August 20, 2015

Poci Keramat

Cerpen ini ditulis bulan April 2015 untuk memeriahkan GiveAway Writing Challenge di komunitas Penggemar Novel Fantasi Indonesia.
Selamat membaca ^^



Poci Keramat
            “ Bunda, Mia mau cuti kerja, mungkin agak lama,” kata Mia via telepon. Bunda yang di seberang sana meng-iya-kan. Kata Bunda, memang Mia mesti ambil cuti liburan. Setelah hampir setahun penuh kerja keras. Tetapi Bunda tidak bilang, kalau ada permintaan lain terkait kepulangan Mia ke rumah.
            Mia juga tidak bilang. Sebenarnya dia tidak cuti. Dia memutuskan untuk berhenti bekerja. Mia menunda ceritanya pada Bunda dan Ayah. Nanti di rumah, di meja makan yang hangat dengan masakan favorit, dia akan melaporkan kegalauannya setahun ini.
            Maka, tidak menunggu lama, Mia sampai di rumah sederhananya. Yang mana dia telah berlari cukup lama untuk tidak tinggal disini. Mencoba batas-batas kemandirian dan keegoisan hatinya, sendirian, dan kini,dia mengaku kalah.
            “ Sebenarnya Bunda mau minta tolong kamu. Eyang Putri sakit. Beliau bersikeras mau dirawat di rumah. Eyang minta kamu menemani,” kata Bunda, dua hari setelah Mia sampai di rumah.
            “ Mia mau kan ?,” Ayah kali ini menambahkan.
            Mia mengangguk. Mia menyukai Eyang Putri. Eyang bukan sekedar nenek tua renta cerewet yang biasa. Bukan. Mia ingat, Eyang adalah satu-satunya orang dewasa yang mau menerima kebenaran, darimanapun kebenaran itu berasal. Meskipun Eyang punya aturan-aturan tradisionalnya yang kadang remeh, tetapi Eyang mau berhenti sejenak, untuk mendengarkan, terutama mendengarkan dirinya, Mia yang waktu itu masih bocah cilik 7 tahunan dengan celana panjang lusuh, kaos oblong, yang hobinya memanjat pohon jambu Eyang Kakung.
            Ingatan Mia kembali, di sela-sela perjalanan kereta yang panjang sendirian. Berkelebat dan sekilas, membekas dan mendalam. Peristiwa masa kecil yang sedikit banyak mengubahnya menjadi individu yang keras seperti sekarang. Dia ingat, sejelas film hitam putih jaman dulu, ketika acara petak umpet dengan sepupu-sepupu saat parade keluarga berakhir tidak biasa.
            Bunda menyebutnya Parade Keluarga. Saat ketika semua sanak sodara berkumpul, satu minggu penuh. Semuanya, tak terkecuali. Tradisi yang mati-matian dipertahankan Eyang Kakung, yang waktu itu tetap keras hati di sela-sela penyakit yang menggerogoti badan ringkihnya. Mia ingat, rumah tua Eyang seperti kepenuhan pengungsi, ramai, tapi Mia kecil bahagia. Berlari-lari kesana kemari dengan Edo, Nugi, dan si balita Ical. Mia satu-satunya cucu perempuan keluarga besar saat itu, dengan kelakuan lebih mirip sodara lelakinya. Saat main petak umpet, Mia bersembunyi dalam lemari kamar Bude Mirah, kakak ipar Bunda. Nugi yang giliran jaga, berteriak-teriak mencarinya di halaman samping rumah. Mia cekikikan sendiri di dalam lemari, tetapi sontak terdiam karena mendengar suara orang masuk ke kamar.
            Mia melihat, Bude dan Pakde saling berteriak. Bude nyaris menahan tangis. Menyebut Pakde dengan bahasa asing. ‘Judi’, ‘Pesugihan’, ‘Sesajen’. Mia kecil tidak paham, tetap dalam lemari, mendengarkan dengan penasaran. Tiba-tiba, Bude merunduk meraih sesuatu di bawah kolong tempat tidur. Nampan bulat besar dengan kembang-kembang beraneka rupa, ditambah sebuah poci teh kuno seperti punya Eyang. Bude melemparnya, hingga pecah berkeping-keping.
