August 20, 2015

Them, Kumpulan Cerita Pendek Tentang Mereka (P-2) - Uda

            “ Kamu itu, cocoknya jadi istri, bukan cuma jadi pacar.”
            Aku tersenyum. Dengan hati berbunga-bunga, tentu saja, meskipun perkataan itu terucap nyaris 7 tahun yang lalu. Mungkin kamu nggak ingat lagi. Sudah terpendam lama dan dilupakan. Di sela-sela petualangan cintamu yang beraneka itu. Tapi, kamu harus tau, wanita mengingat dengan sangat baik, apalagi hal-hal yang sedemikian menancap di hati lemahnya.
            Dulu kamu nyaris tidak terlihat buatku, sejak di sekolah menengah, kita hampir nggak bersinggungan. Meskipun selama tiga tahun di satu kelas yang sama, kita tak banyak bicara. Dunia kamu, dunia aku, itu beda. Aku maunya dapat nilai terbaik, ujian sukses, dan prestasi oke. Kamu maunya main, lulus seadanya, terlihat tanpa ambisi.
            Tapi kamu mengejutkan aku. Itu kali pertama kita pulang bareng, berdua saja, menunggu angkot yang sama di depan gerbang sekolah. Aku nggak pernah berpikir kamu bakal bilang begitu padaku.
            “ Mau nggak kamu jadi pacar aku ?”
            Aku tertawa, kaget dalam hati, senang sedikit.
            “ Becanda ih. Aneh-aneh aja.”
            “ Nggak. Aku serius.”
            Tentu saja aku menolak. Aku, overthinking. Aku nggak mau ada distraksi yang mengganggu sekolah. Aku nggak yakin dengan kamu. Dan aku sudah tau, kamu baru saja ditolak si gadis ayu teman sekelas kita, sehari yang lalu. Aku berburuk sangka, tak mau dijadikan pilihan kedua. Ngeri ya ? Pikiran-pikiranku kadang begitu.
            Hidup lalu mulai serius. Aku kuliah, kamu juga. Kita satu Universitas, beda fakultas. Aku mulai sibuk dengan hidupku, dengan dunia mahasiswa yang banyak warnanya. Tapi kamu, nggak pernah lupa aku. Kamu telepon, ngajak jalan. Dan kamu dengan mantap menebak aku lagi naksir siapa saat itu. Kamu membaca aku, kayak buku terbuka di atas meja. Aku bertahan, tarik ulur. Kamu mungkin juga sama.
            “ Kamu mau nggak jadi pacar aku ?”
            “ Tergantung, kalau kamu serius, ayuk. Saat ini juga. Biar jelas maunya kamu apa sama aku.”
            Aku menantang kamu ketika itu. Padahal, tanganku gemetaran memegang handphone, dan jantungku tak karuan. Egoku yang bertahan. Kamu lalu tertawa. Menarik lagi kata-katamu.
            “Kamu itu, cocoknya jadi istri, bukan cuma jadi pacar. Hmm..ini aku serius. Kalau 7 tahun lagi dari sekarang, kamu dan aku sama-sama sendiri, aku bakal ngajuin proposal ke kamu. Aku akan minta kamu buat jadi istri aku.”
            Aku mengiyakan, sambil tertawa. Sekali lagi aku berbohong, aku senang dengan penghargaan itu, dengan janji yang kamu tawarkan. Aku mengingatnya, sangat baik malah.
            Lalu kamu menghilang. Aku sibuk. Sibuk kuliah, belajar jadi aktivis kampus, dan suka dengan yang lain, meskipun tak pernah aku ungkapkan. Dia itu sahabatku, aku berada bersamanya selalu, saat dia perlu. Hingga membantu menjadi mak comblang antara dia dan gadis yang disukainya. Aku memang begitu, paling pandai berpura-pura, kemampuan yang luar biasa. Kemudian aku dengar juga, kamu sudah bersama seorang wanita, serius sepertinya, tidak sekedar flirting. Kamu bertahan bersamanya, sehingga aku juga berusaha. Berusaha untuk tidak mengulangi ingatan tentang kamu.
