August 20, 2015

Taman Peri

Ini adalah cerita pendek fantasi yang saya buat pada bulan Juli 2014 dalam rangka event Reading n' Writing Challenge di komunitas Penggemar Novel Fantasi Indonesia.
Cerita pendek ini dibuat sebagai prekuel Peter Pan karya asli oleh J.M.Barrie. Selamat membaca.


Taman Peri

  Kapten Hook yang kejam menatap iri dari kejauhan. Kilauan-kilauan kecil berkelip-kelip di sepanjang Neverland, berterbangan bebas kesana kemari. Begitu bebas, begitu bahagia, seolah dunia tunduk pada kemauan mereka. Hook penuh imajinasi, meskipun terkesan kejam, dia membayangkan semua peri di Neverland dalam genggamannya. Mengurung mereka dalam toples-toples kaca, meminta mereka menemaninya bernyanyi dalam rangkaian nada saat Hook yang perkasa memainkan pianonya.
   
   Hook membenci peri, membenci keceriaan. Tetapi jauh di lubuk hatinya yang kelam, ada sejumput kenangan kecil yang menyakitkan sekaligus membahagiakan tentang para peri. Tentang Peter, tentang masa kecil yang telah dikubur dalam-dalam. Sehingga jika kau ingin menggali kenangan itu, kau harus benar-benar bersiap diri, merambah relung-relung hati Hook yang penuh duri, jebakan, dan racun mematikan.   
   Dalam tidurnya suatu pagi yang biasa di Jolly Roger, entah kenapa sebersit kenangan itu muncul. Mengapung tipis dan samar-samar, gambaran London tua mengabur, entah di masa yang mana. Terlihat keramaian dan kekumuhan berseliweran, disertai tingkah polah anak-anak kecil berlari kesana kemari. 
    Hook kecil, tak pantas disebut Hook. Sebut saja James. 10 tahun, begitu tampan dan santun, dengan kedua lengan yang lembut. James kecil tinggal di rumah besar di sudut kota London yang ramai. Berasal dari keluarga bangsawan terpandang yang sering bepergian. Ayah James begitu keras, kukuh, tangguh dan tak terbantahkan. Sedangkan Ibunya, lembut dan periang, membuat James sering bertanya dalam hati, hal apa yang menjadikan ayah dan ibunya bisa bersama di tengah perbedaan karakter yang begitu kuat. Sering ditinggal di rumah besar itu bersama para pelayan, James tak kesepian. Kakak lelakinya, Charles, memiliki sejuta cara untuk mengubah keadaan menjadi seseru yang bisa dibayangkan anak sepuluh tahun. Seperti halnya yang terjadi pagi itu.    
     James baru saja terbangun. Di sebelahnya Charles berdiri dengan cengiran jail yang biasa.
  “ Ayo anak mami. Bangun. Kita akan menjelajah hari ini,” katanya dengan semangat berapi-api.
  “ Tapi kan ayah melarang kita pergi kalau mereka tidak ada,” kata James meragu.
  “ Oh ayolah. Kita ini laki-laki. Kita bisa sepuas hati melanglang buana. Dunia ini luas, James. Dan seperti yang selalu kukatakan. Suatu hari nanti, kita akan menjelajah lautan. Kau dan aku. Beserta birunya samudra,” bujuk Charles sambil menarik-narik tangan adiknya.
  “ Baiklah ,” cicit James kalah, meskipun sesungguhnya dia menanti-nantikan setiap acara menjelajah bersama kakaknya. Jauh dari rumah besar yang sepi.
  “ Kemana kita kali ini ?,” tanya James ketika akhirnya mereka sudah berlari melewati halaman belakang.
  “ Lihat saja nanti ,” jawab Charles sekenanya sambil tersenyum penuh rahasia.

   James mengikuti langkah kakaknya dengan semangat. Setengah berjalan, setengah berlari, mereka keluar rumah dan menjauhi keramaian kota. Charles membawa adiknya melewati sudut-sudut tak dikenal, lorong-lorong tak bernama, dan akhirnya sampai di bagian London yang tersembunyi. Charles berhenti di gerumbul pepohonan tua yang tampak bengkok dan semak beri berduri semrawut yang tampak menyeramkan.
   James menahan rasa takut dan penasarannya.
    “ Kita dimana ?”
   Charles nyengir. “ Siapkan dirimu. Ini akan luar biasa.”
   Charles mendekati pepohonan, melipir di antaranya, dan tiba-tiba menghilang.
    James ketakutan.
    “ Charles !! Charles !! Jangan tinggalkan aku !!”
    “ Ikuti langkahku. Masuk ke pepohonan. Jangan takut, “ terdengar suara Charles samar-samar.