            Pakde mengamuk, melayangkan pukulan pada Bude. Berkali-kali. Mia ketakutan, marah, dan akhirnya putus asa. Bude kesakitan. Mia ingin Pakde berhenti. Maka tak punya cara lain, Mia keluar dari lemari, berteriak pada mereka berdua, lalu berlari mencari Bunda, Eyang, atau siapapun orang dewasa yang ada di rumah besar itu. Nihil. Mia putus asa. Lalu berlari ke kamar Eyang Kakung. Satu-satunya harapan Mia.
            Tetapi Eyang sepertinya tidur. Tidur yang aneh. Mia mengguncang-guncang Eyang. Tapi Eyang tidak bangun. Mia menangis, sejadi-jadinya. Sampai Ayah dan Om Barli, adik Bunda datang. Mereka melihat Eyang. Om Barli menyentuh leher Eyang. Eyang tetap diam. Kemudian, Om Barli menangis tak bersuara. Bunda datang. Pakde dan Bude, juga datang. Eyang Putri dipapah mbok Tarni. Datang dan ikut menangis. Mia bingung.
            Semua berlalu cepat. Rumah ramai sekali. Mia dan para bocah tidak boleh berisik. Mia tidak perlu diingatkan, dia sudah tak ingin bicara. Kata Bunda, Eyang Kakung sudah tidak ada lagi di dunia, sudah dipanggil Allah.
            Nduk, kamu lihat poci teh kesayangan Romo mu ? Ibu ndak nemu. Ibu mau nyeduh teh,” tiba-tiba Eyang Putri bicara pada Bunda, di meja makan. Makan besar satu keluarga, tiga hari setelah Eyang Kakung berpulang.
            “ Ndak lihat Bu, nanti biar Asih cari.”
            “ Sekarang. Ibu maunya sekarang. Itu poci teh penting, Nduk. Minta tolong mang Kiman dan mbok Tarni. Sekarang, Nduk,” nada suara Eyang memaksa.
            Tau kalau itu poci yang sama, Mia lalu berkata polos, menyuarakan kenangan yang nyaris terhapus itu.
            “ Pocinya udah pecah Eyang. Waktu itu dipecahin Bude. Trus Bude dipukulin Pakde berkali-kali. Sampai Mia lari bangunin Eyang Kakung, tapi Eyang ndak bangun-bangun.”
            Mia ingat sekali, seisi meja terdiam. Muka Pakde berkerut kemerahan. Bude tiba-tiba pucat.
            “ Ngomong apa kamu Mia. Jangan bohong. Pocinya masih ada kok,” ada nada gusar dalam suara Pakde.
            “ Mia ndak bohong. Mia lihat sendiri. Itu poci teh Eyang Kakung. Udah pecah.”
            “ Huss. Anak kecil jangan sembarangan ngomong.” bantah Pakde lagi.
            Bude tiba-tiba berdiri. Masuk ke kamarnya, lalu keluar lagi. Membawa poci teh itu. Mia tidak mengerti, harusnya poci itu sudah pecah.
            “ Ini pocinya, kamu itu masih kecil jangan suka mengarang cerita yang bukan-bukan. Pakai bilang Pakde mukulin Bude segala. Itu tidak mungkin.”
            “ Tapi Mia ndak bohong. Mia lihat sendiri. Poci teh Eyang pecah. Pakde mukulin Bude,” kata Mia menahan tangis.
            “ Mia !! Diam kamu !! Jangan sembarang omong !”
            Pakde menghardiknya. Mia menangis. Tetapi seisi meja hanya diam.
            Tangan rapuh menepuk bahunya. Eyang Putri telah berdiri. Mengajaknya pergi beranjak dari meja makan. Eyang membawanya keluar. Duduk membujuknya untuk berhenti menangis, duduk di rerumputan di bawah pohon jambu kenangan.
            “ Mia ndak bohong Eyang,” kata Mia sesenggukan.
            Eyang mengangguk. Lalu meminta Mia bercerita pelan-pelan. Setelah itu, Eyang membelai-belai kepalanya. Mia berhenti menangis. Tertidur di pangkuan Eyang, tua dan menenangkan.