            Setelah bencana menimpa kota kita, aku merasa menemukan kasih sayang baru. Dia sahabatku yang lain, tapi aku merasa kami bukan sekedar sahabat. Kata orang-orang sih, teman tapi mesra. Aku nggak menyangkal. Hampir setengah tahun aku dekat dengan kadar berbeda bersamanya. Pada akhirnya, aku nggak sanggup. Aku bertanya, dia menganggapku sebagai apa. Aku bertepuk sebelah tangan ternyata. Itu menghancurkanku. Sangat.
            Mungkin Tuhan punya skenario yang tidak biasa untukku. Di hari ulang tahunku yang ke 22, kamu menelepon, mengucapkan selamat ulang tahun, lalu dengan jahatnya, menebak kegundahan dalam suaraku. Sejak itu, kamu kembali. Mengawalku via suara, menenangkan hatiku, dan aku tak menolak. Aku rapuh, kamu tau itu dengan jelas.
            “ Kamu nggak usah berpura-pura kuat di depan aku.”
            Tapi, kekasihmu mengabari aku. Bilang kalian sedang break, dan dia dengan putus asa bertanya padaku harus bagaimana, dia sayang padamu. Dia tau, aku ini sahabatmu, teman satu sekolahmu dulu. Aku bingung. Aku tau, aku sudah bermain api sekarang.
            Kamu nggak pergi. Kamu terus ada.
            “ Asal kamu tau, dari dulu, aku udah suka sama kamu. Kamu boleh anggap aku tong sampah kamu. Buat mendengarkan semua cerita kamu. Buat jadi sandaran kamu. Aku nelpon kamu tiap hari karena aku sayang sama kamu. Nggak berubah dari dulu. Aku tau kamu itu rapuh. Cuma kamu pura-pura kuat di depan semua orang. Makanya aku nggak pernah bisa ninggalin kamu.”
            Kamu membaca aku lagi. Kamu mengikat perasaanku dengan kata-kata itu. Maka, aku jalani dengan kamu, tanpa status, cukup perhatian dan sayang saja. Tetapi, lagi-lagi, logikaku yang waras berbicara. Saat itu, aku ingat, setelah malam Takbiran, kamu meneleponku, mengucapkan selamat Hari Raya, dan merencanakan bertemu, menghabiskan hari berdua sebelum liburanku usai. Aku mengiya-kan. Senang luar biasa.
            Mungkin logikaku atau apalah namanya, punya kendali yang jauh lebih baik atas diriku saat itu. Tiba-tiba saja, kesadaran menghantamku. Kamu masih milik dia, dan dia masih menunggu kepastian darimu. Maka aku menelponmu lagi.
            “ Uda, maafin aku. Bukan karena aku nggak sayang. Bukan karena aku nggak suka. Tapi, sebelum ini terlalu jauh, sebelum ini terlalu menyakitkan, buat aku, buat uda, dan buat dia, kita harus berhenti.”
            Singkatnya begitu. Ah, hebat sekali kan aku. Dan kamu setuju. Padahal, ada bagian dari diriku yang berharap kamu tetap maju, memilih untuk memperjuangkan aku, lebih dari ini.
            “ Baiklah, kalau itu yang kamu mau. Berarti kita nggak usah kontak lagi. Jaga diri kamu baik-baik. Rajin kuliahnya, cepat lulus. Dan jangan menangis.”
            Kamu menutup telepon. Aku menangis sesenggukan semalaman. Pertama aku kecewa karena pria itu, lalu aku melepaskan kamu. Logikaku mengingatkan : ‘Aku takut Uda, takut karma. Kamu masih milik wanita itu. Aku tak berani melanjutkan api ini lagi.’ Kadang aku ingin menarik keluar si logika dan menghajarnya habis-habisan. Mengapa aku melakukan ini padaku ? Bencana perasaan beruntun buatku.
            Dan hidupku jalan terus. Tetapi hatiku nyaris beku. Aku membangun dinding untuk melindungi diri sendiri. Mati-matian bertahan sendirian. Tidak membuka hati lagi. Tidak membiarkan bunga-bunga bermekaran di dalam. Tidak mau mencoba lagi. Aku hanya peduli, peduli saja. Pada mereka, pada lawan jenis yang dekat di sekitarku. Dan jadilah aku, sahabat baik, kekasih tidak ada. Tidak sampai hari ini.
