August 20, 2015

Them, Kumpulan Cerita Pendek Tentang Mereka (P-3) - Balada Cinta Tiga Bocah

“Nenek…”
Si bocah kacamata dengan muka memelas, tiba-tiba merengek pada Neneknya. Si Nenek yang sedang sibuk menatap layar laptop tertegun sejenak. Bocah sayu dan agak kurus itu lalu menyandarkan kepalanya dengan lemas ke bahu si Nenek.
“ Apa..? Kamu kenapa..?,” tanya Nenek prihatin. Dalam hati, si Nenek sudah tau apa jawabnya.
“ Rani..Aku sayang banget sama dia Nek. Tapi kami berantem terus belakangan ini. Aku nggak ngerti maunya dia apa,” curhat si bocah.
“ Hmm..terus..?,” lanjut Nenek.
Maka si bocah bercerita. Tentang Rani, wanita yang awalnya sahabat baik si bocah. Kemudian, seperti kata-kata indah dalam lagu popular, persahabatan jadi makin lebih. Rasa sayang tak biasa, proteksi tak sewajarnya, dan benih-benih romansa. Dan si bocah melanjutkan pertaliannya dengan Rani, menjadi lebih dari teman biasa.
Lalu waktu pun bergulir. Si bocah bilang, Rani berubah, jadi makin cemburuan gak jelas. Jadi sok ngatur, dan kebanyakan menuntut. Nenek mendengarkan dengan seksama. Tau dari awal kalau ini akan terjadi, tetapi diam saja. Nenek menyayangi bocah ini, sudah seperti saudaranya sendiri. Tetapi kalau soal hubungan dua orang, Nenek memilih untuk tidak ikut campur. Hanya berdiri sendiri, memberikan perhatian yang biasa, dan menawarkan perlindungan semampunya, bila bocah ini terjatuh.
“ Makasih, Nenek..”
Si bocah pulang, setelah mengadu panjang. Nenek tau, bocah ini akan baik-baik saja. Meskipun Nenek mengabaikan firasatnya tentang Rani. Firasat yang pada akhirnya, terjadi beberapa tahun kemudian.


            “ Bocah, lo kenapa..?”
            “ Hah, gue..? Aman kok Nek..Gue gak kenapa-kenapa kok..”
            “ Alah, gak usah bohong lo.. Minggu depan Nenek balik. Kita ketemu. Kita cerita.”
            Si Nenek mematikan handphone-nya. Bocah keriting cungkring di seberang tertegun. Bocah ini tersenyum miris, entah kenapa Neneknya selalu tau. Menebak mungkin, tapi tebakannya nyaris tidak pernah meleset.
            “ Jadi, lo kenapa..? Galau melulu..? Putus sama Linda..?,” kata Nenek blak-blakan di restoran Padang favorit mereka, seminggu setelah perbincangan jarak jauh itu. Si Nenek baru saja selesai dengan seminar ilmiahnya, dengan muka lelah dan sedikit lapar, tapi keukeuh ingin bertemu si bocah keriting.
            “ Yah, gitulah Nek. Gue nggak bisa bohong sama lo,” kata si bocah mengakui.
            Maka Nenek mendengarkan lagi. Bocah keriting itu bertutur sembrono tentang kisah galaunya bulan ini. Linda, gadis manis yang telah dia pacari setahun lebih, memutuskan untuk mengakhiri hubungan, tepat setelah si bocah sukses dengan ujian skripsinya. Dengan mata agak berkaca-kaca, bocah keriting itu menatap Nenek.
            “ Berat buat gue, Nek. Dia bilang gue orangnya cuek. Dia nggak kuat gue tinggal buat ngurus skripsi dan persiapan S2 gue. Trus dia dengan gampangnya bilang kalau udah nggak nyaman sama gue. Dia takut gue bakal selingkuh. Padahal, lo tau lah, gue kalau nggak lagi sama dia, ya di kampus kuliah, atau paling gue sama anak-anak di kos, main game online.”
            Nenek mengangguk-angguk paham. Dia mengenal bocah keriting ini dengan baik. Bocah yang lebih suka main game daripada flirting dengan perempuan. Suka menghabiskan waktu dengan ngemil coklat, minum susu, merawat kucing, lalu berantem dengan sumpah serapah melawan musuh tak kasat mata di layar komputer. Bocah bermulut seenaknya, tapi jujur dan blak-blakan.
            “ Mungkin nggak ada alasan lain ? Nenek nggak nuduh sih..ada cowok lain misalnya..?,” kata Nenek, seolah sudah tahu jawabannya.
            “ Ah, itulah Nek..,” si bocah tertunduk lesu.
            Linda, didekati sahabat lamanya yang katanya penuh perhatian. Mengantar kesana kemari, membawakan makanan, suka tanya kabar, dan segudang bentuk kemanisan aduhai lain yang mungkin luput dilakukan si bocah keriting. Nenek tertegun sejenak. Merasa prihatin pada bocah ini.
            “ Sudahlah..mungkin dia bukan jodoh lo. Nenek tau, bakal ada yang paling baik untuk lo. Yang bakal lihat lo jauh lebih dalam. Sekarang, fokus aja. Lo punya masa depan dan cita-cita yang masih bisa diraih,” kata Nenek berusaha membujuk si bocah.
            “ Iya Nek..tapi..”
            Maka si bocah keriting bertutur lagi. Menceritakan semua keluh kesahnya. Kekecewaannya. Nenek akhirnya diam, mendengarkan. Dia tau, bocah ini hanya perlu mengeluarkan isi hati tanpa interupsi. Nenek mencoba mengerti, meskipun dia tak tahu bagaimana rasanya patah hati sampai seperti ini.
            “ Suatu saat, bakal ada yang lihat kebaikan lo. Percaya deh,” kata Nenek di akhir curhat dua jam lebih bersama si bocah keriting.
            Bocah keriting, menggangguk sedikit lega, lalu mengantar Nenek pulang. Si bocah lalu pamit pada Nenek untuk meneruskan pendidikan ke ibukota tercinta.