   James memberanikan diri memasuki pepohonan, gemetaran menantikan apa yang ada di baliknya. James sampai di sebuah taman tersembunyi, begitu terang, damai, bersinar, dan penuh bunyi-bunyian aneh yang menenangkan. Tampak Charles merentangkan tangan, tersenyum menerima hangatnya sinar mentari.
   Berdiri di samping kakaknya, James termangu. Ikut menikmati semburan cahaya.
    “ Tempat apa ini ? “
   “ Tak tau. Ketemu begitu saja. Aku kabur tempo hari waktu sesi belajar piano dengan Mr.Hogan yang membosankan itu. Kau tau aku tak suka. Piano itu mainanmu. Aku, berpetualang, itu baru seru, “ kata Charles sambil menunjuk dirinya sendiri.
   James nyengir. Memang dalam hal piano, Charles tak pernah menang darinya. James begitu bersemangat latihan setiap pagi di hari Selasa, melawan kebandelan kakaknya yang kabur dan mencari berbagai alasan untuk tidak ikut menekan tuts piano klasik tua di perpustakaan rumah.
 Mereka menjelajah. Menikmati kenyamanan tempat itu. Bunga-bunga bermacam rupa tumbuh sembarangan, indah dan menyejukkan. Mereka berlari, berkejar-kejaran, menikmati kesunyian taman sampai lupa waktu. Hingga akhirnya senja merangkak perlahan.
   “ Charles, hari sudah mulai gelap. Apakah tidak sebaiknya kita pulang ?”
   “ Nanti James kecil. Kau tidak boleh melewatkan yang ini ”
   “ Tapi, ayah bilang..”
   Charles melambaikan tangan meremehkan,lantas berbaring di rerumputan menikmati sisa cahaya mentari. James, mengikuti teladan kakaknya, mengambil posisi nyaman dan langsung memejamkan mata, tertidur.

    Entah berapa lama rasanya, James membuka mata karena ada yang menarik-narik rambut dan mencubiti pipinya. Cubitan yang aneh, kecil dan halus, tidak seperti jemari kakaknya. Dan begitu kedua matanya terbuka, James berteriak kaget.
      “AAARRRGHHH”
   Segerombolan makhluk kecil bersayap mengelilingi wajahnya. Makhluk kecil, seperti manusia mini, ramping, berkilau, beterbangan kesana kemari, dengan sayap perak atau emas. Dan anehnya, mereka juga kaget.
     James tak mampu berkata-kata. Charles tertawa.
    “ Ini bagian terbaiknya, bocah. Peri itu nyata. Aku percaya pada peri. Ayo bergabung,” katanya riang sambil berlari kesana kemari diiringi serombongan makhluk itu di sekelilingnya. Charles terlihat berkilau, bahagia, nyaris tanpa beban.    James merasa hangat, nyaman, seolah ada yang menyalakan cahaya baru dalam dadanya. Dia ikut berdiri, berlari, dan bercengkerama bersama para peri.
    Hari sudah gelap. Begitu sulit rasanya meninggalkan taman. Dengan susah payah, kedua anak itu melawan keinginan untuk bermain-main. Menyeret langkah kembali ke rumah mengendap-endap, mereka membuat janji untuk kembali lagi besok, dengan berbagai imajinasi menyenangkan yang mengantarkan mereka terlelap di rumah besar.