            Kamu tau, aku tidak mengerti kenapa selalu begini. Kamu selalu muncul kembali. Kali itu saat aku merantau sendirian. Kebetulan aku bekerja di tempat terpencil, beberapa jam dari kotamu. Entah darimana, kamu tau aku disana. Kamu mengomeliku, kenapa tidak mengabari kamu. Aku tertawa. Kamu seenaknya, sangat seenaknya. Tetapi kamu tidak membacaku seperti dulu. Aku heran, namun kamu tak berubah. Tetap memperhatikan aku, mengecek rutin nyaris tiap hari lewat suara.
Stress pekerjaan membuat otakku mengendur. Lalu aku memutuskan takkan lari lagi. Kali ini perasaanku menang. Aku memintamu untuk bertemu, di hari libur kerjaku. Aku akan mencoba, mencoba sebatas mana hati ini bersuara untuk kamu.
            Tetapi kamu menghindar. Kamu tidak ingin bertemu aku dengan berbagai alasan. Pemahaman menghantamku lagi. Kamu tidak ingin aku. Aku kecewa, dan aku berlari pergi, mencari pekerjaan baru dengan level kesibukan tak biasa. Distraksi.
            Mungkin aku memang rapuh. Gampang menemukan distraksi lain. Perasaan-perasaan, perhatian lain yang datang buatku. Itu tidak cukup, sejatinya aku tau. Tidak ada yang serius mendekati aku. Meskipun kali ini aku sudah membuka diriku. Tembok Berlin itu sudah berpintu. Walau teralinya masih kokoh, dan kuncinya masih tersimpan. Tetapi jendelanya transparan, hingga yang lain bisa mengintip isi hatiku.
            Tuhan punya rencana. Aku selalu berbaik sangka. Berusaha tepatnya. Berharap ada seorang nerd yang berani menghancurkan pintu dan temboknya sekalian, sekaligus membawaku keluar dan tidak akan meninggalkanku sendirian.  Kenyataannya, kegagalan demi kegagalan selalu aku temui, tapi aku tau, ada yang baik untukku. Mungkin.
Sedangkan kamu, sudah berganti kekasih, dengan yang lebih baik mungkin. Aku selalu tau. Silent stalker, anggaplah demikian. Aku tau, pekerjaanmu, karirmu. Tapi aku tak pernah tau, isi hatimu yang paling jujur, entah ada aku atau tidak.
            Lalu aku dekat dengan sahabat baikmu. Itu cerita yang panjang. Dan dia juga menempati posisi yang aneh di sudut hatiku. Awalnya biasa, simply caring. Aku tak mengerti, tapi terlalu lelah untuk mencari tahu. Lantas, setelah sekian lama tak berkabar berita, kamu bertanya padaku tentang dia. Aku tidak mau menjawab. Aku penjaga rahasianya. Dengan manisnya aku berkilah, berkelit dengan kata-kata, nyaris lebih lihai daripada kamu. Dan aku kembali menantangmu. Mengapa malah bertanya tentang dirinya, bukan tentang aku ?
            Kamu tertawa.
            “ Aku masih ingat kok. November tahun ini kan, tepat 7 tahun lalu. Kita lihat akan seperti apa jadinya.”
            Aku tersenyum. Tersentuh karena kamu ingat. Mungkin aku berharap. Mungkin juga tidak. Aku masih berpura-pura kuat, tentu saja. Tapi, aku tidak selemah dulu. Mari kita sama-sama menunggu.
            People change, maybe me too. Right now, I’m waiting. And if it’s just a game, let it be. The game is still ON. And we’re both playing, not just you.

1 comment:

The Long Conversation With You

  “The worst part of holding the memories is not the pain. It's the loneliness of it..." - Lois Lowry Hi Mas, it's been a while...