August 20, 2015

Them, Kumpulan Cerita Pendek Tentang Mereka (P-1) - Dia


Prolog

Saya belum hidup cukup lama untuk seenaknya menghakimi orang-orang yang secara spesifik bersinggungan dalam keseharian saya, baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Tetapi, entah kenapa, orang-orang ini punya ‘sesuatu’ yang bikin mereka sedikit banyaknya berperan dalam hari-hari saya. Entah itu sekedar lewat, entah itu begitu penting dan mendalam. Mereka ini, kumpulan lelaki yang berurusan dengan saya, dengan kadar berbeda-beda, dengan rasa yang beda pula.
For your information, saya ini perempuan, dengan kecendrungan berteman dengan banyak kaum Adam, mungkin karena saya kecentilan, mungkin juga karena mereka yang doyan ngobrol dengan saya (menyusahkan saya tepatnya). Tidak bermaksud gede rasa, tapi apalah daya, saya berurusan dengan para lelaki ini, dan sedikit banyaknya terlibat dalam cerita mereka, sekedar mendengarkan, jadi bagiannya, atau mungkin penonton setia.
People come and go, but memories stay. Sebelum saya pikun, alangkah lebih baik saya abadikan orang-orang ini dalam tulisan. Maafkan saya bila berlebih atau malah kurang. Ini sudut pandang saya, seenaknya dan beginilah adanya.


Best regards,

Oni
(30 Maret 2015 - ….)