     Namun esok ternyata tidak berbaik hati. Charles tiba-tiba demam. Seluruh tubuhnya menggigil, pucat, dan dia tak sanggup berdiri. James terduduk sedih di samping kakaknya.
      “ Tak usah cemberut begitu. Aku hanya demam biasa. Besok aku akan sehat dan kita akan bertemu para peri lagi,” bisiknya pada James.
      Akan tetapi kesembuhan Charles tak kunjung terjadi. Selewat satu minggu, Charles semakin sakit. Ayah dan ibu telah mendatangkan dokter, tetapi belum ada perbaikan pada diri Charles. James semakin khawatir. Dia tidak mau beranjak sedikitpun dari kakaknya. Charles yang makin lemah, hanya tersenyum tipis pada sang adik. Masih berjanji akan sembuh dan mengajaknya ke taman peri sekali lagi.
     Minggu demi minggu berlalu. Ibu hanya bisa menangis. Sedangkan ayah hanya terdiam. James bingung, sudah banyak dokter yang datang berganti-ganti, tetapi Charles masih terbaring sakit. Charles semakin lemah, bernafas susah payah, dan sudah tak mampu menelan makanan. Hingga di suatu senja, Charles membangunkan James yang tertidur di kursi di sebelahnya.
      “ Hoi James. Bangun bocah manja,” katanya lemah.
      James terbangun, mendekatkan diri pada kakaknya.
     “ Kau bohong Charles. Katanya kau akan sehat. Kenapa sampai sekarang kau tak sembuh-sembuh ?,” kata James terisak.
     “Ahahaha. Anak bodoh. Jangan mulai menangis. Aku tidak apa-apa. Aku akan baik-baik saja. Asal kau kabulkan permintaanku,” kata Charles susah payah.
      “ Apa itu ? Asalkan kau janji akan sembuh,” kata James.
     “ Aku ingin kau ke taman peri sekarang. Bujuk satu diantara mereka untuk datang kesini, menemani aku. Tapi jangan sampai ayah dan ibu tahu. Kau bisa kan bocah ?,” pinta Charles.
     Melawan ketakutannya, James mengangguk.
     “ Tunggu aku akan kembali bersama para peri,” katanya sambil berlari.

     Dan James benar-benar berlari. Tidak menghiraukan teriakan pelayan dapur dan tukang kebun, James kabur lewat halaman belakang sembari mengingat-ingat jalan ke taman. Berdoa dalam hati supaya tidak tersesat, James bernafas lega, karena akhirnya menemukan gerombol pohon tua bengkok dan semak beri berduri.    James masuk di antara pepohonan. Berada di taman sekali lagi. Rasa damai menyelusup di hatinya. Sebelum akhirnya tersadar, kalau dia tidak sendirian. Seorang anak berdiri di tengah taman. Dikelilingi peri-peri yang mulai datang. Anak berbadan ramping, berpakaian aneh seperti gabungan dedaunan, meloncat kesana-kemari dengan riang. Merasa diperhatikan, anak itu menoleh dan melihat James. James terdiam, merasakan pandangan mata keemasan yang memabukkan. Penuh teka-teki dan kejahilan. Si anak berjalan gembira ke arahnya.      “ Siapa kau bocah ?,” katanya dengan aksen yang mirip Charles.
      “ Aku..aku James,” jawab James takut-takut.
      “ Apa kau tersesat ? Kau tampak sedih dan ketakutan,” kata si anak penuh selidik.
      “ Tidak, aku hanya ingin peri-peri itu ikut denganku,” kata James lugas.
     Si anak tertawa. “Ikut denganmu ? Tapi mereka akan ikut denganku. Di Neverland, mereka akan bahagia. Tidak terusik. Tidak terganggu,” katanya sambil bersiul. Seketika para peri mengerumuninya dan ikut menari-nari dengannya.
    James mulai putus asa. Peri-peri ini tampak lebih menyukai si anak baru. Tak mungkin bisa ikut dengannya. James diam, berusaha berpikir. Tanpa dia sadari, si anak bermata keemasan kembali menghampirinya.
     “ Bagaimana kalau kau ikut juga denganku ke Neverland ? Kita bisa bermain terus-terusan. Kau tak perlu sedih. Kau tak perlu cemas. Kita akan bermain setiap hari bersama para peri. Tak usah mengkhawatirkan usia. Kau tak akan pernah sakit, “ katanya tiba-tiba.
        James tertegun.
       “Tak pernah sakit ? Apakah itu benar ?,” katanya penuh harap.
       Si anak mengangguk bersemangat.
       “Takkan ada penyakit. Takkan ada yang sedih. Kita akan bersenang-senang”
       “Bisakah aku mengajak kakakku juga ?,” tanya James.
     “Tentu saja. Makin banyak anak makin baik. Makin banyak teman. Dimana kakakmu ini ?,” tanya si anak.
       “ Di rumah. Maukah kau menunggu ? Aku akan membawanya kesini,” pinta James penuh harap.
       Si anak tampak berpikir.
     “ Baiklah. Aku akan menunggu. Tapi, kau harus kembali sebelum purnama muncul di langit malam ini. Aku tak punya banyak waktu. Kalau kau ragu membawanya, kau kan bisa pergi sendiri bersamaku dan para peri, “ tawar si anak.
      “Tidak, aku janji aku akan membawanya kesini tepat waktu,” kata James membulatkan tekad.
      “Kalau itu maumu,” kata si anak acuh tak acuh.
     Dan James segera berlari. Menerobos pepohonan tua, tersaruk-saruk mencari jalan pulang ke rumah. Mengabaikan keramaian jalanan, James terus berlari, sampai di halaman belakang rumah yang entah kenapa sepi.
     Memasuki dapur dan berlari di koridor, James heran sendiri. Tidak ada orang yang berkeliaran di rumah besarnya. Tidak ada pelayan. Ayah dan ibu juga tidak terlihat. Mengabaikan keanehan ini, James memacu langkah kecilnya ke kamar Charles.
      Ternyata semua orang ada disana. Berkumpul, dan yang mengherankan, menangis.
     James kebingungan. Melihat tatapan ibunya yang sayu. Ayah yang diam tak berkata apa-apa, dan para pelayan yang terduduk di sudut. Kedua orangtuanya berlutut di sebelah tempat tidur Charles. Charles sepertinya tertidur, dengan senyuman jail di sudut bibirnya.
      James menghampiri kakaknya, membangunkannya. Terkejut mendapati lengan Charles begitu dingin.
     “Charles. Ini aku. Aku tidak membawa para peri. Tapi kita akan pergi. Aku akan membawamu ke tempat dimana kau tidak akan pernah sakit,” kata James mengguncang-guncang tubuh kakaknya. James heran, Charles tidak juga terbangun.
      Ibunya menangis.
    “Charles bangunlah ! Cepatlah ! Dia takkan menunggu lama !,” kata James nyaris berteriak, mengguncang-guncang lengan kakaknya.
      Ayahnya menggenggam bahu James, menghentikan guncangannya, menggeleng perlahan.
      “ Tapi ayah..kami akan pergi. Charles dan aku akan ke taman peri lagi,” kata James bingung.
      “Charles sudah pergi,Nak. Kakakmu sudah tak disini lagi,” kata Ayah sendu.
      “ Tidak ayah, kami sudah berjanji,” kata James ngotot.
      Ayahnya menggeleng. “Charles sudah tiada, Nak,” katanya menahan hati.