            Setelah kejadian itu, Mia membenci Parade Keluarga. Mia merasa disakiti. Ayah dan Bunda tidak bicara apapun, tidak juga membelanya. Belakangan, setelah semakin besar, Mia paham. Pakde dan Bude memang sudah tak sejalan. Pakde menghabiskan uang di meja judi, mencoba berbagai praktik klenik yang tak masuk diakal. Menghabiskan sendiri sisa-sisa warisan kedua orangtuanya. Bude tak setuju, letih dengan kelakuan suaminya. Lantas membawa Edo, Nugi, dan Ical pergi jauh. Bunda dan Om Barli juga sudah berhenti berdebat melawan Pakde. Bunda memilih ikut ayah merantau. Sedangkan Om Barli menyibukkan diri di rumah sakit dan Universitas.
            Mungkin Mia belum tahu, bahwa masa depan, seperti yang telah diputuskan oleh masa lalu, semua hal itu tersembunyi dalam lipatan waktu(1). Mia tak pernah tahu, masa depannya akan kembali berkaitan dengan masa lalu yang membekas di hatinya ini.
            Dan sekarang, di bawah pohon jambu yang sama. Mia duduk bersama Eyang Putri. Kali ini Eyang yang menyandarkan diri kepadanya. Eyang tidak banyak bicara. Hanya ingin ditemani saja. Entah kenapa, ingatan akan insiden poci nyaris dua puluh tahun silam itu muncul kembali dalam ingatan Mia.
            “ Eyang, poci teh Eyang Kakung masih ada ?”
            “ Ada nduk. Poci keramat itu. Ndak pernah kemana-mana. Selalu ada di lemarinya Eyang. Setelah dulu dipecahin katamu itu nduk. Hayuk, Eyang minta dibikinkan teh sama kamu, nduk.”
            Mia memapah Eyang Putri ke dalam rumah. Eyang menunjuk lemari kayu jatinya, dan Mia melihat poci teh yang sama. Mia mengambilnya. Mengamatinya, melihat detail tua dari sang poci. Tak ada sama sekali retakan, goresan, hanya tua dan usang. Permukaan yang dingin, anehnya menenangkan. Tertegun, Mia seolah lupa keberadaan sekitarnya.
            Eyang Putri terbatuk. Mia sadar kembali. Lantas ke dapur, memenuhi permintaan Eyang untuk menyeduh teh. Tiba-tiba, terdengar suara membahana seorang lelaki, tanpa salam, tanpa basa-basi.
            “ Bu ‘e. Mana sertifikat tanah Bapak ?”
            Ternyata Pakde. Masih dengan ekspresi marah yang sama seperti waktu itu. Pakde menatap Eyang garang, seolah tidak menganggap Mia ada.
            “ Bu ‘e. Mana sertifikatnya ??? Apa perlu aku obrak abrik rumah tua ini ???” Pakde nyaris berteriak.
            “ Bu’e ndak tau, Nak. Adikmu Barli yang simpan,” kata Eyang lemah.
            “ Semua dikasih ke Barli !! Semuanya untuk dia !! Dari dulu, cuma Barli yang penting buat Bapak dan Ibu !! Aku ini memang ndak dianggap anak !! Aku cuma pancingan !!”
            “ Pakde, sudah Pakde. Kasihan Eyang,” kata Mia lirih, memeluk bahu Eyang.
            “ Ndak usah ikut campur kamu bocah ingusan !! Jangan mentang-mentang kamu udah jadi orang, udah kerja, kamu mau ikut-ikut atur-atur Pakde !! Pulang sana kamu ke ibumu !! Ndak usah urusin urusan orang tua !!,” Pakde memaki-maki Mia emosi.
            Mia bertahan.
            “ Pakde yang pergi dari sini !! Mia ndak akan ijinin Pakde nyakitin Eyang !!”
            “ Bocah kurang ajar !!,” Pakde melayangkan tangannya ke arah Mia.
            Om Barli tiba-tiba muncul, menahan tangan Pakde. Pakde yang terbakar amarah, balas melayangkan tinjunya ke wajah Om Barli. Perkelahian nyaris berlanjut.
            PRANGG !!
