Gedung Sate (tapi nggak ada satenya, kecewa), dilanjutkan dengan menemukan kupat tahu yang ternyata agak 'miris' dan bikin rekan seperjalanan saya lumayan emosi, kami akhirnya mojok ke tempat yang disebut Taman Film, tapi gak ada filmnya. Saya nyaris nyolokin flashdisk dan menyesali kenapa nggak bawa harddisk buat mengisi kekosongan layar besar di taman tersebut. Ah sudahlah, mana saya tau kalau taman ini butuh kekreatifan seorang saya (iya gitu). Jadi, akhirnya, si penunggang naga tidur, saya ngelamun, sebelum akhirnya kami memutuskan untuk ke destinasi harapan saya sedari awal.
Melewati Taman Lajang/Jomblo/Pasupati (serius ya, Lord kota ini kok tega banget bikin saya baper), kami lalu naik transportasi setempat, kereta hijau magis dengan jurusan berbeda-beda (saya nggak hapal, jangan tanya), dan berlagak ala pengembara, akhirnya kami sampai di jalan legendaris tersebut. Didukung suasana langit mendung, jalan ini bikin hati adem. Angin sepoi-sepoi, bangku-bangku klasik, ditambah saya dibelikan cilok, suasana jadi oke sekali. Selanjutnya kami sampai di destinasi berupa alun-alun besar dengan rumput artifisial anti layu dan tahan hama. Nice, bisa duduk selonjoran adem, sambil mendengarkan petuah-petuah Drac tentang kehidupan (kemudian dilanjutkan dengan aksi semi-mengasuh anak pengunjung alun-alun tersebut). Saya sih senang, bisa tenang meskipun suasananya cukup ramai, heboh, dan banyak aksi jepret selfie.
Penampakan jalan legendaris tersebut, herannya kok gak ada patung lilinnya, hanya figur-figur dua dimensi begitu

Senja berganti malam, saya sudah dikontak oleh Ebun, mau ketemu dengan kakak Dodo, seorang kakak Guru mencakup Penyembuh Profesional Terdidik dan Tanpa Kelabilan yang kerja di Rumah Sakit juga. Sebelum itu, saya diajak makan (lagi) dulu, agak ngotot kayaknya Drac kali ini. Ternyata, setelah ngesot seksi terengah-engah di malam tanpa bintang, kami sampai di hidangan utama cerita saya ini, Nasi Angkringan.
Nasi dengan porsi kecil, rasa sederhana, tetapi tempatnya pewe bingits (sok gehol), yang makan juga rame, sekedar selonjoran di atas terpal biru kusam di sepanjang trotoar. Bukan masalah rasa nasinya, tapi maknanya. Begitu sederhananya hidangan ini, dan nggak ada perbedaan kalangan mana yang menyantapnya. Penunggang naga, penjinak Unicorn, pasangan romantis, siluet om-om businessman, mahasiswa, semuanya. Nggak ada masalah kasta disini. Sama rata, dipersatukan dalam sederhananya Nasi Angkringan. Yang lebih seru lagi, saya nyicip minuman sebangsa kopi dengan tambahan arang di dalamnya, pesanan Drac sih, tapi karena saya penasaran, saya coba dan ternyata enak. Huwooo, first time is always the best. Dan petualangan kuliner Nasi Angkringan ini membekas banget di kepala saya, memorable gitu istilahnya.
Drac mengantar saya ketemu Ebun dan kak Dodo, lalu saya pamit mau balik ke pulau saya esok hari. Drac lalu menghilang ditelan kegelapan, meskipun akhirnya dia sampai dengan selamat di singgasana sahabat setengah mutan nya yang lain. Bersama Ebun dan kak Dodo, kami icip-icip es buah dan cemilan (sungguh, hari saya penuh dengan hasrat makan-memakan), sembari bertukar cerita, rumor, skandal, spekulasi duniawi, dan semua hal-hal separuh prasangka berbasis ilmiah kekinian lainnya. Mereka ini saya kategorikan sebagai sahabat superwomen yang ekstra tangguh, melawan kerasnya kehidupan (cailaa..)
Kakak Dodo, Ebun, dan Saya (kategori Penyembuh dan Penyihir yang berbahaya)

Esoknya saya berangkat. Transit sebentar, lalu disambut lagi oleh dua pangeran negeri jauh. Obrolan singkat menyenangkan, dan saya dikasih tanda mata (mungkin sejenis sesajen). Luar biasa rasanya bisa ketemu orang-orang yang hanya nongol di beranda sosial media. Saya yang berisik, berhasil ditolerir oleh pria-pria kalem ini (mungkin mereka terpaksa..bahahahaha). Intinya, saya bisa kembali pulang dengan bahagia.
Pangeran Raafi dan Pangeran Gentur, utusan kerajaan fantasi

Tetapi, sore itu di dalam burung besi, petir dan awan tebal menghalangi pendaratan saya. Saya berpikir, mungkin Zeus sedang PMS, atau ada aktivitas serombongan dementor yang berkeliaran di luar kendali. Setelah satu jam lebih tidak bisa mendarat, saya mulai ketakutan. Standar, setiap yang bernyawa pasti mati. Dan saya takut, takut karena saya tidak punya persiapan cukup buat menghadap Sang Maha Digdaya ini. Maka saya hilangkan semua identitas anomali, absurd, dan kepongahan saya. Berdoa sekuat tenaga bersama penumpang lainnya. Dan alhamdulillah, akhirnya kami mendarat dengan sempurna.
Di dalam perjalanan ke rumah, hingga sampai di rumah, saya merenung. Betapa kurangnya saya bersyukur. Kalau Dia mau, bisa saja saya udah tinggal nama dan masuk berita. Tetapi dia masih ikhlas memberi saya kesempatan. Sesederhana Nasi Angkringan, kita semua mah apa atuh. Sesederhana es cendol tepi jalan, hidup ini gampang banget buat Dia. Lalu, mengapa saya mesti banyak mengeluh ?
Perjalanan singkat ini memberi saya sedikit pemahaman, kalau saya ini kebangetan. Drac, Ebun, kak Dodo, mereka menjalani hidup dengan caranya masing-masing, berjuang sekuat tenaga untuk menggapai mimpi yang tentunya diridhoi Dia. Mereka nggak menyerah. Penjual Nasi Angkringan juga tetap bertahan. Rezeki jalan terus, bumi masih berputar. Kenapa saya nggak belajar berterima kasih ?
Maka, sepanjang cerita acakadul kepanjangan ini, saya mengucapkan hatur nuhun banget. Pada Dia, Rem, mama papa, Drac, Ebun, kak Dodo, pangeran-pangeran kalem, penjual Nasi Angkringan, pilot burung besi, supir kereta kuda, dan semua yang memberi warna dalam liburan sekedarnya ini. Kalian memberikan saya pelajaran, mungkin belum cukup untuk mendewasakan saya, tapi sudah pasti mampu mengembalikan rasa syukur atas kefanaan yang sementara di dunia ini.
Sekian. Sampai jumpa di liburan dan curhatan selanjutnya (pasti kapok lah baca lagi..wkwkwk).

NB : ditutup seenaknya karena akses Wi-Fi gratis bentar lagi habis..^^



No comments:

Post a Comment

The Long Conversation With You

  “The worst part of holding the memories is not the pain. It's the loneliness of it..." - Lois Lowry Hi Mas, it's been a while...