    James tertegun. Dia tau arti kata-kata itu. Dia mengerti. Tidak akan ada lagi Charles. Tidak ada lagi kakak, petualangan, kejahilan, bahagia, keceriaan, tidak ada. James tak mau. Tak mau Charles pergi. Maka dia berlari. Menyingkirkan tangan ayah di bahunya, dan terus berlari, kembali menuju taman peri. James akan memohon, memohon sekuat tenaga pada si anak, pada para peri untuk membawa Charles ke Neverland.
    Tanpa menghiraukan arah, mengikuti instingnya, terjatuh dua kali, dan akhirnya dengan terengah-engah James sampai di gerombolan pohon tua bengkok. Menyelinap di antara pohon, terburu-buru tanpa mempedulikan bajunya yang tersangkut ranting, lututnya yang perih dan sakit, James masuk kembali ke taman peri.
   Yang terlihat hanya kekosongan. Terdengar suara tawa renyah menjauh si anak, siluet keemasan sayap-sayap peri,dan purnama bulat besar bersinar diantara bintang-bintang.
      James berteriak putus asa,lalu menangis, menangis sekuat tenaga, menangis hingga mendendam pada si anak dan para peri yang telah meninggalkannya.

       “ HOOK...!!!! AHOOOYYY...!! HOOK tuaaaaa..!!”

       Kapten Hook terbangun. Melihat ke cermin, heran dengan sudut matanya yang sembab, memasang kait dengan sedikit nyeri di hatinya.
        “ Tuan Smee..!!! Siapkan kapalku..!!!”
       Kapten Hook berseru marah. Melangkah keluar dari kabin, dia melihat siluet jail Peter Pan yang terbang di sekitar Joly Roger. Menertawakannya. Tentu saja Peter sialan itu tidak ingat. Dan Hook tau, dia takkan pernah lupa. Meskipun kenangan itu dikuncinya kembali rapat-rapat, dengan berbagai jebakan tambahan dalam hatinya.
       Dan kini kau sudah tau. Hook pernah menangis. Lama,usang, dan amat menyakitkan.


No comments:

Post a Comment

The Long Conversation With You

  “The worst part of holding the memories is not the pain. It's the loneliness of it..." - Lois Lowry Hi Mas, it's been a while...