            “ Nenek, bantuin Abang yaaa..plisss..”
            Si abang yang masih berjiwa bocah, memohon pada Nenek untuk menyelesaikan tugas kelompok yang jelimet ini. Bocah jangkung nan layu terlihat panik kepepet deadline ujian yang lumayan menguras energi. Lantas dia menyeret si Kakak, kekasihnya yang setia untuk menemani persiapan ujian.
            Nenek mengangguk. Lalu kembali sibuk menulis. Beberapa jam kemudian, si bocah jangkung dan Kakak kembali, membawa makanan sesajen. Nenek senang. Nenek sayang dengan pasangan lucu ini. Sama seperti mereka berdua menyayangi Nenek seperti adik sendiri. Nenek berdoa, semoga jalan mereka dimudahkan, sehingga mereka bisa bersama dan saling menjaga.
            Tetapi doa Nenek mungkin tidak terjawab semestinya. Suatu sore, beberapa tahun kemudian, dia menelepon, masih dengan nada bocahnya, mengadu kalau dia sudah tidak lagi bersama kakak. Jujur, Nenek kecewa dalam hati. Tapi, untuk kali ini, dia mendengarkan saja cerita si bocah jangkung mengungkapkan keluh kesah.
            “ Dia secara tersirat minta komitmen. Nenek taulah, abang kan masih pengen sekolah. Masih pengen senang-senang. Belom lagi dia tu bossy banget. Semuanya pengen tau aja. Pengen ngatur aja. Abang bosan ah.”
            Nenek bingung mau menanggapi seperti apa. Dia tau, Kakak menyayangi bocah ini sepenuh hati, setia hampir 7 tahun bersama, dengan segala sifat kekanak-kanakan masing-masing. Saat itu, Nenek menahan diri untuk tidak mengungkapkan kekhawatirannya. Kekhawatiran kalau si bocah jangkung telah melepaskan bidadari dari genggaman. Tetapi, sekali lagi, Nenek tak mau ikut campur, urusan hati, siapa yang tau. Maka Nenek diam saja, hanya mendengarkan celotehan bocah jangkung berapi-api.
            Sebulan kemudian, dia menelepon Nenek lagi. Mengabari kalau sudah menemukan kekasih baru. Memperlihatkan fotonya pada Nenek, dan begitu gembira riang. Nenek hanya ikut memberi selamat. Meskipun dalam hati, lagi-lagi firasatnya berkata lain.
            “ Pokoknya, nanti Abang kenalin Yana sama Nenek. Nenek kabarin ya, kalau main ke Jakarta,” kata bocah jangkung via telepon.
            “ Iya, nanti Nenek kabari. Abang kerja baik-baik ya. Jangan lupa jaga kesehatan,” kata Nenek mengakhiri sambungan.
            Dan bocah jangkung sibuk dengan rutinitas pekerjaannya. Sesekali menelpon Nenek, bercerita. Nenek mulai merasa tenang, mungkin bocah ini bakal baik-baik saja.