            Poci teh tiba-tiba jatuh dari meja. Dengan bunyi keras, mengalihkan perhatian semua orang. Dan Eyang Putri terkulai lemas. Om Barli langsung menggendong Eyang, sementara Pakde berlalu pergi sambil membanting pintu. Mia menyusul Om Barli, sekilas melihat ke arah lantai tempat poci teh pecah berserakan.
            Eyang Putri terbangun beberapa jam kemudian. Mia masih menggenggam tangan Eyang, tertidur di sisinya. Eyang mengelus kepala cucunya, tanpa sengaja membuat Mia bangun.
            Nduk, Eyang belum jadi minum teh.”
            “ Iya Eyang, Eyang udah baikan ?? Iya, biar Mia buatkan lagi.”
            “ Pakai poci teh Eyang Kakung ya nduk. Ada di lemari,” kata Eyang seolah tak terjadi apa-apa.
            Mia bingung, tetapi tidak membantah. Beranjak keluar dari kamar Eyang.
            Dan ternyata, sang poci teh memang masih di dalam lemari. Anehnya, Mia tidak takut sama sekali, justru penasaran dan mendekat ke arah lemari, menjangkau sang poci, dan meraihnya.
            Mia tersentak. Abu-abu, seperti foto hitam putih mengelilinginya.
            Pria dua puluhan, muda dan tampan di depannya sedang bicara dengan seorang wanita berusia lebih muda. Mereka saling berhadapan. Dengan dua cangkir teh yang masih mengepul dan poci yang persis sama seperti yang ada di genggaman tangan Mia. Mia mengenal mereka berdua. Aneh, kenal sekali malah.
            “ Mas, ndak apa toh kita asuh bayinya Mbak Narsih ? Kasihan, Mas. Mbak Narsih udah ndak bisa ngerawat anak. Mas tau sendiri dia berulang kali mau buang anak itu ke empang belakang rumah,” kata si wanita dengan suara yang familiar bagi Mia.
            Yo weis, ndak apa. Tapi cah bagus itu jadi anak kita. Ndak usah ada yang tau masa lalunya,” kata si pemuda tegas.
            Mia tertegun. Berikutnya tanpa dia sadari, situasi berganti. Seorang anak lelaki usia 10 tahun menangis ketakutan. Si pemuda yang tadi dilihatnya, kini terlihat semakin tua dan lelah. Dia berteriak pada si anak, seperti menahan keinginan untuk memukulinya. Si wanita muda tadi juga ada, memeluk si anak, melindunginya.
            “ Bapak ndak pernah ngajarin kamu nyolong !! Kamu bohong !! Bikin Bapak malu !!”
            “ Sudah Pak. Sudah,” si wanita hampir menangis.
            “ Asal kamu tau, kamu bukan darah daging Bapak !! Bukan anak Bapak !!,”
            Si anak lelaki berhenti menangis. Giliran si wanita yang meraung. Si anak lalu berlari. Si pemuda terdiam, seperti menyesali apa yang baru saja terjadi.
            Kelebatan situasi berganti. Mia kini melihat seorang pemuda berwajah garang usia belasan mengisap kretek di sudut dapur. Dia menatap nanar ke ruang tengah. Penuh dendam dan kebencian kepada si wanita yang bertambah tua, sedang mengajari anak lelaki membaca. Sedangkan sang bapak, telah makin berkerut wajahnya, tampak terkantuk-kantuk sambil mendengarkan senandung dari gadis cilik di sebelahnya.
            Nduk…
            Mia kembali ke masa kini. Masih menggenggam poci teh Eyang Kakung. Suara Eyang Putri mengajaknya kembali.
            “ Eyang..”, Mia menghampiri Eyang Putri.
            Eyang Putri menatapnya lirih.
            “ Eyang Kakungmu ndak pernah memaafkan dirinya sendiri, Nduk. Ndak pernah. Beliau berusaha ngomong sama Pakde-mu. Tapi, Beliau ndak sanggup. Tiap detik dalam hidupnya, Eyangmu menderita. Memohon maaf dari anaknya. Tapi ndak mampu berkata apa-apa.”
            Airmata mengalir tanpa suara di pipi Mia.