DIA

Saya tau, sejak lama, kalau lelaki ini bukan yang bisa ditemukan sembarangan. Dia datang pada saya dalam kesempatan yang nyaris tak pernah direncanakan. Kami sudah kenal cukup lama, dulu sejak kelas satu SMA. Satu kelas, tapi di pergaulan berbeda. Saya kutu buku ambisius, dia maniak game dengan muka kacamata, culun dan anak-anak. Tetapi satu hal, mungkin saya sudah attached dengan orang ini sejak pertama bertemu. Saya saja yang gengsi mengakuinya, wanita, maklumlah.
Kami tidak terlalu akrab saat SMA. Mungkin karena saya memposisikan diri di kasta berbeda saat itu. Kemudian, dia pindah sekolah, dan kami tidak sekelas lagi. Tetapi, takdir itu memang lucu. Saya kebetulan masuk ke Universitas yang sama dengan dia.  Dan kami ketemu sekilas di auditorium kebanggaan kampus saya, dalam hiruk pikuk pendaftaran. Saling sapa dan berlalu. Selanjutnya komunikasi hanya sekedar sapa singkat, via telepon atau sms atau sosial media yang lagi booming  saat itu.
Setelah menamatkan kuliah, kami malah mulai kembali berkomunikasi. Dia mulai banyak cerita soal hidup, soal pekerjaan, kabar, hingga konsultasi ke saya. Lambat laun, kami jadi sering ngobrol, ketemu kadang-kadang, dan bercerita banyak hal. Dia pria cerdas. Benar-benar cerdas. IQ di atas rata-rata, dengan kemampuan berbahasa inggris yang fasih luar biasa. Saya adalah orang yang menghargai isi otak, kebetulan demikian, ditambah cowok ini menjelma menjadi sesosok makhluk yang lumayan ganteng dan tidak malu-maluin kalau diajak jalan.
Klise ? Mungkin iya. Tetapi ceritanya tidak sesederhana itu. Berawal dari kehilangan mendalam ayahandanya, hampir berbarengan dengan kehilangan kekasih hatinya, cinta pertama yang sudah dia rencanakan untuk jadi yang terakhir, sepertinya memukul mentalnya begitu berat, dan dia menghilang. Tanpa kabar. Saya sih santai, karena saya memang punya paham gede rasa yang besar sekali, bahwa suatu hari, orang ini akan mengontak saya lagi.
Dan ternyata benar, di sela-sela kesibukan saya yang masih total bekerja, dia menghubungi lagi. Awalnya saling bertukar kabar, cerita random tentang berbagai topik, dan pembicaraan seru lainnya. Satu yang terasa saat itu, this man is nearly falling apart, dan saya tidak paham sepenuhnya kenapa.
Bulan demi bulan, dia sering cerita ke saya. Hari-harinya, keluhan-keluhannya, hingga keinginannya untuk mengakhiri hidup. Saya sempat kaget, mengira hanya bercanda, tetapi memang demikian adanya. Dia bertanya pada saya, cara yang cepat untuk mati, obat apa yang bisa dipakai, berapa lama sampai akhirnya mati. Saya jawab saja semuanya seadanya, sesuai keilmuan saya. Saat itu, saya nggak pernah menyangka bakal sedalam samudra kisah sedihnya.
Komunikasi terus berlanjut. Dengan kecanggihan teknologi, jarak dan waktu bisa diatasi. Dia laporan hampir tiap hari ke saya, hingga cerita ini ditulis. Saya, yang suka sok pedulian, sok ikut campur, punya kecendrungan bahagia kalau bisa nolong orang, dan suka ingin tahu berlebihan, meladeni saja curhatnya dia. Hingga sebaliknya, saya juga punya kebiasaan bercerita hari-hari saya ke dia. Mengadu apapun. Karena untungnya, kami berdua adalah manusia yang malas menghakimi, jadi aman-aman saja untuk bercerita, dari yang gak penting sampai yang penuh airmata.
Yang nggak aman ya perasaan saya. Itu jelas, saya adalah wanita yang berkali-kali dikecewakan. Menjomblo sejak lahir, sering dimanfaatkan, dan cenderung nggak dianggap perempuan sama teman-teman lelaki saya yang lain, anggap saja anugerah. Dia sangat baik pada saya, lelaki sekali, tiap jalan dengannya, saya merasakan perlindungan dan kenyamanan, hal yang penting buat perempuan sok kuat macam saya. Maka saya mulai sayang sama orang ini, lebih dari sekedar peduli.
Masih klise..? Belum selesai.
Sepanjang curhat kami, ada hal yang secara hampir pasti saya simpulkan. Dia depresi. Benar-benar depresi. Bukan sekadarnya, bukan yang dibikin-bikin untuk cari perhatian. Dia berusaha, pacaran dengan beberapa perempuan setelah si mantan kekasih. Tapi dia mengaku, kosong. Nyaris tak ada rasa yang tersisa lagi untuk mereka. Mengutip lagunya The Script, salah satu band favorit saya “..and you leave me with no love..with no love to my name..”
Dan saya menyerah. Kembali saya bangun tembok pertahanan saya yang terkuat. Karena saya nggak mau disakiti, meskipun pada akhirnya, ini bakal menyakitkan. Saya adalah perempuan egois, saya nggak akan sudi di bawah bayang-bayang si mantan kekasih kalau saya memaksakan diri untuk bersama dia lebih dari ini.
Maka jadilah saya menganggapnya Abang. Abang yang tak sedarah. Kami bercerita, jalan bareng, makan, ketawa, hingga saya mendengar hampir semua ke-absurd-an isi hatinya. Dia merasa effortless, merasa apapun usaha yang dia lakukan sia-sia. Saya pernah mendengar tangisannya selama satu jam lebih, hingga saya ikut menangis. Menjadi saksi ketika dia menyakiti dirinya sendiri secara sengaja. Dan dia hidup ‘menggelinding’, tidak tau ingin kemana. Menyia-nyiakan otak cerdasnya.