            “ Nenek, kapan pulang ? Buka puasa bareng yok kita.”
            Ada yang lain dalam suara si bocah kacamata. Nenek sama sekali tak punya petunjuk. Terpisahkan oleh jarak dan waktu, frekuensi kesibukan yang tak biasa, kabar pun jarang terdengar. Setelah membuat janji akan bertemu, Nenek sedikit penasaran. Dan akhirnya, si bocah mengadu lagi.
            “ Aku udah nggak sama Rani lagi, Nek,” katanya sedih.
            “ Eh kenapa..?? Kok tiba-tiba..?”
            “ Dia mutusin aku..nggak sanggup katanya. Nggak sanggup lagi sama aku yang begini ini,” kata bocah kacamata lirih.
            Rani, si mantan kekasih, memutuskan hubungan karena merasa sudah tidak cocok lagi. Memukul perasaan si bocah kacamata begitu mendalam. Terlebih lagi tiba-tiba dia melihat Rani sudah pindah ke hati yang lain, sahabat si bocah sendiri. Rani membuat alasan, katanya. Mereka sudah punya hubungan khusus, bahkan sebelum berpisah. Bocah ini bercerita dengan emosi, merasa dikhianati, dan tidak mungkin bisa bersahabat lagi dengan Rani.
            Nenek menghela napas, separuh lega, separuh kasihan. Mengingat firasat anehnya yang dulu, kalau akan terjadi sesuatu. Tetapi dia tau, dia akan menyediakan bahu dan semangat untuk bocah ini, bukan menambah emosinya.
            “ Sudahlah, kamu berhak untuk yang lebih baik. Ada cita-cita yang mesti dikejar,” kata Nenek sejurus kemudian.
            Bocah kacamata mengangguk. Sulit memang. Nenek juga tidak sepenuhnya paham, bagaimana sebenarnya perasaan para lelaki ini. Tetapi, memang badai pasti berlalu, beberapa tahun kemudian, bocah kacamata kembali melapor pada Nenek. Tentang Sifa, gadis muda penuh warna yang mengisi hari-harinya kembali.
            Kali ini, Nenek tak punya hunch apa-apa. Sifa menyayangi bocah kacamatanya dengan cara yang berbeda. Dan jujur, Nenek lega. Berharap dan berdoa dalam hati, ini yang paling baik untuk saudaranya.


            “ Nek, temenin gue dong. Banyak nih yang mau diurus.Males gue bolak-balik sendirian.”
            Si bocah keriting menghubungi. Meminta Nenek menemani urusan birokrasi yang jelimet di institusi pendidikannya. Nenek sedikit heran bercampur geli, mendengar sumpah serapah si bocah yang sebal setengah mati karena ijazahnya tak kunjung diberi.
            “ Jadi, lo udah move on belom..??,” Nenek bertanya ingin tahu.
            Bocah keriting yang mulai gemuk itu tertawa.
            “ Move on sih udah, Nek. Cuma ya gue belom punya komitmen ke siapa-siapa. Mau fokus kerja sama bikin usaha aja deh dulu gue.”
            “ Asiikk dah. Cadas bener lo.”
            “ Ya iyalah Nek. Mau gue kasih makan apa anak gadis orang ntar. Biar deh, gue single dulu.”
            “ Ah, banyak gaya lo. Paling juga ntar ngincer tante-tante kaya,” kata Nenek sambil tertawa terbahak-bahak.
            “ Kampret lo Nek. Bantuin cari napa. Siapa tau ada mahasiswi lo yang manis-manis buat gue. Jangan ngemeng aja lo,” kata bocah keriting sambal balas menghina.
            Nenek hanya tertawa. Memang pembicaraan mereka terkesan tak tahu etika berbahasa. Tetapi Nenek tidak peduli, bocah keriting ini sudah jauh lebih baik. Tidak lagi sedih dan sudah memilih untuk dewasa. Nenek berharap, akan ada wanita di luar sana yang mampu untuk berbagi dunia. Semoga, pikirnya.
            Terakhir, bocah keriting mengabari. Interview kerja sudah berhasil dilalui dengan sukses dan usaha sudah mulai dirintis. Nenek ikut bangga, dan dia yakin, bentuk cinta yang baik akan segera datang, jauh lebih manis dan berjalan indah.