            “ Semua sudah terlambat, Nduk. Salah kami Pakde-mu jadi begitu. Ada luka-luka yang terlalu dalam sehingga tak bisa sembuh(2), Nduk
            Mia memeluk Eyang Putri.
            Nduk..”
            Mia melepaskan pelukannya.
            “ Iya Eyang.”
            “ Tolong kasih poci teh Eyang Kakung ke Pakde-mu. Sekarang ya, Nduk.”
            “ Tapi Eyang sama siapa ?,” Mia bingung dengan permintaan Eyang-nya.
            “ Ada si Mbok kok, Nduk. Cepat ya,” kata Eyang dengan senyum aneh.
            Meskipun enggan, Mia beranjak pergi. Mia tau, Pakde ada di pasar setempat, mungkin minum tuak atau berjudi lagi.
            Ternyata tebakannya meleset. Mia menemukan Pakde sedang merokok sendirian di pos ronda. Mia menghampiri Pakde, yang menatap nanar ke perkebunan di seberang pos. Takut-takut Mia menegur Pakde-nya.
            “ Pakde..”
            “ Mau apa kamu kesini, hah ??!! Dasar bocah ingusan kurang ajar !!,” Pakde kembali meradang.
            “ Eyang suruh Mia kasih ini ke Pakde,” Mia menyodorkan sang poci.
            “ Huh, dasar nenek tua Bangka !! Buat apa poci buruk ini buatku !!”
            Mia bergeming.
            “ Mia cuma menyampaikan permohonan Eyang, Pakde. Tolong Pakde terima poci ini,”
            Acuh tak acuh, dengan kasar Pakde mengambil sang poci dari tangan Mia. Tak berapa lama, Pakde terdiam, matanya berkaca-kaca. Mia bingung, menatap Pakde-nya, yang tiba-tiba saja menangis tersedu-sedu. Lalu Pakde berlari, berlari ke arah rumah. Mia menyusul.
            Serampangan, Pakde masuk ke kamar Eyang Putri, berlutut menangis sejadi-jadinya di sisi Eyang.
            “ Maafkan Heru, Bu’e. Maafkan. Ampuni Heru..,” Pakde berkata di sela-sela airmatanya.
            “ Kamu ndak salah, le. Bu’e yang salah. Maafkan Bu’e, Nak. Maafkan juga Bapakmu,” suara Eyang semakin melemah.
            Pakde masih larut dalam tangisan.
            Le..
            “ Heru sudah maafin Bapak sejak dulu, Bu’e. Heru ingin jadi yang terbaik di mata Bapak. Supaya Bapak ndak menyesal menjadikan Heru anaknya. Tapi, Heru ndak bisa. Apapun usaha Heru, semua gagal Bu’e. Heru malu, malu ndak bisa bikin Bapak dan Bu’e bahagia.”
            Le, Bapak sayang sama kamu. Lebih dari segalanya. Maafkan Bapakmu, Nak.”
            “ Iya Bu’e. Heru sudah ndak ada dendam. Ndak ada benci sama Bapak. Heru ikhlas, Bu’e,” kata Pakde.
            “ Alhamdulillah.”
            Eyang Putri memejamkan mata, tak lagi ada gerakan nafas yang tersisa. Tiba-tiba poci teh yang sedari tadi digenggam Pakde terjatuh dan pecah berkeping-keping. Pakde menangis sejadi-jadinya. Mia ikut menangis. Sementara Eyang Putri, terlelap damai dalam tidur terakhirnya.
            Beberapa hari kemudian, setelah pemakaman Eyang, Mia iseng melongok ke lemari jati penyimpan perabot. Seolah sang poci berada disana, diam dan usang, tetapi Mia hanya menemukan kekosongan. Kehampaan dan kesedihan dari banyak maaf yang tak terucap.

           

Sumber Kutipan :
1.      Reckless (Edisi Indonesia) – Cornelia Funke – 139 (11)
2.      Harry Potter dan Orde Phoenix (Edisi Indonesia) – J.K.Rowling – 1150 (11)

No comments:

Post a Comment

The Long Conversation With You

  “The worst part of holding the memories is not the pain. It's the loneliness of it..." - Lois Lowry Hi Mas, it's been a while...