I’m evil, Oni. I’m a monster. Abang yang sekarang, jauh lebih buruk dari dulu. Mungkin memang abang nggak pernah baik “
Maka saya mendengarkan, mungkin ikutan mengomeli kelakuan dia. “ Right now, maybe you’re my voice of reason”, dia bilang begitu pada saya. Dan dengan kejujuran yang tidak disangka-sangka, saya mengaku padanya, bahwa saya nggak sanggup lebih dari ini, tapi saya juga nggak akan bisa meninggalkan dia sendirian.
Suatu hari, dia pernah menghilang, dari keluarganya, menghentikan studi S2 nya, dan tidak ada jejak. Terakhir kami bertemu, berbagi pizza ukuran besar dengan lahapnya, dia tidak menunjukkan tanda-tanda akan menghilang. Dia masih tertawa, mendengarkan curhatan saya soal pekerjaan, buku-buku, lelaki, dan banyak hal acak lainnya. Lalu dia menghilang, membuat saya bingung, dan mencari informasi kesana kemari. Tetapi, entah itu firasat, entah apa, saya berhenti mencari. Saya menanti, sekali lagi dengan keyakinan aneh, dia akan kembali.
Mungkin saya bodoh. Tetapi keyakinan itu terjawab. Setelah dua bulan lebih menghilang, dia mengontak saya lagi. Merasa kesepian dalam pengasingan, itu katanya.
Why me ?”, tanya saya waktu itu. Kami memang sering berkomunikasi dengan bahasa ini.
I trust you. You don’t wanna judge me. Our world doesn’t collide much. We’re separated. Nothing I did will change your life much, neither do you,”
Dan berlanjut. Dia memutuskan untuk tidak melanjutkan studinya, dan kembali pada keluarganya. Hidup menggelinding lagi, tak punya mimpi dan rasa. Setiap hari, kami saling melaporkan kondisi masing-masing. Sedang apa dan dimana, kadang saya omelin semua kelakuan anehnya. Dan dia minum antidepresan rutin, kiriman saya. Kadang di jam-jam yang tak lazim, kami akan ngobrol banyak hal, mulai dari keluhan saya sehari-hari, sampai ke filsafat.
Why do people live ? What for ?”
Model pertanyaan itu sering nongol ke saya. Saya jawab seadanya. Saya tau, dia lebih ingin didengarkan. Tidak penting saya menjawab apa.
“ Tapi nanti kalau Oni punya pacar atau akhirnya dapat suami, Oni nggak bakal bisa kayak gini lagi ke abang. Nggak bakal komunikasi kayak gini lagi. Nggak bakal cerewetin abang lagi.”
“ Iya, abang ngerti kok. Tapi kasih tau ya. Jangan mendadak. Biar bisa siap-siap”
I’m sorry. I can’t. I can’t save you.”
I won’t allow you to save me. You’ve done so much for me. You deserve better. The better one.”
Jadi begitulah. Saat ini, saya ada untuknya. Dia pun ada untuk saya. Hingga tulisan ini diketik di laptop jadul saya, dia masih di seberang sana. Laporan telat bangun, nggak bisa tidur, atau habis nangis sendirian.
Mungkin saya nggak pernah mengalami cinta mati itu seperti apa. Saya tak mengerti, sebeginikah cinta seorang pria pada wanita. Dia bercerita pada saya, si mantan kekasih itu moving on, bahagia dengan pasangan baru, dengan karir gemilang. Sementara dia tak bisa, sesederhana itu, tidak bisa.
“ Abang udah rusak, Oni. Rusak parah mentalnya.”
Dan lagi, saya mendengarkan.
I’ve tried. Repeatedly. But I can’t. Simply I can’t.”
Maybe it’s because you don’t love yourself much. You’ve already given everything to her, and yet nothing left to yourself. ”
Itu kata saya. Dan dia mengakui mungkin itu benar. Dia sempat bilang, sudah banyak manusia yang menasehati dia. Teman-temannya yang lain. Keluarganya. Pakai nasehat agama, masa depan, hidup, begitulah.
“ Mereka nggak bakal mengerti. Pada akhirnya nggak ada yang mengerti, They’re not steppin’ into my shoes.” protesnya pada saya.
I know, I even don’t understand much either.”
Intinya, mungkin saya pasrah. Saya juga tak mengerti, dan saya tidak mau berusaha lebih lanjut. Maybe I’m already giving up ?
Dia masih menggelinding. Dan saya masih setia menemani dia, sesukanya saya sampai kapan. Kadang dia yang gantian mendengarkan keluhan nggak penting saya, hingga rengekan bodoh saya yang lain. Sudah beberapa lama kami tidak bertatap muka, tapi sekali lagi, teknologi tersedia. Dia semakin buncit kebanyakan makan, saya semakin tembem kelamaan liburan. Tetapi hidup saya berlanjut, dan saya bersyukur dia adalah salah satu orang yang hadir memberikan saya dukungan.
I’m here. Not going anywhere. If you need a shoulder.”
Kata-kata itu yang dia berikan untuk saya, dengan emoticon senyuman. Mungkin pada akhirnya kami saling membutuhkan, dengan cara yang tidak biasa. Saya tidak tau sampai kapan. Saya serahkan saja pada Sang Maha Pemilik Hati. Hidup saya jalan terus. Tetapi, untuk saat ini, saya tak mampu meninggalkan dia sendirian. Mungkin karena saya juga takut ditinggalkan sendirian.
Cinta sebegitu kejamnya mungkin. Dan lelaki ini jadi contohnya.
 

No comments:

Post a Comment

The Long Conversation With You

  “The worst part of holding the memories is not the pain. It's the loneliness of it..." - Lois Lowry Hi Mas, it's been a while...