            Nenek mengecek pesan singkat di smartphone-nya, si bocah jangkung mengajak bertemu. Mau cerita banyak katanya.
            “Abang mau cerita apa..?,” kata Nenek di dalam mobil baru si bocah. Bocah jangkung sudah sukses dengan karirnya, tetapi tiba-tiba pulang dengan wajah tanpa semangat dan badan yang tak berisi. Menjemput Nenek di kampus setelah jam kerja.
            “ Yana, Nek. Ah, Abang mau putusin aja. Capek..”
            “ Loh kok gitu..?”
            “ Dia egois Nek. Nggak perhatian sama sekali. Maunya dia aja yang didengerin.”
            Lantas si bocah jangkung bercerita penuh amarah. Yana yang katanya manja, sombong, nggak perhatian, dan selalu membanding-bandingkan dirinya dengan sederetan pria lain. Bocah ini kecewa, merasa kalau dia hanya dimanfaatkan untuk kepentingan remeh, sekedar traktir makan dan mengantar kesana-kemari.
            Nenek berusaha mencerna ceritanya. Lalu melontarkan kesimpulan telak ke si bocah.
            “ Mungkin Abang memilih Yana hanya untuk mengisi kekosongan setelah nggak sama Kakak. Tapi Yana nggak sama kayak Kakak. Dia lebih sayang dirinya sendiri, Abang mungkin bukan prioritas.”
            Bocah jangkung itu terdiam, seakan tertohok dengan kebenaran yang diungkapkan Nenek. Beberapa saat kemudian, dia mengangguk menyetujui, menghela nafas berat.
            “ Entahlah, Nek. Mungkin Abang memang salah. Yang jelas,Abang pokoknya bakal mutusin dia,” kata si bocah dengan kebulatan tekad.
            Nenek hanya menatap si bocah. Mengucapkan berbagai kata penghiburan. Lagi-lagi Nenek berharap, ada resolusi paling baik untuk bocah ini. Dengan studi dan karir  yang lancar, semoga bocah jangkung bisa mendapatkan cinta terbaik, atau berhenti sejenak untuk memperbaiki diri. Melihat ke dalam, akan hal-hal esensial yang mungkin terlupakan.


            Dan sekarang, Nenek selesai mengetik ceritanya untuk sementara waktu. Balada cinta bocah-bocah di dekatnya ini. Pria-pria yang masih berusaha menuju dewasa, bukan sekedar fisik. Nenek, bukan juga benar-benar nenek, hanya sahabat merangkap saudari yang tersedia. Dengan telinga, kedua tangan kecil, dan isi kepala seadanya, untuk menampung cerita. Pengalaman hidup para bocah yang masih berlanjut, dengan warna dan rasa beraneka. Suatu saat mungkin, Nenek akan menulis pengalaman hidupnya sendiri. Nanti, ketika sudah ada yang benar-benar mengalihkan dunia kecilnya. Saat ketika dia sudah tak perlu ‘mengasuh’ bocah-bocahnya lagi. Mungkin ketika sosok Kakek sudah ada di sisi.

           

No comments:

Post a Comment

The Long Conversation With You

  “The worst part of holding the memories is not the pain. It's the loneliness of it..." - Lois Lowry Hi Mas, it's been a while...